Kamis, 24/10/2002 14:32
UNEG-UNEG DIAM (UUD) :
TRITURA VERSI REFORMASI
Salah satu ataupun benar semua yang menunjukkan betapa
lihai, piawai, julig maupun kesederhanaan pikiran the smilling general
Soeharto dalam meninabobokan ras Melayu yang mendominasi watak bangsa
Indonesia, di awal Orde Baru, adalah dengan cara membubarkan PKI dengan segala
ormas-ormasnya. Selain sebagai organisasi terlarang, ajaran-ajaran komunis pun
dinyatakan terlarang terang-terangan, baik dari segi peredaran faham maupun
diperjualbelikan naskahnya. Ikhwal ini dilengkapi dengan menggelar Mahkamah
Militer Luar Biasa, yang mengadili benggol dan dedengkot PKI.
Masalah bubarnya Kabinet Dwikora/100 Menteri
direalisasikan dengan pembentukan Kabinet Pembangunan. Soal penurunan harga
diimbangi dengan kurs dollar berdasarkan ketetapan pemerintah. Akhirnya secara
politis dan ekonomis Soeharto bisa bertahta selama 6 kali pemilu,
berturut-turut. Tanpa ada itikad untuk menuntut, apalagi mencabut mandataris
presiden. Seolah semua nyali dan hati nurani menjadi ciut. Semua komponen
bangsa, khususnya Angkatan 1966 turut-miturut saja. Para pemanfaat kesempatan
malah mematut-matut diri untuk ikut, daripada kesikut lebih baik bertopeng
wajah kecut. Sampai ada yang mengekor mBak Tutut. Semua sudah kepincut untuk
nunut dan kebacut untuk katut. Poros kekuasaan diciptakan Soeharto secara telak
(menggalang kekuatan Golkar, ABRI dan konglemerat sebagai mesin politik),
diimbangi para pejabat negara atau birokrat bisa bermain dalam KKN.
Cerita tentang Reformasi, konsepnya hanya
melengserkeprabonkan Presiden Soeharto dari singgasana. Adegan berikutnya bak
layang-layang putus talinya, diombang-ambingkan persaingan bebas. Semua
berimprovisasi sesuai selera, semua unjuk raga tanpa peduli. Antiklimaks
Tritura versi Reformasi yang berhasil yaitu :
Pertama, munculnya puluhan partai politik berdasarkan
hukum rimba, semua berorientasi ke kursi. Parpol merupakan fungsi dari
kekuasaan yang melahirkan ketidakpuasan dan kebuasan; fungsi dari kewenangan
yang melahirkan ketidaksewenangan dan sewenang-wenang. Baik itu parpol
sempalan, parpol kembar, barisan sakit hati, macam ompong ataupun model
kubu-kubu. Pengurus parpol tentunya tidak mau masuk kategori "kurus".
Kedua, naiknya berbagai harga dengan dalih kurs dollar
mengikuti hukum pasar internasional atau perdagangan bebas dunia, khususnya
IMF. Jangan mimpi kalau harga-harga akan turun, kendati rupiah menguat.
Pengangguran, termasuk pengangguran politik menjadi hal biasa. Orang Kaya Baru
atau konglomerat mini bertimbulan, baik di jalanan maupun di tingkat parlemen.
Ketiga, terbentuknya Kabinet Balas Jasa sesuai asas
demokrasi jalanan, yang siap bongkar pasang. Komposisi kabinet diselaraskan
dengan komposisi parpol pemenang pemilu. Teori antrian agaknya susah ditrapkan,
orang parpol yang berkedok wakil rakyat akan mencari upaya terobosan untuk
percepatan nasib.
Akhirnya, memasuki tahun keempat Reformasi, watak
Melayu yang masih kental dan menyebalkan tak merasa dininabobokan oleh berbagai
krisis. Pertikaian dan konflik selalu diperbarui secara sistematis dan permanen.
Tokoh-tokoh yang ditayangkan hanya itu-itu saja, hanya beda status. Himbauan
pemerintah lebih bersifat retorika, ditimpali dengan silang kata oleh para
penyelenggara negara. Langkah politis dan ekonomis yang dicanangkan pemerintah
selalu menjadi mentah sebelum matang. (hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar