Senin,
11/07/2011 11:33
Mencari nafkah, rezeki menjadi abdi masyarakat, abdi negara, aparatur
negara yang dikemas dalam PNS (PNS Pusat maupun PNS Daerah) menurut hukum
negara dan agama adalah sah dan tidak diharamkan. Sebagai PNS mengantongi 17
kewajiban dan 15 larangan serta hukum disiplin yang cukup rinci (lihat PP
53/2010 tentang Disiplin PNS). Gaji tetap dan naik secara berkala plus gaji ke
13 serta adanya uang pensiun menjadi daya tarik orang memilih jadi PNS sebagai
mata pencaharian.
Pemerintah terus meningkatkan anggaran belanja pegawai dari tahun ke tahun
dalam lima tahun ini. Bahkan, belanja pegawai pemerintah pusat terus meningkat
dari Rp 54,254 triliun (2005) menjadi Rp 180,824 triliun (2011). Peningkatan
ini karena ada remunerasi dan berbagai bonus bagi PNS. Namun bagi pemerintah
provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota akibat dari pemekaran wilayah
mempunya segudang masalah dalam hal kinerja SDM dan birokrasi. Pemekaran
wilayah merupakan keputusan dan kepentingan politik, kendati PNS wajib netral,
dalam prakteknya mempunyai daya dukung bahkan ambisius. Infus Rp ke PNS, misal
dalam bentuk remunerasi atas nama reformasi birokrasi, bukan jaminan PNS bebas
KKN.
Hukum alam ekonomi yaitu semakin besar pendapatan/penghasilan akan semakin
banyak pengeluaran. Di lain pihak banyak birokrasi, khususnya di provinsi,
kab/kota yang memanjakan PNS dengan tunjangan jabatan yang berkibat belanja
pegawai >60% APBD. Organisasi yang gemuk menambah daya serap terhadap
belanja pegawai, lamban dalam berakselerasi, serta tingkat kepekaan, kepedulian
dan daya tanggap yang menurun. PNS Daerah bisa diibaratkan katak dalam
tempurung atau dalam kondisi jelang bangkrut ibarat katak rebus. Kendati pajak
digenjot, sumber PAD lainnya dikuras habis, tapi kalau hanya untuk bayar
belanja pegawai jelas sebagai kemubaziran yang bahkan menggerogoti tiang
negara. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar