Halaman

Selasa, 02 Desember 2014

ANTI KEMAPANAN DAN FALSAFAH ROTI TAWAR

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 25/02/2003 08:45

KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM" :
ANTI KEMAPANAN DAN FALSAFAH ROTI TAWAR

Sejak bangsa Indonesia mengenal roti tawar, semasa VOC, sewaktu Kompeni, dalam status inlander atau di era Reformasi ini banyak fatwa yang dapat disimpulkan. Ada pasal yang mengutarakan bahwa pemakan roti tawar hanya dari klas elite saja. Ada dalil yang menjabarkan bahwa pemakan roti menunjukkan telah maju dan modern. Ada argumen yang mengetengahkan alasan bahwa pemakan roti adalah kroninya penjajah. Apa pun sejarahnya, yang jelas ketika orang akan makan roti tawar bagian "kulitnya" akan dibuang. Alasannya cukup masuk akal "inlander" yaitu karena keras. Apalagi kalau kulitnya gosong, akan dikatakan keras dan pahit! Kemanjaan mulut bangsa Indonesia dalam mengkonsumsi roti tawar dipenuhi dengan adanya roti tawar kupas. Roti tawar tanpa kulit. Jadinya mulut bangsa Indonesia tak perlu repot-repot mengunyah keempukan roti tawar. Menurut pakar gizi dan ahli gigi yang telah melakukan uji coba di laboratorium bahasa mengatakan justru bagian kulit roti tawar banyak gizinya! Berbeda dengan donat, yang paling enak bagian tengahnya. Yang tak enak (bagian luarnya) diekspor ke Indonesia, menjadi santapan elite bangsa.

Wacana ini hanya sekedar membuktikan bahwa kita senang bahwa segala sesuatunya tinggal dikunyah. Entah siapa yang menyuapkan, entah darimana asalnya, entah bagaimana prosedur mendapatkannya, entah bagaimana prosesing dari bahan baku hingga siap santap. Asal jangan model burung yang meloloh anaknya. Bekerja tanpa keringat, beda dengan makan sampai mandi keringat. Kita mewarisi semangat Orde Baru dan reinkranasi Orde Lama sampai ke tatanan hidup sehari-hari. Di jalanan betapa orang main serobot jalur lain, potong kompas, putar haluan, saling salib, berhenti mendadak, belok tanpa sign sampai selama masih ada calo SIM berarti kita masih memihak KKN.

KKN tidak mengalami pengikisan, hanya berubah bentuk dan semakin merata ke pelosok NKRI. Beban dua orde yang saling bermusuhan, mereka "bersatu" di era Reformasi yang tinggal gigit jari. Para Reformis hanya kebagian "isinya" donut, itupun saling diperebutkan. Donut bikinan IMF menjadi incaran, donut yang menggelembung ibarat parpol yang kebesaran perut menjadi trade mark Reformasi.

Mimpi di siang hari bolong malah menjadi trend, di samping menebar janji sebelum kampanye Pemilu 2004. Anti kemapanan bukan dalam skala politis saja, sudah merambah ke semua seluk beluk kehidupan. Standar ganda ala AS sudah usang dalam menilai kinerja petinggi bangsa. Tonggak kehidupan yang dipancangkan oleh Dwitinggal telah keropos, dimakan bangsa sendiri. Sanksi dan norma kehidupan yang diadob dari budaya bangsa yang adiluhur semakin luntur, dicampur baur dengan budaya asing yang terlihat lebih kemilau. Semakin banyak museum menyimpan atribut kebangsaan, semakin menggunung arsip nasional menimbun berkas file kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat dan beragama - semakin suntuk mimpi indah kita. Jika tiap partai politik membawa tonggak berbangsa dan bernegara, sedangkan tonggak tersebut sudah keropos dari sononya, apa jadi NKRI ini nantinya. (hn).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar