MERUWAT GOOD GOVERNANCE SEBAGAI
TRADISI KERJA SEPI ING PAMRIH RAME ING GAWE DALAM FORMAT BIROKRASI
DINAMIS.
oleh : Herwin Nur
DASAR PEMIKIRAN
Rumusan Good
Governance (GG) tak perlu diadop dari luar, cukup digali dari khazanah budaya
lokal nusantara. Intinya adalah control of life bagi aparatur negara, yang bisa
diterjemahbebaskan sebagai aturan main dan tata cara hidup berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat melalui upaya dan usaha kerja. Rambu-rambu yang
dipakai cukup budaya malu. Malu kalau melanggar sumpahnya sebagai pegawai,
khususnya sumpah jabatan. Dengan sanksi ke-malu-an ini memang belum dijamin
rukun kerja terpenuhi secara alami. Masih diperlukan norma, efek samping,
tanggung renteng, ikatan dan sanksi moral sampai platform budaya kerja.
Meruwat, tidak ada
hubungannya dengan prosesi dan ritualnya supranatural. Tidak berbau mistis,
klenik ataupun urusan kosmis – dan tak perlu mengundang paranormal. Lebih ke
arah sebagai budaya yang mengantisipasi dominasi politik. Lahirnya KKN sebagai
akibat dominasi politik pada tatanan dan pranata birokrasi di era Orde Baru.
Berkat Reformasi yang kebablasan melahirkan KKN Gotong Royong serta iklim yang
kondusif dengan adanya Otonomi (Pemerintah) Daerah.
Jadi, bukan
formulasi resep dan prospektus GG yang dibutuhkan. Roh, semangat atau jiwa dari
GG yang perlu diwataki oleh setiap aparatur negara. Jika GG didaulat sebagai
sejenis way of life maka keterbalikannya yang akan dipetik. Terfaktakan GG
sebagai bahan diktean dari IMF akan semakin memperparah kondisi nusantara,
bukannya sebagai obat ajaib nan mujarab untuk keluar dari kubangan dan kemelut
multi krisis.
PEMBENARAN SEJARAH
Sistem panutan masih
dibutuhkan oleh bangsa NKRI yang majemuk dan heterogen ini. Panutan yang
mempunyai muatan nasional atau yang berdampak nasional. Birokrat yang membidani
lahirnya KKN di zaman Orde Baru, dalam era Reformasi bukannya kapok, malah
menampilkan dalam sosok kebal hukum. Kasus sang terpidana penilep dana
nonbujeter Buloggate masih melenggang kangkung di kancah politik. Belum warisan
KKN Orba yang masih bergulir aman dan bebas, karena tidak ada pasal yang mampu
menjeratnya. Penjeratan mulai dari atas, dari Bapak Pembangunan, jelas hukum
mendadak mandul bin tumpul. Bisa disimpulkan bahwa hukum bisa dirupiahkan. Bisa
dicari pasal-pasal yang meringankan.
Semangat Otonomi
(Pemerintah) Daerah menunjukkan pemerataan KKN melalui asas kewenangan dalam
perolehan sekaligus peningkatan PAD. Dari zaman ke zaman KKN hanya ganti baju,
isi tetap sami mawon. Ironisnya, tokoh atau pelaku yang mempunyai “sejarah
hitam” bisa menulis tentang putihnya GG. GG naik derajat menjadi modul dalam
suatu pendidikan dan pelatihan. Retorikanya nyaris P4. GG nyaris sejenis
masyarakat adil makmur.
SALAH KAPRAH
Selama ini GG
dititikberatkan pada birokrasi atau kalangan eksekutif, padahal GG memiliki
tiga domain yaitu : negara atau pemerintahan (state); sektor swasta atau dunia
usaha (private sector) dan masyarakat (society). Kapasitas dan atau kontribusi
ketiga domain ini dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat bisa
menimbulkan ketidakseimbangan, bisa bertolak belakang, bisa kontradiktif, bisa
bias – dan tentunya nuansa yang diasakan adalah kolaborasi yang sinergis.
Peran sektor
pemerintah lebih didominasi sebagai pembuat kebijakan, pengendalian dan
pengawasan. Sektor swasta lebih banyak berkecimpung dan menjadi penggerak
aktivitas di bidang ekonomi. Sedangkan sektor masyarakat kebagian posisi
sebagai obyek sekaligus subyek dari sektor pemerintah maupun sektor swasta.
Masyarakat dengan
posisinya selain menjadi tumpuan harapan pihak lain, seringnya menjadi ajang
interaksi di bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Pergolakan apapun
imbasnya akan ke masyarakat. Pemeo “rakyat sehat negara kuat” masih layak
digemakan.
Sebagai negara
yang sedang terpuruk, sebagai akibat hutang sektor swasta jatuh tempo,
sedangkan di sektor masyarakat terjadi berbagai gejolak di antaranya berkisar
tentang krisis kepercayaan. Di antara faktor krisis kepercayaan ini terdapat
bentuk tipisnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Kelemahan ini akhirnya
didayagunakan oleh lembaga donor multilateral untuk mencanangkan berdirinya LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat). LSM sebagai alternatif untuk memberikan pelayanan
kepada publik dalam konteks pembangunan.
Tarik-menarik
peranan antara sektor pemerintah dengan sektor swasta dan sektor masyarakat
apabila tidak dikelola secara bijak akan dapat menimbulkan berbagai ketegangan
dan konflik kehidupan. Pada gilirannya akan mempengaruhi kinerja GG.
GERAKAN REFORMASI
MASYARAKAT
Gerakan reformasi
masyarakat selalui ditumbuhkembangkan dari lingkup individu, bukan dari lingkup
masyarakat. Sistem getok tular dinilai tepat guna dalam memperbaiki sistem
kemasyarakatan yang pluralistik. Membangun negara harus sejalan membangun
peradaban, bisa dimulai dari perkuatan rochani, pemantapan jiwa, dan pelurusan
akhlak setiap anggota masyarakat. Sehingga saat mereka yang terkondisikan tadi
mulai berperan dalam membangun negara yang beradab, mereka segera menunjukkan
hasil yang demikian besar, dan peran mereka diharapkan menerus ke generasi
berikutnya.
Sosok aparatur
negara yang berperan sebagai abdi masyarakat dalam mewujudkan GG bisa dimulai
dari dirinya, sebagai individu yang telah membulatkan tekad melalui
Saptaprasetya Korpri menciptakan negara dan sekaligus mendirikan peradaban.
Dengan posisi dan perannya maka aparatur negara adalah individu-individu yang
memiliki kemauan yang keras, akhlak yang lurus, dan kehidupan mereka
terbebaskan dari penyakit kejiwaan maupun fisik yang berbahaya.
Hakekatnya
masyarakat adalah tonggak semua gerakan reformasi dan revolusi peradaban yang
mendasar, namun struktur kekuatan masyarakat selain bersifat temporer juga
bergaya acak-acakan dan berpenampilan nyaris banci.
KIPRAH SWASTA
Kerjasama antara
pemerintah dan swasta bak menyatukan dua kutub. Pemerintah dalam skala social
oriented harus dicarikan benang merahnya dengan pihak swasta dengan skala
profit oriented.
Jika GG lebih
diartikan sebagai pembatasan kebebasan dan kekuasaan pemerintah yang dipengaruhi
mekanisme pasar maka akan memperjelas peran swasta. “Building productive
partnership between goverment and business” semua ini berarti mendorong
perubahan melalui pasar. Atau dengan adanya kecenderungan global yang kuat pada
saat ini ialah globalisasi ekonomi, ditandai dengan liberalisasi perdagangan
dan investasi pasar bebas. Upaya ini mengacu pada keunggulan komperatif dan
kompetitif dengan peningkatan efisiensi ekonomi dan economi of scale dan
memanfaatkan kemajuan teknologi.
TRADISI KERJA
Mengingat rochani
tidak dapat hidup tanpa adanya akal, dan akal bersama rochani tidak dapat
menjalankan fungsinya jika tidak disertai akhlak yang membimbingnya dalam
menjalankan suatu pekerjaan secara berdaya guna dan berhasil guna. Tradisi
kerja selayaknya didasari oleh muatan rochani, akal dan akhlak yang secara
sinergitas bersenyawa dengan roh, semangat atau jiwa dari GG yang perlu
diwataki oleh setiap aparatur negara.
Tradisi kerja
secara ekstern dipengaruhi kondisi politik, semisal di zaman Orba, dibuktikan
secara gemilang oleh Korpri dengan monoloyalitasnya. Tradisi kerja di era
Reformasi dibuat mengambang, bisa sebagai luncuran Orba atau refleksi masa
depan yang sulit diprediksi. Ramuan dan rumusan tradisi masih sebagaimana kita
dengar sehari-hari lebih banyak bermakna sebagai sebuah masa lalu.
Dominasi masa lalu
tidaklah bermakna tunggal, tidak pula terkait lurus dengan hal-hal yang
sifatnya konservatif, jumud atau kemunduran. Tradisi adalah juga sebuah
kebenaran, dan sekaligus sebuah kebaikan. Berpegang teguh kepada tradisi atau
tetap menjalankan tradisi apa adanya berarti berpegang kepada seperangkat
nilai-nilai tentang yang baik dan benar, dengan kandungan normatif.
Dalam kemasan masa
sekarang ini, tradisi tidaklah hadir seperti apa adanya seperti masa lalu.
Bukan lagi sebagai sesuatu yang given, yang ditelan mentah-mentah, atau yang
diadiluhungkan. Ia tepatnya dihadirkan. Tradisi sudah mengalami proses alami -
seleksi pemilihan dan pemilahan - ada yang dikikis, ada yang ditulis, ada yang
dipopulerkan, dan ada yang dikarantinakan, tergantung pada kepentingan
relasi-relasi kuasa yang bermain di sekitarnya.
Dimensi tradisi
mencakup dua sisi yang sifatnya asimetris. Atau sebagai kesatuan utuh terkadang
menampilkan kulitnya masih tradisi, tetapi dalamnya sebagai refleksi
modernitas. Tradisi mungkin hanya sebatas formalitas. Tradisi bukan hanya
sebuah produk masa lalu, yakni sebagai "adat kebiasaan turun-temurun (dari
nenek moyang) yang masih dijalankan di masyarakat", tapi juga soal normatif,
serta muatan lain yang bersifat kontemporer. Menyoal penilaian tentang yang
baik dan benar, masih bersifat relatif. Makna "penilaian atau anggapan
bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar"
sebagai solusi atas tidak adanya alternatif terbaik.
Tradisi kerja di
lingkungan Departemen Kimpraswil diasumsikan dan disinyalir masih dipengaruhi
oleh iklim tunggu disposisi atau dalam pola tunggu bola. LAKIP 2003 mengatakan
bahwa yang disebut kebethasilan karena telah melaksanakan berbagai kebijakan,
bukannya pencapaiaan target/sasaran, apalagi bernuansa asas manfaat.
BIROKRASI DINAMIS
Salah satu ragam
yang masih terngiang-ngiang di telinga kita antara lain Birokrasi Feodal.
Birokrasi feodal merupakan fungsi etika feodal yang memaparkan bahwa derajat
orang itu ditentukan oleh erat kerabat dan koneksitasnya pada kaum bangsawan
setempat, dan bukan oleh kemahiran dan hasil prestasinya. Kondisi ini telah
termodifikasikan secara alami, akhirnya mulai zaman Orde Baru menjadi KKN.
Faktor dominan
yang menentukan / mempengaruhi evolusi birokrasi yaitu perimbangan antara hak
dan kewajiban. Bukti kilas balik menyatakan bahwa kewajiban menempati rangking
pertama dan utama bagi pegawai, yang tidak bisa ditawar lagi, sebagai hal yang
wajib dilaksanakan. Hak hanya sebatas gaji dan cuti, itupun masih tergantung
kondisi ekstern maupun intern.
Faktor peubah
birokrasi antara lain dari upaya mewujudkan visi, misi, tugas, fungsi dan
wewenang suatu lembaga. Bagi lembaga yang social oriented maka win-win solution
sebagai ikhwal yang mendasari berbagai kebijakan.
Kenaikan gaji dan
penyesuaian TKJ yang diterima oleh aparat birokrasi selama ini ternyata tak
berpengaruh pada daya kerjanya. Lebih lanjut dapat disiratkan bahwa tidak
tumbuhnya daya kerja aparatur birokrasi di Indonesia, salah satunya karena
tidak ada diskresi. Diskresi secara teoretis merupakan suatu penyimpangan
prosedur. Sisi positif diskresi apabila diterapkan pada konteks masyarakat yang
dinamis akan sangat membantu untuk melakukan berbagai penyesuaian, sehingga
pelayanan atau peraturan yang ada tetap mampu menjawab perubahan dan tuntutan
masyarakat yang berkembang.
Dengan demikian
birokrasi dinamis adalah birokrasi yang menyesuaikan diri dengan perkembangan
yang ada. Penyesuaian ini tentunya diimbangi dengan pola kerjanya. Keresahan
tentang bagaimana nasib Departemen Kimpraswil 2004-2009 sudah terdeteksi.
Usahakan jangan mengulang sejarah pembentukan organisasi, yaitu setelah
struktur organisasi selesai diputuskan barulah ditetapkan siapa yang akan
mengisi kotak-kotak tersebut. Prosedur ini sangat lazim dan jamak dilakukan
yang disebut sebagai pola strategy follows structure. Namun, dengan berat hati
dapat disimpulkan bahwa strategi dikalahkan oleh organisasi yang disodorkan. Masalahnya,
bagaimana mungkin tujuan dapat tercapai secara optimal? Artinya, memang
birokrasi (diharapkan) disusun sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuannya
yang optimal.
KESIMPULAN
Menyadari struktur
organisasi departemen yang rentan terhadap pergolakan politik serta tuntutan
masyarakat yang harus diakomodir, tak ada salahnya melakukan kanibalisme pola
kerja. Pegawai sebagai pekerja yang mempunyai penghasilan tetap dianggap tidak
tahan banting. Atau merasa punya penghasilan tetap, atau makan gaji, akan
memunculkan tradisi kerja tertentu. Kanibalisme bisa juga diartikan pola kerja
swasta ditrapkan di pemerintahan.
Menjadi seorang
pegawai yang gila kerja utawa workaholic tidak selalu harus berkonotasi sebagai
penyimpangan atau sebagai kompensasi atas ketidakmampuan di aspek kehidupan
lainnya. Selain budaya malu sebagai landasan GG, kita masih mempunyai simpanan
falsafah Jawa yaitu sepi ing pamrih, rame ing gawe.
Pengetahuan umum
tentang gila kerja ini sangat beragam, terkadang tergantung kesimpulannya.
Kalau gila kerja dianggap sebagai tradisi kerja, sebagai ciri profesionalisme
pegawai, akan mempunyai beberapa tingkatan. Pembagian skala ini dilihat dari
ketergantungan seorang pegawai terhadap pekerjaan, cara mereka bekerja di
tempat kerja, cara mereka mengaktualisasikan diri mulai dari urun rembug sampai
urun tenaga, mengelola kesehatan atau kesejahteraan jiwa mereka dan menjaga
kesimbangan kerja dengan hubungan keluarga. Berbasis budaya malu dengan ramuan
sepi ing pamrih, rame ing gawe bisa diformulasikan skala sebagai berikut :
Pertama,
berdasarkan malu kalau tidak mempunyai andil atau kontribusi nyata maka seorang
pegawai akan berprinsip bahwa biarpun posisinya hanya sebagai baut kecil, namun
keberadaannya bisa mempengaruhi sistem atau mempengaruhi keseimbangan. Pegawai
skala awal ini adalah mereka yang Kecanduan Kerja utawa Work Addicts. Yaitu
pegawai yang gila kerja karena dengan bisa merasa berbuat, apapun juga yang
dikerjakannya, sekecil apapun kontribusinya akan mendapatkan kepuasan kerja.
Bahkan mereka akan berdosa kalau tak bisa hadir atau masuk kerja.
Mereka ingin
sekali meningkatkan peran dan kinerjanya serta mempunyai pandangan optimistik
terhadap perjalanan karirnya. Di sisi lain mereka mendambakan adanya suatu
dorongan dalam lingkungan kerja, dalam menyeimbangkan kerja dan keluarga.
Posisi mereka memang menyebabkan tidak mempunyai akses ke kewenangan atau ke
sistim informasi. Nuansa sepi ing pamrih, rame ing gawe masih bersifat
fluktuatif, kondisional, tergantung kekuatan tarik ulur berbagai kebijakan yang
tersirat.
Kedua, berdasarkan
malu kalau hanya sekedar memberikan sumbang kata maka seorang pegawai akan
bermotto kalau bisa dan kalau perlu memberi warna pada sistem. Pegawai
berposisi pada skala kedua ini akan Bersemangat Kerja utawa Work Enthusiasts.
Yaitu pegawai yang gila kerja, yang sangat mengebu-gebu alias euphoric terhadap
pekerjaan mereka. Skala ini bersifat moderat dan masih peduli pada dimensi
keseimbangan kerja dengan keluarga.
Mereka menunjukkan
kemampuan untuk membentuk keakraban dan solidaritas tim kerja, menyusun
jejaring kerja secara horizontal. Sifat terbuka dalam hal wawasan serta menjaga
kesehatan dan kesejahteraan jiwa, khususnya kebahagiaan hubungan dengan teman
dan keluarga di luar kantor. Nuansa sepi ing pamrih, rame ing gawe dalam posisi
tawar-menawar walau sudah mengarah ke arah reward and punishment.
Ketiga,
berdasarkan malu kalau tidak bisa memberikan yang terbaik dari ukuran daya
pikir, waktu, sistematika kerja maka seorang pegawai akan berasaskan bahwa
mereka selalu akan berorientasi kepada proses dan hasil. Pegawai skala ketiga
ini adalah mereka yang Pecandu Bersemangat atau Enthusiastic Addicts. Yaitu
pegawai yang gila kerja karena ekses dari posisi sebagai penentu kebijakan.
Kondisi ketiga ini
menyebabkan mereka dalam kondisi seolah tak ada pilihan antara kerja atau
keluarga. Penyebabnya karena mereka telah terseleksi untuk memasuki posisi rame
ing gawe dan juga rame ing pamrih.
Akhir kata, dengan
meruwat GG sebagai upaya membangkitkan budaya malu serta mempertahankan tradisi
kerja sepi ing pamrih, rame ing gawe – serta memposisikan diri pada sistem
birokrasi yang dinamis (a.l. siap jadi pemain cadangan). Semoga.
Oleh: Herwin Nur
Buletin Pengawasan No.
45 & 46 Th. 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar