Kamis, 27/02/2003 07:37
PERMASALAHAN BANGSA DAN PERGOLAKAN POLITIK
Sejauh ini yang jadi
kambing hitam permasalahan bangsa adalah krisis moneter yang bergulir bebas
seolah tiada henti. Perut rakyat yang terbiasa makan sekali sehari menjadi
sekarang makan besok belum tentu. Di lain pihak kemajuan teknologi otomotif
bisa ditonton di jalanan kota-kota, belum terhitung merebaknya pola hidup
konsumtif yang mengadop gaya hidup negara maju. Karena tidak ada tolok ukurnya
maka krisis budaya bukan kendala untuk menjadi negara maju. Yang cepat ditiru
yang sifatnya prestige, prestasi nanti dulu. Seperti halnya tarif dan harga
mancanegara yang ditiru sedangkan upah dan gaji cukup pakai standar lokal saja.
Permasalahan bangsa
yang mengakar pada rakyat sudah bisa dieliminir atau sudah mengerucut. Rakyat
yang tahan banting terbiasa memaafkan situasi negara. Masalah yang berbasis
pada rakyat tak jauh dari urusan perut atau seputar sembako plus masalah papan
yang layak huni di lingkungan yang manusiawi. Kesempatan kerja atau dibukanya
peluang pekerjaan sambilan, berikut upah yang layak sebagai lingkaran masalah
kedua. Lingkaran berikutnya berupa pendidikan, kesehatan, transportasi umum.
Ikhwal kesejahteraan merupakan acuan permasalahan bangsa dan pergolakan
politik. Namun terdapat kontradiksi dalam perwujudannya.
Permasalahan bangsa
berpangkal tolak dari pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Ruang juang ini bisa
dipenuhi jika adanya ikatan hukum, moral bagi penyelenggaran negara - tidak
hanya dari kalangan birokrat juga dari pihak militer, pengusaha, swasta dan
komponen bangsa lainnya. Keberhasilan pembangunan bangsa terletak pada
keberhasilan penyelenggara negara dalam menyejahterakan rakyatnya. Sedangkan
pada pergolakan politik lebih didominasi upaya politikus untuk sejahtera secara
pribadi dan keluarga. Pasca Orde Baru tumbuh subur lahan usaha yang menawarkan
kemakmuran, yaitu sebagai politikus. Lahan ini bisa menyulap orang yang semula
rakyat jelata menjadi wakil rakyat yang jelalatan (mirip kesetanan)
memanfaatkan wewenangnya. Celakanya, selama politikus belum sejahtera maka tak
mungkin akan menyejahterakan rakyat.
Pergolakan politik
dari pemilu ke pemilu bukannya menjadi mengerucut atau konvergen, akan tetapi
malah semakin bias. Persaingan antar kontestan memperburuk cuaca dan citra
perpolitikan di NKRI. Persaingan antar elite politik menyebabkan hukum menjadi
buta, moral membeku, kata hati membisu - yang menggelora hanya nafsu kuasa,
yang menggelegak hanya ambisi pribadi dan golongan, yang membahana hanya suara
angkara yang mengalahkan dan menyalahkan kebenaran, yang menggelagar hanya
sebaran janji, yang menggulung hanyalah cara untuk mengulur waktu bagaimana
bisa mempertahankan kekuasaan, yang bergetar hanyalah nyali ketika wewenangnya
digelitik nurani rakyat. Akankah kita menunggu musuh bersama sehingga kita baru
bisa bersatu! (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar