memahami dibalik makna Politik
Santun ala Revolusi Mental
sopan santun/so·pan san·tun/ n budi pekerti yang baik; tata krama; peradaban;
kesusilaan: - dalam pergaulan sangat diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat;
bersopan santun/ber·so·pan san·tun/ v 1 berlaku (berkata dan sebagainya) dengan sopan sekali; 2 ada sopan santunnya;
kesopansantunan/ke·so·pan·san·tun·an/ n perihal sopan santun
(sumber : http://kbbi.web.id/sopan%20santun)
Bangsa dan
rakyat Indonesia, sebagai wong timur, dikenal dengan adat sebagai sosok yang ramah
tamah, sopan santun. “Buy me sir” salah satu bukti keramahan saat
menyapa turis, khususnya wisman, di pantai Bali. Wisman mencari sinar matahari
yang tiap fajar berkibar di Indonesia. Soal busana tidak bisa dikaitkan dengan
rasa sopan. Apalagi gaya hidup dan prilaku bule yang mungkin jauh dari batasan
santun atau norma lokal.
Sikap
bagaimana yang akan dipertontonkan para penyelenggara negara (baca : kawanan
parpolis yang sedang kontrak politik lima tahunan) saat menghadapai kekuatan asing,
pemodal asing, pelaku ekonomi asing? Selain menggelar karpet merah, menyambut
dengan upacara adat seremonial atau kenegaraan. Bisa-bisa menundukkan kepala
saja terasa masih kurang hormat. Di kandang sendiri saja terbungkuk-bungkuk
sebagai rasa dan tanda hormat terhadap tamu agung, bagaimana sikap dan prilaku
saat melakukan kunjungan ke mancanegara. Mempraktekkan politik tandang.
Bagaimana
kawanan parpolis pemenang Pesta Demokrasi 2014 menjalankan Politik Santun, sesuai
semangat Revolusi Mental Nusantara. Tepatnya bagaimana menjalankan politik
kandang. Berikut catatan ringan :
Pertama. Bandar politik juara umum pesta demokrasi 2014 merasa
terSANjung dengan
perolehan suara. Duduk manis berkipas-kipas disorot awak media. Namun
perjalanan politinya masih perlu ditunTUN. Akal, logika, syahwat politiknya sudah uzur.
Dua periode, 2004-2009 dan 2009-2014 duduk manis di bangku cadangan. Potensi
politiknya hanya dipakai untuk memikirkan yang tidak-tidak saja. Terbukti di
periode 2014-2019 parpol milik keluarganya tidak siap menang.
Kedua. Praktek politik transaksional, ideologi Rp, dukungan
politik berbayar di belakang menjadikan pembagian kursi jabatan prestisus di
legislatif seolah SANtai
ber-runTUN. Pemenang
tidak otomatis jadi ketua DPR maupun MPR. Jabatan seolah bisa dipeSAN dengan bayar TUNai. Diperebutkan
natara KIH dan KMP.
Ketiga. PeSAN
bayar TUNai terjadi
saat penyaringan dan penjaringan barisan pembantu presiden. Terbukti ada
perombakan kabinet, belum satu tahun beraksi. Tidak kebagian jabatan terhormat
di legislatif, kebagian jatah menteri. Waktu pelantikan Kabinet Kerja dihadiri
langsung oleh sang pengusul dan pendukung Jokowi. Bukti nasib Jokowi berSANdar pada TUNtunan sang presiden
senior (yang selalu merasa negara sebagai warisan bapak moyangnya).
Keempat. Oknum wakil ketua DPR mengatakan bahwa DPR bukan pabrik
UU. Mengandalkan usulan RUU dari pemerintah. Menyangkut nasib diri sendiri, khususnya
pasca periode, menjadi hak mereka untuk menetapkan UU. Terbukti, belum-belum
sudah boSAN menTUNtaskan kewajiban
menjalankan fungsi legislasi. Manusiawi, sebelum mensejahterakan rakyat, wakil
rakyat harus sejahtera terlebih dahulu. Apa artinya 560 manusia dibanding
ratusan juta penduduk.
Kelima. Ketika kaki terSANdung, tangan mengajukan TUNtutan. Dialami oknum sekjen parpol
penyokong Jokowi. Ditambah oknum Omong Cuap dan berkali-Kali meringis menjadi
panggilan KPK. Oknum ketum merasa tak bersalah, hanya berorasi berhiba-hiba. Tidak merasa kebakaran jenggot, masih utuh untuk
topeng. Restorasi politik menyajikan menu khusus, menjadi senjata ampuh, jitu dan
mujarab. Yang disasar dan dibidik adalah diri sendiri. Merasa bersih diri,
jelang pilkada serentak, menolak mahar politik. Merasa akan menjadi musuh
bersama.
Cukup lima
kesaksian saja. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar