Halaman

Selasa, 18 Februari 2014

Akrobat Politik 2014

Akrobat Politik 2014

 Ditulis : Herwin Nur 11 Februari 2014 | 09:11

Sejarah mencatatat bahwa tanggal 21 Mei 1998 sebagai alih kepemimpinan nasional yang belum jatuh waktu, dari presiden 1997-2002 Suharto ke wakil presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Permasalahan bangsa dan negara dimulai ketika presiden pengganti secara konstitusional,terkondisikan agar pemilu dipercepat. 
Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999 untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru. 
Sejarah membuktikan bahwa MPR hasil pemilu 1999, telah mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik IndonesiaNomor III/MPR/1999 tahun 1999, tentang “PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PROF. DR. ING. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE”, kita simak khususnya pada Pasal 1 : 
Pasal 1
Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie yang diucapkan/disampaikan di hadapan Rapat Paripurna ke 8 tanggal 14 Oktober 1999 dan jawaban Presiden atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi terhadap Pidato Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie pada Rapat Paripurna ke 11 tanggal 17 Oktober 1999 Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tanggal 14 sampai dengan 21 Oktober 1999, dinyatakan ditolak.  
Jika rakyat berani jujur bahwa dalam 17 bulan pertama era Reformasi terbaca semangat dan jiwa reformis hanya seolah sekedar bongkar pasang presiden/wakil presiden Orde Baru. 
Periode 1999-2004 semakin membuktikan niat dan nafsu reformis yang sebenarnya. Semakin parah, majunya reformis sebagai capres 2004 dan 2009, menandakan politik sebagai panglima, syahwat politik mendasari semangat dan jiwa Reformasi. 
Tak salah jika disimpulkan bahwa Reformasi diawali, dimulai dari puncaknya bertebaran ke segala penjuru pamrih. Merasa kurang ruang juang, merasa demokrasi meraih kursi sebagai wujud ambisi semakin mahal, wilayah Indonesia dikapling-kapling dengan dalih otonomi daerah. Semangat otonomi di daerah menyuburkan dinasti politik, perputaran kekuasaan berada di dalam sistem famili, nepotisme versi Reformasi. 

Hegemoni Politik
Dominasi legislatif di dua periode SBY diimbangi koalisi partai politik sebagai pengingkaran terhadap kodrat Bhinneka Tunggal Ika. Oposisi setengah hati, hegemoni banci mendudukan politik sebagai komoditas ekonomi, mempunyai nilai jual. Panggung politik menjadi ajang jual beli kepercayaan yang berujung bagi-bagi kursi. 
Menghadapi tahun politik 2014, emosi rakyat sebagai pemilih atau yang akan menggunakan hak pilihnya diaduk-aduk secara sistematis dan menerus. Partai politik peserta pemilu belum ada yang secara jantan dan jujur memproklamirkan siapa calon presiden yang ditawarkan kepada rakyat. 
Parpol  tanpa dikomando kompak menunggu hasil pemilu 9 April 2014, baru menentukan nasib siapa bakal calon presiden dan wakil presiden. Rakyat yang selalu mengharapkan perubahan, akan melihat siapa capres, usulan dari parpol apa, baru mencoblos (tepatnya asal mencoblos) nama caleg di parpol tersebut agar ambang batas atau persyaratan peroleh kursi terpenuhi.
Tidak seperti di tahun 2004 dan 2009, banyak yang merasa bisa jadi presiden / wakil presiden, tampil dalam format politik pasangan calon presiden dan presiden. Suhu politik akibat persaingan antar pasangan saat itu lebih kuat daripada pasal hukum. 
Akrobat politik menjadikan panggung politik 2014 bak kuda kayu yang lari di tempat. Jika lengah, kursi akan melayang diserobot pesaing. Seolah kursi capres menjadi tak bertuan namun tak ternilai harganya (Herwin Nur/Wasathon.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar