Halaman

Jumat, 19 Desember 2014

MENGELOLA KONFLIK DAN BERAT BADAN

Beranda » Berita » Opini
Senin, 17/03/2003 13:37

KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM" : MENGELOLA KONFLIK ...

Dengan senjata RUU tentang “Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD” tidak menyurutkan, menyusutkan apalagi menyiutkan beban hidup bangsa dan rakyat NKRI. Bahkan kawanan politisi dan benggol-benggol negarawan pantang surut dari berpacu dalam pemilu. Menjadi garang sebelum patah arang. Menjadi kalang kabut sebelum berkalang tanah.

Calon presiden dari berbagai sumber tanpa malu dan sungkan pagi-pagi sudah unjuk nama, pasang badan, buka mulut, pamer gigi - bagi yang berkesempatan tampil di depan pirsawan akan siaga adu program, silang kata, obral janji, sambung opini, ukur baju dan jajag pendapat.

Sebagai pesta demokrasi lima tahunan menyebabkan pemilu menyedot perhatian dan energi nasional. Mulai dari yang pasang aksi pura-pura repot sampai yang kerepotan menghitung untung rugi ikut pemilu. Penyakit ambien karena terlalu lama duduk di kursi panas tak dihiraukan, stres takut tak kebagian kursi lebih menyakitkan. Jumlah anak putus politik sekarang ini masih sangat besar.

Data BPS pada tahun 2000an menyebutkan tak sampai 0% peserta perpolitikan yang bisa meneruskan karirnya, sisanya yang merupakan persentase terbanyak kandas di tengah jalan. Yang terjadi dikemudian kesempatan, kata BPS, anak putus politik ini masuk dalam pasar kerja, demi alasan membantu ekonomi orangtua. Mereka terpaksa bekerja sebelum kedewasaan psikologis, sosial, dan fisiknya (bahkan yuridis) memungkinkan.

Memang ironis, minimnya daya dukung ekonomi tidak sejalan dengan daya dukung politik. Maraknya konflik sebagai refleksi dari konflik intern masing-masing pribadi. Besar kecilnya kadang tergantung pemberitaan media massa. Banyak orang lupa pada cita-cita awal untuk berpolitik, pembelokan selalu terjadi pada saat melihat alternatif perolehan secara finansial. Babakan ini yang menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Kompensasinya sangat mudah, lari ke dunia virtual, lari sebagai ngawulo waduk, lari mengejar bayangan. Asal jangan menebar fitnah.

Menjadi orang fasik, adalah orang yang begitu mudah mengubur cita-cita luhur, mendominasi perpolitikan kita. Kesadaran sebagai insan politik yang terwujudkan dalam tindak rasa, tindak pikir, tindak kata, tindak olah maupun tindak raga sekalipun malah menjadi barang langka. Tarik ulur kepentingan sebagai biang kerok konflik telah memasuki dimensi tidak adanya aturan main yang normatif. Kesadaran ini menjadi ruh, semangat dan jiwa dari setiap perbuatan berpolitik, dan membedakannya dengan orang kafir. Karena dengan kesadaran itu, seorang politikus akan selalu terikat dengan syariat dan aturan politik. (hn).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar