Halaman

Senin, 17 Februari 2014

MERUWAT GOOD GOVERNANCE SEBAGAI TRADISI KERJA SEPI ING PAMRIH RAME ING GAWE DALAM FORMAT BIROKRASI DINAMIS.

  oleh : Herwin Nur

DASAR PEMIKIRAN
             Rumusan Good Governance (GG) tak perlu diadop dari luar, cukup digali dari khazanah budaya lokal nusantara. Intinya adalah control of life bagi aparatur negara, yang bisa diterjemahbebaskan sebagai aturan main dan tata cara hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat melalui upaya dan usaha kerja. Rambu-rambu yang dipakai cukup budaya malu. Malu kalau melanggar sumpahnya sebagai pegawai, khususnya sumpah jabatan. Dengan sanksi ke-malu-an ini memang belum dijamin rukun kerja terpenuhi secara alami. Masih diperlukan norma, efek samping, tanggung renteng, ikatan dan sanksi moral sampai platform budaya kerja.

             Meruwat, tidak ada hubungannya dengan prosesi dan ritualnya supranatural. Tidak berbau mistis, klenik ataupun urusan kosmis – dan tak perlu mengundang paranormal. Lebih ke arah sebagai budaya yang mengantisipasi dominasi politik. Lahirnya KKN sebagai akibat dominasi politik pada tatanan dan pranata birokrasi di era Orde Baru. Berkat Reformasi yang kebablasan melahirkan KKN Gotong Royong serta iklim yang kondusif dengan adanya Otonomi (Pemerintah) Daerah.

             Jadi, bukan formulasi resep dan prospektus GG yang dibutuhkan. Roh, semangat atau jiwa dari GG yang perlu diwataki oleh setiap aparatur negara. Jika GG didaulat sebagai sejenis way of life maka keterbalikannya yang akan dipetik. Terfaktakan GG sebagai bahan diktean dari IMF akan semakin memperparah kondisi nusantara, bukannya sebagai obat ajaib nan mujarab untuk keluar dari kubangan dan kemelut multi krisis.

PEMBENARAN SEJARAH
             Sistem panutan masih dibutuhkan oleh bangsa NKRI yang majemuk dan heterogen ini. Panutan yang mempunyai muatan nasional atau yang berdampak nasional. Birokrat yang membidani lahirnya KKN di zaman Orde Baru, dalam era Reformasi bukannya kapok, malah menampilkan dalam sosok kebal hukum. Kasus sang terpidana penilep dana nonbujeter Buloggate masih melenggang kangkung di kancah politik. Belum warisan KKN Orba yang masih bergulir aman dan bebas, karena tidak ada pasal yang mampu menjeratnya. Penjeratan mulai dari atas, dari Bapak Pembangunan, jelas hukum mendadak mandul bin tumpul. Bisa disimpulkan bahwa hukum bisa dirupiahkan. Bisa dicari pasal-pasal yang meringankan.

             Semangat Otonomi (Pemerintah) Daerah menunjukkan pemerataan KKN melalui asas kewenangan dalam perolehan sekaligus peningkatan PAD. Dari zaman ke zaman KKN hanya ganti baju, isi tetap sami mawon. Ironisnya, tokoh atau pelaku yang mempunyai “sejarah hitam” bisa menulis tentang putihnya GG. GG naik derajat menjadi modul dalam suatu pendidikan dan pelatihan. Retorikanya nyaris P4. GG nyaris sejenis masyarakat adil makmur.

SALAH KAPRAH
             Selama ini GG dititikberatkan pada birokrasi atau kalangan eksekutif, padahal GG memiliki tiga domain yaitu : negara atau pemerintahan (state); sektor swasta atau dunia usaha (private sector) dan masyarakat (society). Kapasitas dan atau kontribusi ketiga domain ini dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat bisa menimbulkan ketidakseimbangan, bisa bertolak belakang, bisa kontradiktif, bisa bias – dan tentunya nuansa yang diasakan adalah kolaborasi yang sinergis.

             Peran sektor pemerintah lebih didominasi sebagai pembuat kebijakan, pengendalian dan pengawasan. Sektor swasta lebih banyak berkecimpung dan menjadi penggerak aktivitas di bidang ekonomi. Sedangkan sektor masyarakat kebagian posisi sebagai obyek sekaligus subyek dari sektor pemerintah maupun sektor swasta.

             Masyarakat dengan posisinya selain menjadi tumpuan harapan pihak lain, seringnya menjadi ajang interaksi di bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Pergolakan apapun imbasnya akan ke masyarakat. Pemeo “rakyat sehat negara kuat” masih layak digemakan.

             Sebagai negara yang sedang terpuruk, sebagai akibat hutang sektor swasta jatuh tempo, sedangkan di sektor masyarakat terjadi berbagai gejolak di antaranya berkisar tentang krisis kepercayaan. Di antara faktor krisis kepercayaan ini terdapat bentuk tipisnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Kelemahan ini akhirnya didayagunakan oleh lembaga donor multilateral untuk mencanangkan berdirinya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). LSM sebagai alternatif untuk memberikan pelayanan kepada publik dalam konteks pembangunan.
             Tarik-menarik peranan antara sektor pemerintah dengan sektor swasta dan sektor masyarakat apabila tidak dikelola secara bijak akan dapat menimbulkan berbagai ketegangan dan konflik kehidupan. Pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja GG.

GERAKAN REFORMASI MASYARAKAT
             Gerakan reformasi masyarakat selalui ditumbuhkembangkan dari lingkup individu, bukan dari lingkup masyarakat. Sistem getok tular dinilai tepat guna dalam memperbaiki sistem kemasyarakatan yang pluralistik. Membangun negara harus sejalan membangun peradaban, bisa dimulai dari perkuatan rochani, pemantapan jiwa, dan pelurusan akhlak setiap anggota masyarakat. Sehingga saat mereka yang terkondisikan tadi mulai berperan dalam membangun negara yang beradab, mereka segera menunjukkan hasil yang demikian besar, dan peran mereka diharapkan menerus ke generasi berikutnya.

             Sosok aparatur negara yang berperan sebagai abdi masyarakat dalam mewujudkan GG bisa dimulai dari dirinya, sebagai individu yang telah membulatkan tekad melalui Saptaprasetya Korpri menciptakan negara dan sekaligus mendirikan peradaban. Dengan posisi dan perannya maka aparatur negara adalah individu-individu yang memiliki kemauan yang keras, akhlak yang lurus, dan kehidupan mereka terbebaskan dari penyakit kejiwaan maupun fisik yang berbahaya.

             Hakekatnya masyarakat adalah tonggak semua gerakan reformasi dan revolusi peradaban yang mendasar, namun struktur kekuatan masyarakat selain bersifat temporer juga bergaya acak-acakan dan berpenampilan nyaris banci.

KIPRAH SWASTA
             Kerjasama antara pemerintah dan swasta bak menyatukan dua kutub. Pemerintah dalam skala social oriented harus dicarikan benang merahnya dengan pihak swasta dengan skala profit oriented.

             Jika GG lebih diartikan sebagai pembatasan kebebasan dan kekuasaan pemerintah yang dipengaruhi mekanisme pasar maka akan memperjelas peran swasta. “Building productive partnership between goverment and business” semua ini berarti mendorong perubahan melalui pasar. Atau dengan adanya kecenderungan global yang kuat pada saat ini ialah globalisasi ekonomi, ditandai dengan liberalisasi perdagangan dan investasi pasar bebas. Upaya ini mengacu pada keunggulan komperatif dan kompetitif dengan peningkatan efisiensi ekonomi dan economi of scale dan memanfaatkan kemajuan teknologi.

TRADISI KERJA
             Mengingat rochani tidak dapat hidup tanpa adanya akal, dan akal bersama rochani tidak dapat menjalankan fungsinya jika tidak disertai akhlak yang membimbingnya dalam menjalankan suatu pekerjaan secara berdaya guna dan berhasil guna. Tradisi kerja selayaknya didasari oleh muatan rochani, akal dan akhlak yang secara sinergitas bersenyawa dengan roh, semangat atau jiwa dari GG yang perlu diwataki oleh setiap aparatur negara.

             Tradisi kerja secara ekstern dipengaruhi kondisi politik, semisal di zaman Orba, dibuktikan secara gemilang oleh Korpri dengan monoloyalitasnya. Tradisi kerja di era Reformasi dibuat mengambang, bisa sebagai luncuran Orba atau refleksi masa depan yang sulit diprediksi. Ramuan dan rumusan tradisi masih sebagaimana kita dengar sehari-hari lebih banyak bermakna sebagai sebuah masa lalu.

             Dominasi masa lalu tidaklah bermakna tunggal, tidak pula terkait lurus dengan hal-hal yang sifatnya konservatif, jumud atau kemunduran. Tradisi adalah juga sebuah kebenaran, dan sekaligus sebuah kebaikan. Berpegang teguh kepada tradisi atau tetap menjalankan tradisi apa adanya berarti berpegang kepada seperangkat nilai-nilai tentang yang baik dan benar, dengan kandungan normatif.

             Dalam kemasan masa sekarang ini, tradisi tidaklah hadir seperti apa adanya seperti masa lalu. Bukan lagi sebagai sesuatu yang given, yang ditelan mentah-mentah, atau yang diadiluhungkan. Ia tepatnya dihadirkan. Tradisi sudah mengalami proses alami - seleksi pemilihan dan pemilahan - ada yang dikikis, ada yang ditulis, ada yang dipopulerkan, dan ada yang dikarantinakan, tergantung pada kepentingan relasi-relasi kuasa yang bermain di sekitarnya.

             Dimensi tradisi mencakup dua sisi yang sifatnya asimetris. Atau sebagai kesatuan utuh terkadang menampilkan kulitnya masih tradisi, tetapi dalamnya sebagai refleksi modernitas. Tradisi mungkin hanya sebatas formalitas. Tradisi bukan hanya sebuah produk masa lalu, yakni sebagai "adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan di masyarakat", tapi juga soal normatif, serta muatan lain yang bersifat kontemporer. Menyoal penilaian tentang yang baik dan benar, masih bersifat relatif. Makna "penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar" sebagai solusi atas tidak adanya alternatif terbaik.

             Tradisi kerja di lingkungan Departemen Kimpraswil diasumsikan dan disinyalir masih dipengaruhi oleh iklim tunggu disposisi atau dalam pola tunggu bola. LAKIP 2003 mengatakan bahwa yang disebut kebethasilan karena telah melaksanakan berbagai kebijakan, bukannya pencapaiaan target/sasaran, apalagi bernuansa asas manfaat.

BIROKRASI DINAMIS
             Salah satu ragam yang masih terngiang-ngiang di telinga kita antara lain Birokrasi Feodal. Birokrasi feodal merupakan fungsi etika feodal yang memaparkan bahwa derajat orang itu ditentukan oleh erat kerabat dan koneksitasnya pada kaum bangsawan setempat, dan bukan oleh kemahiran dan hasil prestasinya. Kondisi ini telah termodifikasikan secara alami, akhirnya mulai zaman Orde Baru menjadi KKN.

             Faktor dominan yang menentukan / mempengaruhi evolusi birokrasi yaitu perimbangan antara hak dan kewajiban. Bukti kilas balik menyatakan bahwa kewajiban menempati rangking pertama dan utama bagi pegawai, yang tidak bisa ditawar lagi, sebagai hal yang wajib dilaksanakan. Hak hanya sebatas gaji dan cuti, itupun masih tergantung kondisi ekstern maupun intern.

             Faktor peubah birokrasi antara lain dari upaya mewujudkan visi, misi, tugas, fungsi dan wewenang suatu lembaga. Bagi lembaga yang social oriented maka win-win solution sebagai ikhwal yang mendasari berbagai kebijakan.

             Kenaikan gaji dan penyesuaian TKJ yang diterima oleh aparat birokrasi selama ini ternyata tak berpengaruh pada daya kerjanya. Lebih lanjut dapat disiratkan bahwa tidak tumbuhnya daya kerja aparatur birokrasi di Indonesia, salah satunya karena tidak ada diskresi. Diskresi secara teoretis merupakan suatu penyimpangan prosedur. Sisi positif diskresi apabila diterapkan pada konteks masyarakat yang dinamis akan sangat membantu untuk melakukan berbagai penyesuaian, sehingga pelayanan atau peraturan yang ada tetap mampu menjawab perubahan dan tuntutan masyarakat yang berkembang.

             Dengan demikian birokrasi dinamis adalah birokrasi yang menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Penyesuaian ini tentunya diimbangi dengan pola kerjanya. Keresahan tentang bagaimana nasib Departemen Kimpraswil 2004-2009 sudah terdeteksi. Usahakan jangan mengulang sejarah pembentukan organisasi, yaitu setelah struktur organisasi selesai diputuskan barulah ditetapkan siapa yang akan mengisi kotak-kotak tersebut. Prosedur ini sangat lazim dan jamak dilakukan yang disebut sebagai pola strategy follows structure. Namun, dengan berat hati dapat disimpulkan bahwa strategi dikalahkan oleh organisasi yang disodorkan. Masalahnya, bagaimana mungkin tujuan dapat tercapai secara optimal? Artinya, memang birokrasi (diharapkan) disusun sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuannya yang optimal.

KESIMPULAN
             Menyadari struktur organisasi departemen yang rentan terhadap pergolakan politik serta tuntutan masyarakat yang harus diakomodir, tak ada salahnya melakukan kanibalisme pola kerja. Pegawai sebagai pekerja yang mempunyai penghasilan tetap dianggap tidak tahan banting. Atau merasa punya penghasilan tetap, atau makan gaji, akan memunculkan tradisi kerja tertentu. Kanibalisme bisa juga diartikan pola kerja swasta ditrapkan di pemerintahan.

             Menjadi seorang pegawai yang gila kerja utawa workaholic tidak selalu harus berkonotasi sebagai penyimpangan atau sebagai kompensasi atas ketidakmampuan di aspek kehidupan lainnya. Selain budaya malu sebagai landasan GG, kita masih mempunyai simpanan falsafah Jawa yaitu sepi ing pamrih, rame ing gawe.

             Pengetahuan umum tentang gila kerja ini sangat beragam, terkadang tergantung kesimpulannya. Kalau gila kerja dianggap sebagai tradisi kerja, sebagai ciri profesionalisme pegawai, akan mempunyai beberapa tingkatan. Pembagian skala ini dilihat dari ketergantungan seorang pegawai terhadap pekerjaan, cara mereka bekerja di tempat kerja, cara mereka mengaktualisasikan diri mulai dari urun rembug sampai urun tenaga, mengelola kesehatan atau kesejahteraan jiwa mereka dan menjaga kesimbangan kerja dengan hubungan keluarga. Berbasis budaya malu dengan ramuan sepi ing pamrih, rame ing gawe bisa diformulasikan skala sebagai berikut :

             Pertama, berdasarkan malu kalau tidak mempunyai andil atau kontribusi nyata maka seorang pegawai akan berprinsip bahwa biarpun posisinya hanya sebagai baut kecil, namun keberadaannya bisa mempengaruhi sistem atau mempengaruhi keseimbangan. Pegawai skala awal ini adalah mereka yang Kecanduan Kerja utawa Work Addicts. Yaitu pegawai yang gila kerja karena dengan bisa merasa berbuat, apapun juga yang dikerjakannya, sekecil apapun kontribusinya akan mendapatkan kepuasan kerja. Bahkan mereka akan berdosa kalau tak bisa hadir atau masuk kerja.

             Mereka ingin sekali meningkatkan peran dan kinerjanya serta mempunyai pandangan optimistik terhadap perjalanan karirnya. Di sisi lain mereka mendambakan adanya suatu dorongan dalam lingkungan kerja, dalam menyeimbangkan kerja dan keluarga. Posisi mereka memang menyebabkan tidak mempunyai akses ke kewenangan atau ke sistim informasi. Nuansa sepi ing pamrih, rame ing gawe masih bersifat fluktuatif, kondisional, tergantung kekuatan tarik ulur berbagai kebijakan yang tersirat.

             Kedua, berdasarkan malu kalau hanya sekedar memberikan sumbang kata maka seorang pegawai akan bermotto kalau bisa dan kalau perlu memberi warna pada sistem. Pegawai berposisi pada skala kedua ini akan Bersemangat Kerja utawa Work Enthusiasts. Yaitu pegawai yang gila kerja, yang sangat mengebu-gebu alias euphoric terhadap pekerjaan mereka. Skala ini bersifat moderat dan masih peduli pada dimensi keseimbangan kerja dengan keluarga.

             Mereka menunjukkan kemampuan untuk membentuk keakraban dan solidaritas tim kerja, menyusun jejaring kerja secara horizontal. Sifat terbuka dalam hal wawasan serta menjaga kesehatan dan kesejahteraan jiwa, khususnya kebahagiaan hubungan dengan teman dan keluarga di luar kantor. Nuansa sepi ing pamrih, rame ing gawe dalam posisi tawar-menawar walau sudah mengarah ke arah reward and punishment.

             Ketiga, berdasarkan malu kalau tidak bisa memberikan yang terbaik dari ukuran daya pikir, waktu, sistematika kerja maka seorang pegawai akan berasaskan bahwa mereka selalu akan berorientasi kepada proses dan hasil. Pegawai skala ketiga ini adalah mereka yang Pecandu Bersemangat atau Enthusiastic Addicts. Yaitu pegawai yang gila kerja karena ekses dari posisi sebagai penentu kebijakan.

             Kondisi ketiga ini menyebabkan mereka dalam kondisi seolah tak ada pilihan antara kerja atau keluarga. Penyebabnya karena mereka telah terseleksi untuk memasuki posisi rame ing gawe dan juga rame ing pamrih.

             Akhir kata, dengan meruwat GG sebagai upaya membangkitkan budaya malu serta mempertahankan tradisi kerja sepi ing pamrih, rame ing gawe – serta memposisikan diri pada sistem birokrasi yang dinamis (a.l. siap jadi pemain cadangan). Semoga.

Oleh: Herwin Nur
Buletin Pengawasan No. 45 & 46 Th. 2004


Tidak ada komentar:

Posting Komentar