Halaman

Senin, 01 Desember 2014

DAYA RUSAK KORUPSI

DAYA RUSAK KORUPSI


Secara sadar, manusiawi dan kodrati kita melakukan korupsi dari strata dan kadar yang paling sederhana. Kita bisa bangun jelang subuh, karena memperpanjang kenikmatan mimpi, nyenyak diperpanjang sampai matahari berkibar. Alasannya tidur cukup larut malam, habis lembur utawa memanfaatkan waktu sisa jelang tengah malam sebagai pemirsa setia. Jaga kesehatan dengan tidur panjang agar kerja tetap bugar. Setan mengencingi telinga kita, tak terasa, setan selalu menang. Saat itu kita tidak merasa rugi waktu, merasa tidak merugikan siapa pun. Korupsi waktu dilakukan sepanjang waktu, nyaris rutin dan menerus akhirnya kita tak bisa membedakan mana rekayasa jiwa (niat tidur tapi tanpa niat bangun pagi), mana murni kecelakaan (tidur bebas dari hukum agama). Korupsi waktu menjadi budaya, terlebih tanpa sanksi.

Korupsi waktu mengilhami atau menggerakan motivasi untuk korupsi lainnya. Memang tidak ada niat atau indikasi berbuat tipikor. Akumulasi hidup terasa mudah, kontrol diri sebatas niat awal (walau Allah menilai perbuatan manusia atas dasar niat) tanpa meyakini ada yang “melihat”.  Sedikit demi sedikit, akhirnya budaya korupsi terasa menggigit. Semakin digigit semakin renyah dan gurih rasanya.

Model korupsi di NKRI sangat bervariasi dan beragam. Mulai skala lokal, skala regional sampai skala nasional. Mulai dari figuran sampai sutradara di belakang jeruji besi. Perlakuan hukum atas koruptor, manipulator klas paus yang masuk kategori terpidana dikatakan malah memuliakannya. Beda dengan tindak kriminal lainnya yang karena setoran utawa upetinya tidak layak, tidak sesuai dengan standar jual beli perkara, tidak ada lampirannya langsung diproses, tidak perlu penyelidikan dan penyidikan yang bertele-tele.

Dimana ada kesempatan dalam kesempitan, koruptor akan beraksi, secara perorangan maupun berdasarkan asas mufakat. Birokrasi memang sarang yang mengandung dan mengundang nafsu korupsi. Semula mungkin tak ada niat berkorupsi, akan tetapi atas desakan keadaan, tekanan politik, permintaan penggemar, dorongan nafsu, bisikan kawan separtai, sekedar iseng, situsai dan kondisi yang mendukung, dalam lingkungan yang sudah terkontaminasi secara sistematis, coba-coba, akhirnya korupsi jadi budaya. Mungkinkah tatanan negara dan tataran politik NKRI rawan tipikor? Mata rantai tipikor sudah mengakar dan menggurita sampai pelosok nusantara, dilaksanakan secara seksama dalam tempo menerus oleh birokrat, aparat kepolisian, jajaran penegak hukum, pebisnis di dunia militer, parlemen, rekanan, sampai para pemangku kepentingan dari berbagai unsur dan anasir. Tiap tahun rating atau peringkat sebagai negara yang melahirkan koruptor, semangkin meningkat. Diimbangi tarif BBM dan UMR termasuk kategori murah utawa rendah, untuk skala ASEAN sekalipun. Apa kata dunia. Tak terasa, tipikor telah memasuki babakan megamafia. Aliran idiologi yang hanya mementingkan kepentingan parpolnya menyuburkan sumber dan aliran dana dari berbagai pihak.

Dampak korupsi bisa dirasakan oleh keluarga sang koruptor. Tidak hanya dampak yuridis.  Dampak relijius, dampak sosial bisa terasa. Mengkonsumsi sajian dan hidangan yang tak bawa berkah. Membelanjakan uang yang bukan haknya. Gaya hidup yang jauh dari kesederhanaan. Tinggal di rumah mewah dari uang menjarah. Finansial dan ekonomi terlihat terjamin. Mata hati tak bisa tertipu ketika lihat rumah kumuh, anak jalanan, gelandangan dan pengemis, pemulung. Di relung hati terdalam, terlebih melihat contoh sang terpidana tipikor (walau tak dimiskinkan oleh pengadilan) menyesali diri tujuh turunan, akan terketuk.

Beda parpol, korupsi tetap nongol. Beda fraksi, komisi, faksi tetap korupsi. Ironis, dalam satu keluarga bisa menikmati hasil korupsi bak makan durian runtuh. Dalam satu lingkungan unit kerja utawa unit usaha, korupsi sudah jadi mata pencaharian utama. Tak terasa, tipikor telah memasuki babakan megamafia. Aliran idiologi yang hanya mementingkan kepentingan parpolnya menyuburkan sumber dan aliran dana dari berbagai pihak.

Generasi muda yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi, di satu sisi sebagai ahli demo, di sisi yang lain diributkan dengan status atau sistem pendidikan. Usai wisuda, berhadapan dengan kesulitan untuk cari pekerjaan.

Hidup tidak bisa dipersamakan dengan persamaan matematis. Jika melihat keberhasilan, prestasi seorang mahasiswa, bisa dihitung mundur langkah apa saja yang telah ditempuh; pendekatan apa saja yang sudah diterapkan; kiat, ikhtiar, upaya, upaya apa saja yang pernah dipraktekkan. Angka hoki apa saja yang harus dipunyai, rumus ajaib apa saja yang harus dimiliki, jurus jitu apa saja yang harus dikuasai sampai kemungkinan adanya formula keberuntungan. Bisa juga nama membawa berkah.

Cukup banyak mahasiswa yang mati-matian, jungkir balik, banting tulang dalam merencanakan serta mengerahkan berbagai ikhtiar untuk meraih prestasi (diukur dengan nilai akademis). Berbagai kegiatan dan aktivitas dilakukan dengan sepenuh hati karena diyakini sebagai jembatan untuk menggapai dan mewujudkan prestasi juga. Sebanyak itu pula yang telah mempertaruhkan waktu, tenaga dan pikiran dalam mengukir prestasi, namun prestasi malah menjauh, alias hasilnya nihil. Bukan prestasi yang diraih, malah frustasi. Mungkin, karena terjebak dan tidak bisa membedakan mana fantasi, mana sensasi, mana prestasi.

Sebaliknya, justru tak jarang, mahasiswa dalam ngalakoni hidupnya kelihatan santai, alami, apa adanya, cuek bebek malah bisa menumpuk sukses. Seolah sukses bukan sebagai fungsi usaha. Tipe ini bukanlah mahasiswa yang tak tanggap, tak peduli, tak peka, atau acuh terhadap lingkungannya. Bukan pula nasib baik yang menjawab. Bisa juga karena garis tangannya tidak ruwet, lurus-lurus saja. Pengaruh lingkungan (khususnya dari keluarga), gaya hidup, asupan gizi, pergaulan, bakat serta banyak faktor lainnya yang mempengaruhi/menentukan suksesi mahasiswa. Tekad, ketekunan, keuletan, ketabahan jauh dari popularitas yang membuahkan prestasi. Tak sengaja malah melejitkan nama.

Kewajiban mahasiswa bukan menebak posisi dari anomali atau penyimpangan tersebut yang akan mempengaruhi  pola pikirnya. Karena niat untuk berubah, ikhtiar yang dilakukan secara tekun dan menerus, do’a yang dimohonkan kepada-Nya, harapan mendapat ridho-Nya, dilandasi dengan tawakal yang akan menentukan keberhasilan. Walau secara formal disebutkan bahwa “mahasiswa yang berprestasi” adalah setiap mahasiswa yang telah menghasilkan dan memberikan sesuatu yang berdaya guna serta berhasil guna bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Secara mendasar mahasiswa harus berguna dan bermanfaat bagi dirinya sendiri.


Medical check-up, uji kelayakan dan kepatutan, tes DNA, bagi tersangka tipikor agar mereka layak diadili (tidak mendadak lupa, tiba-tiba sakit, hiba merasa renta, sedang akting bohong), layak dipidana penjara (sehat jasmani rohani, manusiawi). [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar