demokrasi Indonesia antara 5 menit dan 5
tahun
Konon, rakyat Indonesia yang
mempunyai hak pilih dan sadar akah haknya pada saat pesta demokrasi, bak raja.
Kehadirannya di bilik suara TPS terdekat sangat diharapkan oleh pihak tertentu.
Apalagi, kalau pihak tertentu itu telah memberi uang saku, uang rokok dan biaya
perjalanan dari rumah ke TPS. Atau sebaliknya, berlaku paradigma NPWP.
Percaya, masih banyak
pemilih yang menentukan pilihannya sesuai harapan dan doanya. Semoga yang dipilih dan terpilih,
tidak akan khianat, tidak akan mberot di tengah jalan. Diberi daya ingat yang
kuat, diberi kekuatan untuk membuktikan janji kampanyenya. Diberi pendengaran
dan penglihatan yang wajar, sehat dan jujur.
Konon, pasca pelantikan dan
pengambilan sumpah sebagai wakil rakyat, kepala daerah maupun atuapun sebagai
kepala negara, otomatis seolah-olah hak rakyat gugur. Cuma 5 menit rakyat
pemilih jadi raja. Tergantikan dengan kewajiban untuk memenuhi janji kepada
pihak penyandang dana yang menyebabkan dia bisa masuk bursa pemilihan, bahkan
sampai bisa resmi menjabat.
Percaya, masih ada segelintir kepala
negara – memang ada berapa kepala negara di Nusantar – yang tidak ingkar
janji. Setia, konsisten dan lurus dengan ucapannya. Biasanya iklim demokrasi
Nusantara yang mengandalkan politik transaksional, politik bagi hasil/bagi jasa
sekaligus balas dendam, yang menjadi pecundang, yang akan melubangi bahtera
Nusantara dari dalam justru ‘orang dalam’.
Sejarah membuktikan. Akankah
kita hanya menunggu sejarah periode 2014-2019 sampai hari terakhir! [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar