Dari
Buruh, Oleh Buruh Dan Untuk Buruh
Siapapun
presidennya, bagaimanapun kinerja parpol pemenang pemilu legislatif, apapun
kebijakan yang ditetapkan pemerintah, pekerja/buruh selalu responsif, bahkan
terkadang proaktif. Terlebih jika menyangkut hak mereka. Jangan sampai hak
terusik, terganggu apalagi dikurangi. Kodrat pekerjaan atau memang karakter
pekerja/buruh, dengan alasan sederhana, semisal harga jual premium naik 2.000
rupiah per liter, bisa menjadi alasan utama dan pertama untuk melakukan unjuk
raga dan unjuk rasa di jalanan. Tuntutan cukup sederhana, yaitu penyesuaian upah.
Bukannya
pekerja/buruh tidak masuk kategori manusia yang pandai bersyukur, karena
terminologi upah berkorelasi dengan profesionalisme, mau tak mau bisa bertolak
belakang jika dikaitkan dengan komponen hidup layak. Bukan pula salah
pendidikan. Atau karena pengaruh budaya instan. Pagi berangkat kerja, sore
pulang menenteng rupiah. Ironis, mereka tetapi tidak punya nyali, tidak punya
posisi tawar untuk berkomunikasi apalagi mendikte pengusaha. Serikat pekerja/
buruh bisa menjadi “telinga” pengusaha, di samping perpanjangan tangan dan
lidah pekerja/buruh.
Sejarah
membuktikan, tuntutan buruh sesuai asas : dari buruh, oleh buruh dan untuk buruh. Soal
bagaimana melaksanakan kewajiban, tidak masuk hitungan. Terlebih ada serikat
pekerja/buruh yang bangga jagonya jadi presiden, berarti setiap dan segala
tuntutannya wajib dipenuhi oleh Jokowi dan kawanannya. Andai tuntutan
pekerja/buruh dilaksanakan, maka pepatah Jawa: “uwis dike'i
ati isih ngrogoh rempela”
akan berlaku. HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar