Halaman

Jumat, 13 November 2015

Indonesia Darurat Kedaulatan Politik Luar Negeri

Indonesia Darurat Kedaulatan Politik Luar Negeri

Kita masih ingat geger politik luar negeri, media masa menayangkan dengan berbagai versi, selera dan ragam, yaitu pertemuan Ketua DPR RI Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon dengan calon presiden (capres) Amerika Serikat Donald Trump menuai kontroversi. Ketua DPR RI bersama Donald Trump sempat menandatangani  perjanjian dengan komite Nasional Partai Republik di New York, Kamis (3/9/2015). Trump menyebut Setya Novanto sebagai orang berpengaruh di Indonesia.

Fadli bertemu dengan Trump saat ia sedang berkampanye sebagai calon presiden AS. Kehadiran dan pertemuan Novanto dan Fadli dengan capres AS itu dinilai tidak etis karena keduanya mewakili lembaga DPR RI, serta dapat dinilai publik internasional sebagai bentuk dukungan DPR terhadap salah satu calon.

Yang belum terhapus dari memori kita, apalagi sejarah bangsa adalah presiden RI Joko Widodo bertamu dan bertemu dengan presiden AS Barack Obama, di Gedung Putih, Washington, 27 Oktober 2015, selama 80 menit, berbayar atau seharga US$ 80 ribu.

TEMPO.COJakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan mengatakan tidak mungkin Indonesia melakukan lobi untuk mempertemukan Presiden RI Joko Widodo dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. “Indonesia bangsa besar, bukan pengemis,” ucapnya kepada Tempo, Minggu, 8 November 2015.

Sebelumnya, beredar kabar bahwa Indonesia menyewa perusahaan konsultan asal Singapura, R&R Partners Inc, untuk bekerja sama dengan perusahaan lobi di Las Vegas, Pereira International PTE LTD. Perusahaan di Las Vegas itu selanjutnya mengatur pertemuan Jokowi dengan Obama. Indonesia disebutkan membayar US$ 80 ribu.

2014-2019, politik luar negeri akan diprioritaskan untuk tiga hal, yaitu menjaga kedaulatan Indonesia, meningkatkan perlindungan terhadap warga negara dan badan hukum Indonesia serta meningkatkan diplomasi ekonomi. Diplomasi Indonesia di luar negeri yang dilakukan oleh para diplomat. Kementerian Luar Negeri akan berhubungan dengan kepentingan rakyat. Diplomasi Indonesia akan terkoneksi dengan kepentingan rakyat, akan bersifat membumi, dan dilakukan secara tegas dan bermartabat. 

Buku “Menyongsong 2014-2019 Memperkuat Indonesia dalam Dunia yang Berubah”, Hak Cipta (copy right) Badan Intelijen Negara (BIN), Editor: Muhammad AS Hikam, menyebutkan : Desain politik luar negeri Indonesia saat ini, harus diakui, bersifat lebih banyak reaktif daripada antisipatif dan visioner. Berdasarkan wawancara dengan sejumlah pelaku hubungan internasional di Kementerian Luar Negeri dan observasi kegiatan mereka, sudut pandang dalam menjalankan tugas adalah: melihat bagaimana negara lain akan bertindak atau berkata barulah Indonesia menentukan sikap, dan untuk melakukan reaksi post-facto. Dalam forum-forum internasional, rata-rata diplomat Indonesia punya persiapan terbatas sebelum sidang dan baru membaca situasi ketika di dalam ruang sidang. Di kantor-kantor perwakilan RI, khususnya di wilayah yang banyak migran dari Indonesia, perhatian seluruh diplomat terarah pada pelayanan konsuler atau perlindungan tenaga kerja. Jadi, hal-hal teknis dan rutin saja yang banyak mendapat porsi energi staf.

Jadi, jangan diartikan bahwa slogan politik luar negeri Indonesia, bebas aktif, menjadi dasar hukum terjadinya dua kasus di atas. Secara politik sah-sah saja, tidak ada pasal kode etik yang dilanggar. Atau kita harus memaklumi bahwa ekses politik luar negeri bebas aktif, menjadikan kita wajib mengkuti aturan main politik internasional. Politik tetap politik.

Seolah politik luar negeri Indonesia tergantung kebutuhan, permintaan dan harga pasar; mengikuti arus dan aliran kuat; ditentukan siapa pemegang kendali; mentaati aturan tak tertulis; manfaatkan jalur pendek non-protokoler. Tidak punya posisi tawar walau mengandalkan jumlah penduduk masuk lima besar dunia.

Di skala ASEAN, jangan-jangan hanya ‘meng-amin-i’ kejadian yang sudah terjadi. Semangat dan jiwa ASEAN baik-baik saja, adem-ayem, ketika kasus karhutla menjadikan Indonesia swasembada asap dan pemasok asap. [Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar