Humaniora Dibaca :256 kali , 0 komentar
Allah Pun Sibuk, Bagaimana Dengan Diri Kita?
Ditulis : Herwin Nur, 23 Desember 2013
Walau umat Islam sedunia tidak berdoa, Allah dengan sifatnya Yang Maha Pemurah dan Yang Maha Penyayang, tetap menggelontorkan rezeki-Nya kepada siapa saja, tidak pandang bulu, ikhwal ini tersurat pada [QS Ar Rahmaan (55) : 29] : “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”
Allah senantiasa dalam keadaan menciptakan, menghidupkan, mematikan, memelihara, memberi rezeki, mengatur pertukaran malam dengan siang,terus menerus mengurus makhluk-Nya (Allah mengatur langit dan bumi serta seisinya), menurunkan air (hujan) dari langit.
Lapang maupun sempit rezeki sebagai tanda kekuasaan Allah serta datangnya dari arah tak terduga. Rezeki tidak sebatas urusan perut, walau dalam mencari sesuap nasi manusia wajib mengacu pada burung. Rezeki bisa liwat siapa saja dan kapan saja. Rezeki merupakan rahmat dari Allah.
Kiat menjemput rezeki-Nya diperlukan “ilmu” yang relevan, guna menunjang kesempurnaan ikhtiar. Burung hanya dibekali insting oleh Allah, untuk melacak lokasi sumber makanan. Kita dibekali panca indra dan seperangkat akal pikiran yang serba manfaat oleh Allah.
Usai berdoa dan berikhtiar, kita mantapkan tawakal kepada Allah. Soal hasil jerih payah merupakan hak prerogatif Allah, namun kita tetap yakin bahwa Allah selalu mengucurkan rezeki atau rahmat-Nya untuk kita.
Umat Islam dalam menyibukkan diri untuk semua urusan, urusan dunia maupu urusan akhirat, berharap upah berupa rezeki yang dianugrahkan Allah di dunia dan pahala di akhirat.
Rambu-Rambu Sibuk
Hidup merupakan fungsi waktu. Kita dalam memanfaatkan waktu sampai memasuki jebakan tak mengenal waktu. Mencari yang haram pun susah, apalagi yang halal, menjadi pedoman bagi kelompok tertentu.
Kesibukan manusia mengurus urusan dunia dan urusan akhirat, sambung-menyambung, sesuai [QS Alam Nasyrah (94) : 7] : “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,”
Sibuk tidak sekedar melakukan pekerjaan profesional atau komersial, sebagai makhluk sosial manusia wajib bekerja untuk pekerjaan sosial. Kondisi tersebut berdasarkan sebagian terjemahan [QS At Taubah (9) : 105] : "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, .. “. Orang dinilai pada apa yang pernah dikerjakan, dilakukan, dihasilkan.
Seolah banyak jalan pintas, maraknya budaya instan menjadi tenar, menjadi pesohor, masuk TV, menjadi idola yang ujung-ujungnya mandi uang. Ikut lomba mencari bakat sampai niat menjadi wakil rakyat, menjadi kepala daerah.
Kendati kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, menjadi semboyan hidup manusia dalam menyelesaikan urusan dunia, sebagai tindakan nyata menjemput rezeki-Nya. Biarpun peras keringat dan peras otak, tak kenal waktu, hidup diuber waktu, nyawa bisa jadi taruhan. Persaingan hidup menjadikan manusia siap berjibaku, di mana saja, kapan saja, bahkan tidak pandang bulu. Semua ada aturan mainnya.
Kita jangan lupa, bahwa yang halal pun ada batasnya ada takarannya. Kita simak [QS Asy Syuura (42) : 27] : “Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”
Kesibukan kita semata dalam rangka mendapatkan rahmat khusus, yaitu rahmat yang diperuntukkan bagi orang yang beriman dan bertakwa, diperoleh tidak hanya di dunia, bahkan juga di akhirat. Mengacu sebagian [QS. Al-A’raaf: (7) 156] “Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami."
Karena kondisi fisik, usia, mungkin kita harus duduk yang manis, bukan berarti tidak sibuk. (Herwin Nur/Wasathon.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar