Selasa, 25/02/2003 08:45
KOBARKAN
SEMANGAT "AA GYM" :
ANTI
KEMAPANAN DAN FALSAFAH ROTI TAWAR
Sejak bangsa
Indonesia mengenal roti tawar, semasa VOC, sewaktu Kompeni, dalam status
inlander atau di era Reformasi ini banyak fatwa yang dapat disimpulkan. Ada
pasal yang mengutarakan bahwa pemakan roti tawar hanya dari klas elite saja.
Ada dalil yang menjabarkan bahwa pemakan roti menunjukkan telah maju dan
modern. Ada argumen yang mengetengahkan alasan bahwa pemakan roti adalah
kroninya penjajah. Apa pun sejarahnya, yang jelas ketika orang akan makan roti
tawar bagian "kulitnya" akan dibuang. Alasannya cukup masuk akal
"inlander" yaitu karena keras. Apalagi kalau kulitnya gosong, akan
dikatakan keras dan pahit! Kemanjaan mulut bangsa Indonesia dalam mengkonsumsi
roti tawar dipenuhi dengan adanya roti tawar kupas. Roti tawar tanpa kulit.
Jadinya mulut bangsa Indonesia tak perlu repot-repot mengunyah keempukan roti
tawar. Menurut pakar gizi dan ahli gigi yang telah melakukan uji coba di
laboratorium bahasa mengatakan justru bagian kulit roti tawar banyak gizinya!
Berbeda dengan donat, yang paling enak bagian tengahnya. Yang tak enak (bagian
luarnya) diekspor ke Indonesia, menjadi santapan elite bangsa.
Wacana ini hanya
sekedar membuktikan bahwa kita senang bahwa segala sesuatunya tinggal dikunyah.
Entah siapa yang menyuapkan, entah darimana asalnya, entah bagaimana prosedur
mendapatkannya, entah bagaimana prosesing dari bahan baku hingga siap santap.
Asal jangan model burung yang meloloh anaknya. Bekerja tanpa keringat, beda
dengan makan sampai mandi keringat. Kita mewarisi semangat Orde Baru dan
reinkranasi Orde Lama sampai ke tatanan hidup sehari-hari. Di jalanan betapa
orang main serobot jalur lain, potong kompas, putar haluan, saling salib,
berhenti mendadak, belok tanpa sign sampai selama masih ada calo SIM berarti
kita masih memihak KKN.
KKN tidak mengalami
pengikisan, hanya berubah bentuk dan semakin merata ke pelosok NKRI. Beban dua
orde yang saling bermusuhan, mereka "bersatu" di era Reformasi yang
tinggal gigit jari. Para Reformis hanya kebagian "isinya" donut,
itupun saling diperebutkan. Donut bikinan IMF menjadi incaran, donut yang
menggelembung ibarat parpol yang kebesaran perut menjadi trade mark Reformasi.
Mimpi di siang hari
bolong malah menjadi trend, di samping menebar janji sebelum kampanye Pemilu
2004. Anti kemapanan bukan dalam skala politis saja, sudah merambah ke semua
seluk beluk kehidupan. Standar ganda ala AS sudah usang dalam menilai kinerja
petinggi bangsa. Tonggak kehidupan yang dipancangkan oleh Dwitinggal telah
keropos, dimakan bangsa sendiri. Sanksi dan norma kehidupan yang diadob dari
budaya bangsa yang adiluhur semakin luntur, dicampur baur dengan budaya asing
yang terlihat lebih kemilau. Semakin banyak museum menyimpan atribut
kebangsaan, semakin menggunung arsip nasional menimbun berkas file kehidupan
berbangsa, bernegara, bermasyarakat dan beragama - semakin suntuk mimpi indah
kita. Jika tiap partai politik membawa tonggak berbangsa dan bernegara,
sedangkan tonggak tersebut sudah keropos dari sononya, apa jadi NKRI ini
nantinya. (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar