Rabu, 02/10/2002 10:20
ASALTNI-POLRI TIDAK
MELEDAK
Goresan sejarah pertumbuhan ABRI cukup lurus dan
meyakinkan, mulai dari gerilyawan sebagai prajurit pejuang 1945, manusia
pilihannya dibentuk melalui penggodogan secara akademis sampai akhirnya
aspirasi politiknya tersalurkan lewat Fraksi TNI-Polri. Banyak babakan dan
adegan dinikmati secara gemilang. Terkadang dekat dengan rakyat - bak ikan
dengan airnya - pernah terjadi sesekali menjadi momok masyarakat yang
menghantui demokrasi. Sebutan anak kolong sampai yang jadi presiden merupakan
wacana multi dimensi yang tak membosankan untuk diperdebatkan. Dari yang
berposisi sebagai backing/decking cukong sampai adanya jenderal tanpa perang
merupakan sosok yang mewarnai sejarah bangsa kita.
Dosa bawaan yaitu adanya dogma dwi-fungsi ABRI
sehingga bisa menduduki jabatan di pemerintahan/sipil - kendati ada pilihan
pilih jalur militer atau jalur sipil. Pendekatan teritorial dan pengamanan
wilayah darat, udara dan laut yang harus menjadi acuan kiprahnya TNI.
Pengembangan sistem teknologi pengamanan wilayah dan pembentukan personel yang
handal merupakan wujud nyata kontribusi TNI di era reformasi ini. Bukannya
menampilkan sosok-sosok bak tukang perang atau menyodorkan figur-figur yang
akhirnya malah jadi biang kerok.
Sebutan serdadu, baju hijau, tentara, kompeni, topi
baja, di bawah sepatu lars, di ujung bayonet/sangkur, popor kayu, todongan
laras, moncong senapan, bau mesiu atau apapun gelar lainnya masih merupakan
fenomena yang potensial mempengaruhi peradaban TNI. Bedanya dengan Polri yaitu
pada sudut pandang melihat atau menakar citra. Sejauh ini masyarakat menilai
Polri sebatas kebecusan dalam mengurus SIM/STNK, tak lebih tak minus.
Pasca Orba terjadi konflik terbuka di lapangan antara
TNI vs Polri. Entah apa yang dipertikaikan atau diperebutkan. Pertikaian ini
seolah ada yang diuntungkan atau mengambil keuntungan dalam lipatan, dan yang
buntung tentunya rakyat. Tak ada mesiu tak ada peluru. Masyarakat sudah pada
tingkatan Was-was I, dengan embargo senjata AS apakah kita mampu bertahan bila
diserang musuh dari luar. Urusan dalam negeri, sampai kapan GAM, konflik SARA
atau pertikaian bersenjata diberbagai propinsi bisa diakhiri secara bijak,
manusiawi dan tuntas.
Bagaimana TNI memposisikan diri dalam krisis multi
dimensi yang seolah tak akan surut.
Bagaimana TNI mengadaptasikan Sapta Marga ke dalam
situasi yang terasa dinamis, radikal dan terkadang ekstrem.
Bagaimana TNI menyikapi perkembangan politik yang
sedang mabuk partai.
Bagaimana TNI memformulasikan solusi yang manjur bagi
penyakit disintegrasi bangsa.
Agaknya banyak hutang Pekerjaan Rumah (PR) yang harus
dibayar dan segudang PR yang menghadang. Akhir kata, TNI harus jujur (sesuai
makna prajurit = prasaja, jujur dan irit) menerima dan membaca rapornya. Bukan
masalah angka merah atau nilai kurang, tetapi pada kesempatan untuk meradang
dan menerjang persoalan bangsa dan negara yang sedang berkecamuk - ini yang
ditunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar