Rabu, 05/12/2007 05:11
tanah
airku vs air tanahku
Dari tanah kembali ke
tanah, itulah manusia seutuhnya. Selama hidupnya atau selama hidup manusia di
atas tanah bisa berbuat kerusakan atas tanah, air, udara yang berakibat
bencana. Bencana alam adalah senjata makan tuan, bumerang hasil perilaku ummat
manusia. Campur tangan manusia terhadap alam semesta memuat misi yang sangat
beragam, mulai menjalankan fitrah sampai untuk kemaslahatan bersama. Bencana
alam selain mengutuhkan kembali persatuan dan kesatuan, juga memperlihatkan
urusan wajib dan urusan pilihan.
Siapa harus melakukan
dan berbuat apa saja.
Siapa yang harus
selalu siap siaga dalam menghadapi kondisi yang sulit diprediksi. Siapa yang
berhak was-was dan waspada mengantisipasi berbagai kemungkinan yang serba tak
mungkin.
Siapa yang harus dikambinghitamkan
atau dikorbankan demi bahwa pertama, pimpinan jelas tak salah. Kedua, kalau
pimpinan melakukan kesalahan sesaat, lihat diktum pertama.
Rembesan air laut
atau berkurangnya daratan Jakarta menjadi polemik pantang mundur. Belum
amblasnya tanah yang melebihi daya dukung dan daya tampungnya, polusi yang
melampaui ambang batas wajar dan aman, kepadatan penduduk yang sudah tidak bisa
ditolerir lagi. Saat jam kerja, jam sibuk, Jakarta banjir mobil, motor dan
berbagai moda angkutan umum. Dalam menjalani kehidupan warga Jakarta penuh
stres serta tidak bisa rileks, seolah memburu waktu yang tak akan habis ditelan
zaman. Ratio kehidupan di jakarta, dibutuhkan satu orang untuk melayani dan
mengawasi satu orang lainnya.
Sumur resapan atau
lubang lain, untuk menampung air hujan agar tak lari ke sungai. Sisa tanah
terbuka banyak yang ditutup dengan pengerasan dengan berbagai alasan, mulai
dari agar tidak becek sampai praktis membersihkannya, terlebih yang tanahnya
relatif tidak luas.
Perjuangan bisa
dimulai dari diri sendiri, mulai dari keluarga, mulai dari rumah tangga. Andai
tiap rumah bisa punya satu pohon produktif, sampah organis bisa ditimbun jadi
humus. Belum efek karbonnya. Air isi ulang pun bisa bikin mencret peminumnya.
Andai tiap rumah bisa memanfaatkan sinar dan tenaga matahari. Bisa memanfaatkan
daya dorong dan daya hisap angin yang masih gratis. Kuburan masih lapang dan
lega, karena penghuninya tak bisa protes apalagi unjuk raga. Lazim, kalau
penyesalan datangnya paling belakang, setelah tak ada siapa-siapa (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar