Senin,
17/02/2003 08:10
KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM"
: DAMPAK DEBAT CAPRES.
Pasca Orde Baru kebebasan berpolitik
sedemikian marak, hanya dalam waktu tak kurang dari satu tahun 48 partai
politik berani tampil dan siap menang di Pemilu 1999. Entah apa resepnya
sehingga dari 3 parpol di Pemilu 1997 bisa berlipat 16 kalinya. Minimal bisa
diasumsikan saat Pemilu 1999 sudah tersedia 48 kandidat "calon
presiden" yang siap diorbitkan maupun dikarbitkan.
Karakter 3 presiden di era Reformasi
tak bisa dibandingkan dengan karakter pemain sinetron maupun banyolan lokal
NKRI. Menurut tatanan sebagai orang Timur yang semula "ora ilok
didelok" akhirnya malah menjadi tontonan yang bernilai komersial dalam
tayangan layar kaca. Untuk menaikkan peringkat, yang mistik dan misterius pun
bisa direkam tayang. Kaum perempuan yang seharusnya diagungkan malah dijadikan
ajang pelecehan, pelecetan bahkan plesetan jender dalam pariwara, sandiwara,
hura-hura. Keberagaman watak dan atribut fisik yang mewarnai dunia hiburan kita
terasa kurang lengkap tanpa hadirnya produk mancanegara, mulai dari Cina ngamuk
dengan Kung Fu dan zombinya, goyang rengek besutan film India, telenofela
picisan, sampai gejolak kawula muda bin Taiwan. Sampai-sampai para kritikus
bingung menentukan norma yang akan dipakai sebagai dasar ulasan.
REVOLUSI DEBAT Debat akting, debat
hafalan, debat fisik, debat improvisasi, debat mejeng, debat action, debat
kusir sudah jamak sebagai bumbu dapurnya tayangan media massa. Orang tak perlu
malu salah omong, keterlepasan kata, asal bunyi dan nyanyi, ucap sambil
menguap, nyinyir bin nyindir, nerocos bin melengos yang penting setiap kata
mempunyai makna. Jangan heran orang yang terjerat oleh suatu pasal hukum bisa
bebas lolos oleh pasal yang lain. Orang yang disebut pandai karena bisa
menggunakan mulutnya, orang yang pintar karena dapat memanfaatkan otaknya,
orang yang cerdas karena sempat mendayagunakan waktunya, orang lihai karena
mampu melihat peluang dan memanfaatkan kesempatan, orang relijius dan agamais
karena memperhitungkan panggilan batin, sentuhan hati dan bisikan qolbu. Orang
Indonesia baru bisa dikatakan telah mendarmabaktikan dirinya setelah berpartai
politik. Orang berpolitik baru dikatakan berhasil bila sukses secara finasial.
Seorang politikus memang mengandalkan mulutnya dalam berkarir, mulai ukuran
dari untuk mencari simpati, dukungan; menarik dan menggalang massa. Terbukanya
kran demokrasi mengakibatkan gerakan politik di NKRI membabi buta atau bak babi
lepas dari pingitan, seruduk sana seruduk sini. Wacana sebagai "babi"
cukup mendominasi sistem poitik, tepatnya babi = banyak bicara. Dilengkapi
dengan pola kerahkan massa = kemas dalam mengintimidasi lawan. Kesimpulannya,
dengan asas "kemas" merupakan nuansa politis yang sedang meninggi,
menjelang Pemilu 2004. Tampilnya "calon presiden" di TPI selain
membuktikan adanya orang yang ambisius juga sekaligus menampilkan berbagai
aneka keborokannya. Apalagi oknum tersebut sudah dikenal luar dalam oleh
rakyat.
WASPADAI MANUVER POLITIK Bagi parpol
yang popularnya karena berbagai kasus, khususnya menyangkut fulus atau
penyalahgunaan wewenang, bisa juga terutama karena jebolan Orde Baru akan
melalukan berbagai cara untuk mencari simpati dan membangun empati. Mulai dari
menyodorkan daftar calon presiden sebagai jajag opini masyarakat. Wacana yang
digelar yang ujung-ujungnya hanya akan menampilkan ketua umumnya saja.
Mengorbankan nama, dengan mengelus-elus tokoh publik yang sudah popular atau
karena konteks primordial, sebagai cara untuk memuluskan dan meluruskan ambisi
partai yang disetir oleh ambisi pribadi. Sadar politik rakyat sudah cukup mapan
dan sudah bisa menentukan sistem "becik ketitik, olo ketoro". Para
dedengkot parpol yang sering nongol di media massa sebagai acuan untuk
semangkin disirik, semua tinggal tunggu tanggal mainnya.
Rakyat sudah jenuh atas tingkah
polah, lagak lagu, gaya olah dan asal cuapnya para pemimpin bangsa. Kondisi
inilah yang tidak diperhitungkan para pemimpin bangsa, bahwa mengandalkan pemeo
"tak kenal maka tak sayang", justru paradigma rakyat sekarang adalah
"semakin dikenal, semakin diobral akan semakin terlihat belangnya".
Seperti dikatakan oleh anak SD bahwa Pemilu 2004 ibarat membeli kucing dalam
karung, karungnya transparan, sehingga kelihatan mana yang kucing betulan, mana
yang malu-malu kucing, mana kucing terpidana. Dalam akting para penguasa negara
sudah sulit membedakan bahwa ini hanya aksi di depan kamera atau kejadian
langsung sebenarnya. Silang kata dan adu kuasa para penguasa negara dalam
menyikapi suatu kasus merupakan kentalnya ciri era Reformasi, selain ciri "babi
kemas" yang telah diuraikan di atas. Sistem pemilu yang akan digoalkan
dalam Undang-Undang sudah merupakan setengah kemengan bagi parpol tertentu dan
separuh kekalahan bagi parpol lainnya. Bagi parpol penggembira bak menjaring
ikan di air banjir. "Tak ada rotan, akar pun jadi" kata pepatah yang
artinya "tak ada PAN, Golkar bukan apalagi PDI (maksudnya PDIP) termasuk
sikaPPP !!!".
MENDONGKRAK APRIORI Sudah jadi
wacana bahwa ketua umum parpol identik dengan kandidat calon presiden. Kalau
parpol mencalonkan capres di luar ketua umumnya perlu diwaspadai. Tetapi ada
juga untungnya, dengan adanya debat capres yang tak diikuti ketua umum parpol
nantinya, khususnya pada putaran perdana, justru akan memperkuat apriori para
pemilih. Rakyat pemilih bisa disihir dengan tampilnya tokoh-tokoh popular di
luar barisan parpol, yang kredibilitasnya sudah dikenal rakyat. Momen ini yang
akan dimanfaatkan berbagai parpol yang sudah memasuki "lampu kuning".
Munculnya golongan putih bukan karena mereka tidak menggunakan hak pilihnya,
tetapi justru karena akan menggunakan hak pilihnya sesuai fakta yang ada.
Jangan sampai yang dipilih adalah parpol pecundang. Istilah "pejah gesang
nderek bapak/ibu" sudah lapuk. Yang terjadi justru "berdiri paling
depan di barisan pembela rakyat" dan akan ngacir duluan bila ada
pertanggungjawaban moral. Agaknya Pemilu 2004 perlu dilakukan secara bertahap,
tahap terakhir ketika diperoleh 2 pasang capres baru dilakukan pemilu babak
akhir untuk menentukan capres terpilih. (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar