Halaman

Minggu, 21 Desember 2014

ASAL TNI - POLRI TIDAK MELEDAK

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 02/10/2002 10:20

ASALTNI-POLRI TIDAK MELEDAK

Goresan sejarah pertumbuhan ABRI cukup lurus dan meyakinkan, mulai dari gerilyawan sebagai prajurit pejuang 1945, manusia pilihannya dibentuk melalui penggodogan secara akademis sampai akhirnya aspirasi politiknya tersalurkan lewat Fraksi TNI-Polri. Banyak babakan dan adegan dinikmati secara gemilang. Terkadang dekat dengan rakyat - bak ikan dengan airnya - pernah terjadi sesekali menjadi momok masyarakat yang menghantui demokrasi. Sebutan anak kolong sampai yang jadi presiden merupakan wacana multi dimensi yang tak membosankan untuk diperdebatkan. Dari yang berposisi sebagai backing/decking cukong sampai adanya jenderal tanpa perang merupakan sosok yang mewarnai sejarah bangsa kita.

Dosa bawaan yaitu adanya dogma dwi-fungsi ABRI sehingga bisa menduduki jabatan di pemerintahan/sipil - kendati ada pilihan pilih jalur militer atau jalur sipil. Pendekatan teritorial dan pengamanan wilayah darat, udara dan laut yang harus menjadi acuan kiprahnya TNI. Pengembangan sistem teknologi pengamanan wilayah dan pembentukan personel yang handal merupakan wujud nyata kontribusi TNI di era reformasi ini. Bukannya menampilkan sosok-sosok bak tukang perang atau menyodorkan figur-figur yang akhirnya malah jadi biang kerok.

Sebutan serdadu, baju hijau, tentara, kompeni, topi baja, di bawah sepatu lars, di ujung bayonet/sangkur, popor kayu, todongan laras, moncong senapan, bau mesiu atau apapun gelar lainnya masih merupakan fenomena yang potensial mempengaruhi peradaban TNI. Bedanya dengan Polri yaitu pada sudut pandang melihat atau menakar citra. Sejauh ini masyarakat menilai Polri sebatas kebecusan dalam mengurus SIM/STNK, tak lebih tak minus.

Pasca Orba terjadi konflik terbuka di lapangan antara TNI vs Polri. Entah apa yang dipertikaikan atau diperebutkan. Pertikaian ini seolah ada yang diuntungkan atau mengambil keuntungan dalam lipatan, dan yang buntung tentunya rakyat. Tak ada mesiu tak ada peluru. Masyarakat sudah pada tingkatan Was-was I, dengan embargo senjata AS apakah kita mampu bertahan bila diserang musuh dari luar. Urusan dalam negeri, sampai kapan GAM, konflik SARA atau pertikaian bersenjata diberbagai propinsi bisa diakhiri secara bijak, manusiawi dan tuntas.

Bagaimana TNI memposisikan diri dalam krisis multi dimensi yang seolah tak akan surut.
Bagaimana TNI mengadaptasikan Sapta Marga ke dalam situasi yang terasa dinamis, radikal dan terkadang ekstrem.
Bagaimana TNI menyikapi perkembangan politik yang sedang mabuk partai.
Bagaimana TNI memformulasikan solusi yang manjur bagi penyakit disintegrasi bangsa.

Agaknya banyak hutang Pekerjaan Rumah (PR) yang harus dibayar dan segudang PR yang menghadang. Akhir kata, TNI harus jujur (sesuai makna prajurit = prasaja, jujur dan irit) menerima dan membaca rapornya. Bukan masalah angka merah atau nilai kurang, tetapi pada kesempatan untuk meradang dan menerjang persoalan bangsa dan negara yang sedang berkecamuk - ini yang ditunggu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar