Halaman

Rabu, 25 November 2015

rahasia di balik mental pe-revolusi mental, imajinasi politik vs imajinasi korupsi

rahasia di balik mental pe-revolusi mental, imajinasi politik vs imajinasi korupsi

Model korupsi di NKRI sangat bervariasi dan beragam. Mulai skala lokal sampai skala nasional. Mulai dari figuran sampai sutradara di belakang jeruji besi. Perlakuan hukum atas koruptor yang masuk kategori terpidana dikatakan malah memuliakannya. Beda dengan tindak kriminal lainnya yang karena setoran utawa upetinya tidak layak, tidak sesuai dengan standar jual beli perkara.

Perlakuan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jauh dari standar dan skala istimewa. Kasus Buaya vs Cicak sampai berserial, berjilid, bersambung, semangkin membuktikan bahwa korupsi tidak sekedar budaya Nusantara, bahkan sudah didaulat sebagai lagu wajib di jajaran penyelenggara negara, khususnya yang berkaitan dengan aparat penegak hukum.

Penyelenggara negara periode 2014-2019, khususnya dari suruhan partai politik pemenang Pemilu 2014, mau tak mau, bisa tak bisa - tak bisa tapi mau - “wajib” menyelesaikan kontrak politik lima tahun.

Daya kohési antara imajinasi politik versus imajinasi korupsi di jiwa kawanan parpolis penyelenggara negara sedemikian saling menguatkan, saling memadukan, saling menigisi dan saling mengkokohkan. Jangan dikira, bahkan antar individu dalam satu tubuh parpol bisa terjadi daya adhési yang bak dua kutub berlawanan.

Kekuatan nyata KIH maupun KMP bukan pada kuantitas atau jumlah parpol yang seolah se-iya dan sekata, tetapi justru terletak pada kualitas individu. Karena pertarungan, perseteruan, persaingan di panggung, industri dan syahwat politik, orang akan memainkan sekaligus memerankan dirinya sendiri.

Perjuangan politik anak bangsa dikatakan berhasil jika sudah jadi wakil rakyat mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional; menjadi kepala daerah / wakil kepala daerah apalagi kepala negara. Ini baru pada jabatan yang terukur. Tak kurang yang menjadikan sebagai mata pencaharian.

Politik transaksional, ideologi berbasis Rp, mahar politik, NPWP, jual beli suara, komisi (se)berapa, atau sebutan lainnya menjadikan penyelenggara negara terjebak pada tarik-menarik imajinasi politik vs imajinasi korupsi. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar