Indonesia Darurat Kedaulatan
Politik Luar Negeri
Kita masih ingat geger politik luar negeri, media masa
menayangkan dengan berbagai versi, selera dan ragam, yaitu pertemuan Ketua DPR RI Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon dengan calon presiden
(capres) Amerika Serikat Donald Trump menuai kontroversi. Ketua
DPR RI bersama Donald Trump sempat menandatangani perjanjian dengan komite Nasional Partai
Republik di New York, Kamis (3/9/2015). Trump menyebut Setya Novanto sebagai
orang berpengaruh di Indonesia.
Fadli bertemu dengan Trump saat ia
sedang berkampanye sebagai calon presiden AS. Kehadiran dan pertemuan Novanto
dan Fadli dengan capres AS itu dinilai tidak etis karena keduanya mewakili
lembaga DPR RI, serta dapat dinilai publik internasional sebagai bentuk
dukungan DPR terhadap salah satu calon.
Yang belum terhapus dari memori
kita, apalagi sejarah bangsa adalah presiden RI Joko Widodo bertamu dan bertemu dengan presiden AS Barack
Obama, di Gedung Putih, Washington, 27 Oktober 2015, selama 80 menit, berbayar
atau seharga US$ 80 ribu.
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan mengatakan tidak mungkin Indonesia
melakukan lobi untuk mempertemukan Presiden RI Joko Widodo dengan Presiden
Amerika Serikat Barack Obama. “Indonesia bangsa besar, bukan pengemis,” ucapnya
kepada Tempo, Minggu, 8 November 2015.
Sebelumnya, beredar kabar bahwa
Indonesia menyewa perusahaan konsultan asal Singapura, R&R Partners Inc,
untuk bekerja sama dengan perusahaan lobi di Las Vegas, Pereira International
PTE LTD. Perusahaan di Las Vegas itu selanjutnya mengatur pertemuan Jokowi
dengan Obama. Indonesia disebutkan membayar US$ 80 ribu.
2014-2019, politik luar
negeri akan diprioritaskan untuk tiga hal, yaitu menjaga kedaulatan Indonesia,
meningkatkan perlindungan terhadap warga negara dan badan hukum Indonesia serta
meningkatkan diplomasi ekonomi. Diplomasi Indonesia di luar negeri yang
dilakukan oleh para diplomat. Kementerian Luar Negeri akan berhubungan dengan
kepentingan rakyat. Diplomasi Indonesia akan terkoneksi dengan kepentingan
rakyat, akan bersifat membumi, dan dilakukan secara tegas dan bermartabat.
Buku “Menyongsong 2014-2019 Memperkuat Indonesia dalam
Dunia yang Berubah”, Hak Cipta (copy right) Badan Intelijen Negara (BIN), Editor:
Muhammad AS Hikam, menyebutkan : Desain politik luar negeri
Indonesia saat ini, harus diakui, bersifat lebih banyak reaktif daripada antisipatif dan visioner.
Berdasarkan wawancara dengan sejumlah pelaku hubungan internasional di
Kementerian Luar Negeri dan observasi kegiatan mereka, sudut pandang dalam
menjalankan tugas adalah: melihat bagaimana negara lain akan bertindak atau
berkata barulah Indonesia menentukan sikap, dan untuk melakukan reaksi post-facto.
Dalam forum-forum internasional, rata-rata diplomat Indonesia punya persiapan
terbatas sebelum sidang dan baru membaca situasi ketika di dalam ruang sidang.
Di kantor-kantor perwakilan RI, khususnya di wilayah yang banyak migran dari
Indonesia, perhatian seluruh diplomat terarah pada pelayanan konsuler atau
perlindungan tenaga kerja. Jadi, hal-hal teknis dan rutin saja yang banyak
mendapat porsi energi staf.
Jadi, jangan diartikan bahwa
slogan politik luar negeri Indonesia, bebas aktif, menjadi dasar hukum
terjadinya dua kasus di atas. Secara politik sah-sah saja, tidak ada pasal kode
etik yang dilanggar. Atau kita harus memaklumi bahwa ekses politik luar negeri
bebas aktif, menjadikan kita wajib mengkuti aturan main politik internasional. Politik
tetap politik.
Seolah politik luar negeri
Indonesia tergantung kebutuhan, permintaan dan harga pasar; mengikuti arus dan
aliran kuat; ditentukan siapa pemegang kendali; mentaati aturan tak tertulis;
manfaatkan jalur pendek non-protokoler. Tidak punya posisi tawar walau
mengandalkan jumlah penduduk masuk lima besar dunia.
Di skala ASEAN, jangan-jangan
hanya ‘meng-amin-i’
kejadian yang sudah terjadi. Semangat dan jiwa ASEAN baik-baik saja, adem-ayem,
ketika kasus karhutla menjadikan Indonesia swasembada asap dan pemasok asap. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar