Senin, 17/03/2003 13:37
KOBARKAN SEMANGAT
"AA GYM" : MENGELOLA KONFLIK ...
Dengan senjata RUU tentang “Pemilu Anggota DPR, DPD,
dan DPRD” tidak menyurutkan, menyusutkan apalagi menyiutkan beban hidup bangsa
dan rakyat NKRI. Bahkan kawanan politisi dan benggol-benggol negarawan pantang
surut dari berpacu dalam pemilu. Menjadi garang sebelum patah arang. Menjadi
kalang kabut sebelum berkalang tanah.
Calon presiden dari berbagai sumber tanpa malu dan
sungkan pagi-pagi sudah unjuk nama, pasang badan, buka mulut, pamer gigi - bagi
yang berkesempatan tampil di depan pirsawan akan siaga adu program, silang
kata, obral janji, sambung opini, ukur baju dan jajag pendapat.
Sebagai pesta demokrasi lima tahunan menyebabkan
pemilu menyedot perhatian dan energi nasional. Mulai dari yang pasang aksi
pura-pura repot sampai yang kerepotan menghitung untung rugi ikut pemilu.
Penyakit ambien karena terlalu lama duduk di kursi panas tak dihiraukan, stres
takut tak kebagian kursi lebih menyakitkan. Jumlah anak putus politik sekarang
ini masih sangat besar.
Data BPS pada tahun 2000an menyebutkan tak sampai 0%
peserta perpolitikan yang bisa meneruskan karirnya, sisanya yang merupakan
persentase terbanyak kandas di tengah jalan. Yang terjadi dikemudian
kesempatan, kata BPS, anak putus politik ini masuk dalam pasar kerja, demi
alasan membantu ekonomi orangtua. Mereka terpaksa bekerja sebelum kedewasaan
psikologis, sosial, dan fisiknya (bahkan yuridis) memungkinkan.
Memang ironis, minimnya daya dukung ekonomi tidak
sejalan dengan daya dukung politik. Maraknya konflik sebagai refleksi dari
konflik intern masing-masing pribadi. Besar kecilnya kadang tergantung
pemberitaan media massa. Banyak orang lupa pada cita-cita awal untuk
berpolitik, pembelokan selalu terjadi pada saat melihat alternatif perolehan
secara finansial. Babakan ini yang menjadikan mereka lupa kepada diri mereka
sendiri. Kompensasinya sangat mudah, lari ke dunia virtual, lari sebagai
ngawulo waduk, lari mengejar bayangan. Asal jangan menebar fitnah.
Menjadi orang fasik, adalah orang yang begitu mudah
mengubur cita-cita luhur, mendominasi perpolitikan kita. Kesadaran sebagai
insan politik yang terwujudkan dalam tindak rasa, tindak pikir, tindak kata,
tindak olah maupun tindak raga sekalipun malah menjadi barang langka. Tarik
ulur kepentingan sebagai biang kerok konflik telah memasuki dimensi tidak
adanya aturan main yang normatif. Kesadaran ini menjadi ruh, semangat dan jiwa
dari setiap perbuatan berpolitik, dan membedakannya dengan orang kafir. Karena
dengan kesadaran itu, seorang politikus akan selalu terikat dengan syariat dan
aturan politik. (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar