Halaman

Sabtu, 14 November 2015

memahami dibalik makna Politik Santun ala Revolusi Mental

memahami dibalik makna Politik Santun ala Revolusi Mental

sopan santun/so·pan san·tun/ n budi pekerti yang baik; tata krama; peradaban; kesusilaan: - dalam pergaulan sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat;

bersopan santun
/ber·so·pan san·tun/ v 1 berlaku (berkata dan sebagainya) dengan sopan sekali; 2 ada sopan santunnya;

kesopansantunan
/ke·so·pan·san·tun·an/ n perihal sopan santun
(sumber : http://kbbi.web.id/sopan%20santun)

Bangsa dan rakyat Indonesia, sebagai wong timur, dikenal dengan adat sebagai sosok yang ramah tamah, sopan santun. “Buy me sir” salah satu bukti keramahan saat menyapa turis, khususnya wisman, di pantai Bali. Wisman mencari sinar matahari yang tiap fajar berkibar di Indonesia. Soal busana tidak bisa dikaitkan dengan rasa sopan. Apalagi gaya hidup dan prilaku bule yang mungkin jauh dari batasan santun atau norma lokal.

Sikap bagaimana yang akan dipertontonkan para penyelenggara negara (baca : kawanan parpolis yang sedang kontrak politik lima tahunan) saat menghadapai kekuatan asing, pemodal asing, pelaku ekonomi asing? Selain menggelar karpet merah, menyambut dengan upacara adat seremonial atau kenegaraan. Bisa-bisa menundukkan kepala saja terasa masih kurang hormat. Di kandang sendiri saja terbungkuk-bungkuk sebagai rasa dan tanda hormat terhadap tamu agung, bagaimana sikap dan prilaku saat melakukan kunjungan ke mancanegara. Mempraktekkan politik tandang.

Bagaimana kawanan parpolis pemenang Pesta Demokrasi 2014 menjalankan Politik Santun, sesuai semangat Revolusi Mental Nusantara. Tepatnya bagaimana menjalankan politik kandang. Berikut catatan ringan :

Pertama. Bandar politik juara umum pesta demokrasi 2014 merasa terSANjung dengan perolehan suara. Duduk manis berkipas-kipas disorot awak media. Namun perjalanan politinya masih perlu ditunTUN. Akal, logika, syahwat politiknya sudah uzur. Dua periode, 2004-2009 dan 2009-2014 duduk manis di bangku cadangan. Potensi politiknya hanya dipakai untuk memikirkan yang tidak-tidak saja. Terbukti di periode 2014-2019 parpol milik keluarganya tidak siap menang.

Kedua. Praktek politik transaksional, ideologi Rp, dukungan politik berbayar di belakang menjadikan pembagian kursi jabatan prestisus di legislatif seolah SANtai ber-runTUN. Pemenang tidak otomatis jadi ketua DPR maupun MPR. Jabatan seolah bisa dipeSAN dengan bayar TUNai. Diperebutkan natara KIH dan KMP.

Ketiga. PeSAN bayar TUNai terjadi saat penyaringan dan penjaringan barisan pembantu presiden. Terbukti ada perombakan kabinet, belum satu tahun beraksi. Tidak kebagian jabatan terhormat di legislatif, kebagian jatah menteri. Waktu pelantikan Kabinet Kerja dihadiri langsung oleh sang pengusul dan pendukung Jokowi. Bukti nasib Jokowi berSANdar pada TUNtunan sang presiden senior (yang selalu merasa negara sebagai warisan bapak moyangnya).

Keempat. Oknum wakil ketua DPR mengatakan bahwa DPR bukan pabrik UU. Mengandalkan usulan RUU dari pemerintah. Menyangkut nasib diri sendiri, khususnya pasca periode, menjadi hak mereka untuk menetapkan UU. Terbukti, belum-belum sudah boSAN menTUNtaskan kewajiban menjalankan fungsi legislasi. Manusiawi, sebelum mensejahterakan rakyat, wakil rakyat harus sejahtera terlebih dahulu. Apa artinya 560 manusia dibanding ratusan juta penduduk.

Kelima. Ketika kaki terSANdung, tangan mengajukan TUNtutan. Dialami oknum sekjen parpol penyokong Jokowi. Ditambah oknum Omong Cuap dan berkali-Kali meringis menjadi panggilan KPK. Oknum ketum merasa tak bersalah, hanya berorasi berhiba-hiba. Tidak merasa kebakaran jenggot, masih utuh untuk topeng. Restorasi politik menyajikan menu khusus, menjadi senjata ampuh, jitu dan mujarab. Yang disasar dan dibidik adalah diri sendiri. Merasa bersih diri, jelang pilkada serentak, menolak mahar politik. Merasa akan menjadi musuh bersama.

Cukup lima kesaksian saja. [Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar