IslamView Dibaca :348 kali , 1 komentar
Ditulis : Herwin Nur, 09 Mei 2013 | 22:51
Sinetron
Sosok generasi muda dalam sinetron acap ditampilkan berbusana setelan jas lengkap, tanpa memperhatikan lokasi. Misalkan, di kuburan, di dalam rumah. Minimal masuk kategori parlente, glamour
dan anti keringat. Busana kaum hawa, dengan model mutakhir tak kalah
gaya, bahkan penampilan pramuwisma dengan atributnya, tak bisa dibedakan
dengan sang majikan.
Gambaran
di atas, baru mewakili satu aspek saja (busana sebagai representasi
gaya hidup dan gengsi), kalau aspek lain diulas, dikupas, maupun
diungkap seolah bangsa Indonesia sudah makmur, sudah tidak terdapat
rakyat miskin. Sekaligus menampakkan ada pola pergaulan yang tidak ada
di kamus atau norma budaya sebagai bangsa timur.
Berlebih-lebihan
Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan, yang melebihi batas,
berlaku kikir maupun boros (karena pemboros adalah saudaranya setan [QS
Al Israa’ (17) : 27]), tersurat dalam Al-Qur’an, dalam beberapa hal a.l :
tindakan dalam berbagai urusan [QS Ali ‘Imran (3) : 147]; mencintai
harta benda [QS Al Fajr (89) : 20]; membelanjakan (harta) [QS Al Furqaan (25) : 67].
Ikhwal terkait dengan gaya hidup, gaul dan gengsi generasi muda, kita bisa simak terjemahan [QS Al A’raaf (7) : 31] : “Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Berlebih-lebihan
adalah janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan
pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.
Pada
kuadran tertentu, adab berbusana akan bertimbal balik dengan cara
membelanjakan harta. Dalam kuadran ini, kondisi keimanan generasi muda
menjadi rawan, rentan dan riskan dengan bisikan setan. Sengaja atau
tidak generasi muda membukakan pintu untuk menyelinapnya setan. Cara
membeli busana (boros, hanya mengikuti trend) sampai berbusananya
(terlebih, ketika wanita berpakaian tapi tidak berbusana).
Kondisi Aktual
Asupan
gizi, pengaruh pergaulan, zaman dan peradaban, anak SD secara fisik
maupun biologis sudah nampak dewasa. Di sisi lain, anak jalanan sampai
pengangguran bergelar akademis menghiasi wajah bangsa. Generasi muda
mengalami penjajahan moral melalui globalisasi, khususnya perdagangan
bebas. Serbuan produk maupun budaya asing nyaris tak bisa dan sempat
ditangkal, apalagi disaring.
Di
panggung politik, kiprah dan kinerja generasi muda patut diacungi
jempol, sekaligus juga memprihatinkan karena terlibat tipikor. Masih
sebagai penggembira atau figuran zaman dalam alih kepemimpinan nasional.
Tantangan Kehidupan
Tahun
2045 merupakan momentum 100 tahun Indonesia merdeka. Indonesia
menargetkan sebagai bangsa modern, syaratnya generasi muda agar giat
mempelajari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dunia cyber, agar kelak bisa melindungi Indonesia dari serangan di dunia maya.
Tidak
gagap teknologi, bukan berarti menjadi generasi virtual yang tergantung
pada gadget dan teknologi informasi. Menjelajahi dan asyik dengan dunia
virtual berakibat tidak peka situasi sosial, tidak mempekakan perasaan
dan hati.
Hidup Sederhana
Hidup
sederhana dimulai dari meminimalisasi anggaran untuk kebutuhan sandang.
Hidup konsumtif ibarat mengutamakan kehidupan dunia, kita simak : Dari Abi Umamah Iyas bin Tsa‘labah Al-Anshari RA, ia berkata, “Pada suatu hari beberapa orang sahabat Rasulullah SAW memperbincangkan
hal-hal keduniaan. Lalu Rasulullah SAW berkata, ‘Apakah kalian tidak
mendengar? Apakah kalian tidak mendengar? Sesungguhnya kesederhanaan itu
bagian dari iman, sesungguhnya kesederhanaan itu bagian dari iman’.” (Riwayat Abu Dawud)
[Herwin Nur/wasathon.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar