Halaman

Rabu, 17 Desember 2014

PERMASALAHAN BANGSA DAN PERGOLAKAN POLITIK

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 27/02/2003 07:37

PERMASALAHAN BANGSA DAN PERGOLAKAN POLITIK

Sejauh ini yang jadi kambing hitam permasalahan bangsa adalah krisis moneter yang bergulir bebas seolah tiada henti. Perut rakyat yang terbiasa makan sekali sehari menjadi sekarang makan besok belum tentu. Di lain pihak kemajuan teknologi otomotif bisa ditonton di jalanan kota-kota, belum terhitung merebaknya pola hidup konsumtif yang mengadop gaya hidup negara maju. Karena tidak ada tolok ukurnya maka krisis budaya bukan kendala untuk menjadi negara maju. Yang cepat ditiru yang sifatnya prestige, prestasi nanti dulu. Seperti halnya tarif dan harga mancanegara yang ditiru sedangkan upah dan gaji cukup pakai standar lokal saja.

Permasalahan bangsa yang mengakar pada rakyat sudah bisa dieliminir atau sudah mengerucut. Rakyat yang tahan banting terbiasa memaafkan situasi negara. Masalah yang berbasis pada rakyat tak jauh dari urusan perut atau seputar sembako plus masalah papan yang layak huni di lingkungan yang manusiawi. Kesempatan kerja atau dibukanya peluang pekerjaan sambilan, berikut upah yang layak sebagai lingkaran masalah kedua. Lingkaran berikutnya berupa pendidikan, kesehatan, transportasi umum. Ikhwal kesejahteraan merupakan acuan permasalahan bangsa dan pergolakan politik. Namun terdapat kontradiksi dalam perwujudannya.

Permasalahan bangsa berpangkal tolak dari pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Ruang juang ini bisa dipenuhi jika adanya ikatan hukum, moral bagi penyelenggaran negara - tidak hanya dari kalangan birokrat juga dari pihak militer, pengusaha, swasta dan komponen bangsa lainnya. Keberhasilan pembangunan bangsa terletak pada keberhasilan penyelenggara negara dalam menyejahterakan rakyatnya. Sedangkan pada pergolakan politik lebih didominasi upaya politikus untuk sejahtera secara pribadi dan keluarga. Pasca Orde Baru tumbuh subur lahan usaha yang menawarkan kemakmuran, yaitu sebagai politikus. Lahan ini bisa menyulap orang yang semula rakyat jelata menjadi wakil rakyat yang jelalatan (mirip kesetanan) memanfaatkan wewenangnya. Celakanya, selama politikus belum sejahtera maka tak mungkin akan menyejahterakan rakyat.

Pergolakan politik dari pemilu ke pemilu bukannya menjadi mengerucut atau konvergen, akan tetapi malah semakin bias. Persaingan antar kontestan memperburuk cuaca dan citra perpolitikan di NKRI. Persaingan antar elite politik menyebabkan hukum menjadi buta, moral membeku, kata hati membisu - yang menggelora hanya nafsu kuasa, yang menggelegak hanya ambisi pribadi dan golongan, yang membahana hanya suara angkara yang mengalahkan dan menyalahkan kebenaran, yang menggelagar hanya sebaran janji, yang menggulung hanyalah cara untuk mengulur waktu bagaimana bisa mempertahankan kekuasaan, yang bergetar hanyalah nyali ketika wewenangnya digelitik nurani rakyat. Akankah kita menunggu musuh bersama sehingga kita baru bisa bersatu! (hn).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar