Halaman

Sabtu, 22 Februari 2014

DEWAN PERWAKILAN DAERAH vs OTONOMI PEMERINTAH DAERAH

Beranda » Berita » Opini
Senin, 16/12/2002 11:40
DEWAN PERWAKILAN DAERAH vs ......

KATA ANTAR
Salah tiga (bukan salah satu) rekayasa cerdas ditambah sepertiga kandungan lokal elegan yang bisa digulirkan oleh ordo MPR, dengan si komandan Bung Amien Rais, dalam mengamandemen UUD 1945 adalah melahirkan BAB VIIA. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dengan uraian seperti yang tercantum dalam Pasal 22C, 22D, dan pasal lainnya. DPD sebagai pengganti utusan dari daerah dan golongan. DPD dimanfaatkan secara nyata sejalan dengan Pemilu 2004. Entah siapa yang dimenangkan atau disenangkan. Kehadiran DPD bersama DPR (asal jangan menjadi dewan kembar) menjadi komponen MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilu, bersama dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Keberadaan DPR dan DPD, seperti kata sambutan Ketua MPR pada acara sosialisasi UUD 1945, 26 November 2002, yaitu diharapkan mampu meningkatkan pemenuhan aspirasi dan kepentingan rakyat pada tingkat suprastruktur, serta pengawasan yang obyektif dan kritis terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan. Kiat menghadirkan DPD antara lain merupakan salah satu jawaban cerdas bangsa kita terhadap isu otonomi daerah, serta untuk melengkapi keberadaan DPR yakni sebagai lembaga perwakilan yang menekankan kepada aspirasi dan kepentingan daerah.

OTONOMI "PEMERINTAH DAERAH"
Mengintip pelaksanaan otonomi daerah di beberapa Kabupaten dan atau Kota, berdasarkan laporan intelejen klas lokal/partikeliran yang mengandalkan berita slentingan dari warung ke warung, menuju kesimpulan bahwa hasilnya lebih mengarah kepada perwujudan Otonomi Pemerintah Daerah. Daerah selain suatu sebagai sistem tata ruang dan bangunan gedung juga merupakan kumpulan orang-orang yang memerintah dan yang diperintah. Barisan orang-orang yang memerintah membentuk jaringan birokrasi yang kental dengan persaingan bebas. Tak salah kalau disebut penguasa Kabupaten / Kota adalah raja-raja kecil yang berkibar di kerajaannya. Perekatnya adalah persamaan hak dan kesempatan dalam hal beridiologi, senasib dan sepenanggungan dalam mengejar cita-cita yang harus melalui mekanisme politisasi. Bak Golkar sebelum jadi partai, yaitu sebagai penyalur tunggal aspirasi masyarakat. Semua saluran "resmi" untuk unjuk diri telah buntu dan mampet. Prestasi seseorang dalam pemerintah daerah sangat ditentukan oleh kadar dan status pengkaderannya dalam sebuah partai politik (parpol). Ketergantungan pada parpol sudah sedemikian akut, dimulai dari proses pencalonan dan percaloan; tata tertib selama dalam jalur; memahami dan mengamalkan prosedur kebijakan mempertahankan posisi dan jabatan; sampai memproduk jasa timbal balik dengan memanfaatkan berbagai tujuan fasilitas secara tak tertulis. Alibi politis bukan hal yang tabu, untuk menyalahkan keadaan khususnya mengalahkan kebenaran maupun melegitimasi kondisi perkrisisan yang seolah tak berkesudahan. Dengan dalih untuk kepentingan politik maka banyak cara yang semula nganeh-nganehi bisa menjadi masuk akal.

Seperti pariwara ala pembodohan publik bahwa hanya orang berakallah yang menggunakan cara-cara aneh, yang penting hasilnya Bung! 30 provinsi, dengan catatan bahwa provinsi adalah interkabupaten / interkota, maka akan semangkin susah ditebak dan sulit dilacak - seberapa banyak / besar kandungan muatan lokal DPD yang betul-betul berbasis dan fungsi rakyat. Kekentalan warna parpol masih akan dominan dan inilah yang memang diharapkan. Seseorang tokoh bisa jadi menjadi anggota DPD asal warna politiknya tidak samar-samar, apalagi belang tiga. Itulah yang tersirat dan tersurat dalam BAB VIIB, Pasal 22E, ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945. Kesimpulannya, isu Otonomi Daerah telah menjelma menjadi Otonomi "Pemerintah Daerah".

BOM WAKTU DAN RANJAU DARAT
Para pelaku tindak kriminal, menurut versi layar putih mancanegara, jika mendapat order yang dirasa mudah waktu dilaksanakan, mereka akan curiga bin duga. Jangan-jangan ini hanya jebakan, atau untuk mengalihkan perhatian dari operasi sebenarnya, bisa pula mereka dikorbankan untuk dapat tertangkap basah, alternatif lain mereka merasa dijadikan umpan hidup, tak urung ada skenario dan rencana berlapis, juga kemungkinan adanya konspirasi politik kambuhan. Kecurigaan mereka memang masuk nalar, berdasarkan gabungan insting naluri yang seolah memposisikan diri dan berfikir sebagai aktor intelektual, sebagai mantan napi, sebagai hamba hukum, sebagai politikus, sebagai konglomerat, sebagai aparat keamanan, sebagai pejabat negara, sebagai walikota, sebagai anggota parlemen, sebagai senator, sebagai pengacara - dan masih banyak kemungkinan sebagai-sebagainya. Secara analogis dengan asas pembuktian terbalik kita pun dengan cepat bisa tanggap atas kemudahan polisi dalam mengungkap tragedi wabah bom.

Kita sebagai reformis yang sekaligus Pancasilais, tak boleh semena-mena pasang curiga tanpa asas praduga, khususnya dalam menyimak beruntutnya kemudahan untuk membangunkan / membangkitkan / menghidupkan parpol dan tidak mudahnya suatu parpol ikut Pemilu 2004. Semua ini sudah diantisipasi dan diimbangi dengan keberadaan DPD (sekedar menjawab pihak mana yang dimenangkan atau siapa saja yang akan disenangkan, termasuk siapa yang akan liwat dalam kenangan sehingga bisa istirahat dengan tenang, siapa sesungguhnya yang berwenang).

SELINGAN, FAKTA "POLITIKA"
Bahkan Republika pun, sebagai koran pada Sabtu 14 Desember 2002 mewartakan tentang DPD dalam paparan berita "Gedung DPD Selesai Awal 2004", selengkapnya : Sekretaris Jenderal (Sekjen) MPR, Rahimullah, SH, membantah pendapat bahwa pembangunan gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dilakukan secara diam-diam. Menurutnya, pembangunan gedung yang menelan dana Rp 64 miliar tersebut telah direncanakan sejak tahun anggaran 2001 lalu. "Kalau Pak Amien (Ketua MPR Amien Rais) tidak tahu ada pembangunan ini, mungkin karena beliau sibuk," ujarnya di gedung DPR/MPR, Jakarta, Jumat (13/12). Seperti diberitakan sebelumnya, Ketua MPR Amien Rais, mengaku tidak mengetahui adanya rencana pembangunan DPD yang terletak di kompleks DPR/MPR itu. "Saya kaget, apalagi tidak ada laporan dari Sekjen MPR," katanya (Republika, 5/12). Amien juga mengaku heran karena gedung tersebut sudah dibangun dengan dana APBN tahun 2002, padahal keberadaan DPD sendiri baru diputuskan Agustus lalu. Lokasi pembangunan gedung DPD tersebut, terletak di sebuah lapangan kosong di samping Gedung Nusantara V DPR/MPR. Menurut Rahimullah, gedung tersebut akan menempati tanah seluas 42x56 meter. Di atas tanah itu, kelak akan bediri gedung bertingkat 12. "Gedung ini akan selesai pada awal tahun 2004, sehingga MPR yang ada sekarang ini masih tetap bisa ngantor di gedung baru itu," katanya. Bukan hal yang aneh jika di balik berita ini terkandung berbagai ragam keanehan, namanya saja sudah "Politika", tidak ada yang aneh. Yang aneh dan memang sangat aneh justru oknum pembaca yang menganggap aneh berita ini.

KONFLIK, KARMA DAN KUWALAT POLITIK
Akurasi politis bahwa sosok Orde Lama (Orla) sebagai masa lampau dan sekaligus sebagai musuh bebuyutan, harus disikat musnah sampai ke akar-akarnya (kalau perlu sampai ke cindil abangnya). Itulah kiat Orde Baru (Orba) dalam membius bangsa dan rakyat Indonesia, dari Repelita ke Repelita, dari Pemilu ke Pemilu. Tak terasa sejarah berulang, dengan waktu, kedalaman dan intensitas yang berbeda. Menjadi petualang, biang kerok, pecundang pun sangat susah, apalagi menjadi panutan bangsa - selain dinobatkan menjadi Bapak Pembangunan - itu yang terjadi dan ciri di zaman Orba.

Asumsi politis dalam menilai plus minus era Reformasi, minimal dengan fakta telah ada Pemilu 1999 dan dua presiden yang tidak "meneruskan / menghabiskan masa jabatannya" sebagai bukti awal bahwa kandungan Reformasi tidak lebih baik atau kalah buruk di banding Orla + Orba. Anekdot politis, jika Orla (identik dengan Ir. Soekarno) dan Orba (identik dengan Jenderal Besar HM Soeharto) merupakan pasangan ganda terkuat, dilanjutkan pasangan ganda bongkar pasang BJ Habibie dengan Gus Dur, maka seolah kita menunggu duet Mega (sebagai pasangan ganda ataupun pasangan campuran). Kesimpulannya, penerus ataupun pengganti Mega akan "bernasib sama" dengan Mega, khususnya dalam hal peringkat dan popularitasnya. Baru setelah itu kita akan mempunyai pemimpin nasional. Amin 3x.

KATA SIMPUL
"Ndeder koq ndeder kere." Demikian secuplik bahan lawakan versi dagelan Jawa, atau guyonan antar orangtua menyoal nasib anaknya, maksudnya jangan sampai "Menyemai koq menyemai pengemis." Jangan sampai mendidik anak untuk jadi pengemis. Kendati sekarang pun masih ada orangtua yang mengajak anak balitanya untuk mengemis atau yang seusia anak sekolah dibiarkan mandiri jadi pengamen jalanan, dalam bis kota atau jadi pemulung. Dalam kondisi ekonomi yang semakin rentan maupun adanya rentang kasta konglomerat versus rakyat melarat yang semakin melebar orang tak banyak pilihan. Menyiapkan anak, dari segi ekonomi, memang harus siap pakai, siap menghadapi persaingan bebas, siap dan layak jual, tahan banting dan ulet, bisa berkerja sama dan membuat jejaring kerja, serta siap gagal.

Dari segi politik, manfaat reformasi adalah adanya nuansa melek politik, orang sudah tidak buta politik lagi. Rakyat Indonesia sudah jenuh dibodohi atau ditipu melek-melek tentang kepartaipolitikan. Sudah tidak ada kekuatan dan cara jitu untuk meninabobokkan kesadaran berpolitik, berbangsa dan bernegara. Politik bukan sebagai momok yang selama ini menghantui hati nurani rakyat, yang meracuni sendi-sendi kehidupan serta yang meretakkan asas persatuan dan kesatuan. Ternyata yang belum bisa direformasi di bidang politik, atau malah menjadi-jadi, yaitu politik sebagai alat untuk berkuasa atau alat penguasa agar langgeng berkuasa. Korea Utara yang merupakan negara komunis masih menghidupkan penciptaan kader-kader partai. Secara paralel penciptaan kader partai merupakan penyiapan kader bangsa. Dogma bahwa politik adalah penglima memang jiwanya komunis, termasuk tujuan menghalalkan segala cara. Menciptakan angkatan ke lima, setelah ABRI, dengan mempersenjatai kaum buruh merupakan kiat PKI di zaman Orla - disamping menciptakan kader politik di lingkungan pemuda, pelajar, sarjana, seniman, buruh, petani, nelayan, wanita, mahasiswa serta berbagai komponen bangsa. Sejarah selalu berulang, retorika kehidupan menggelinding bebas. Muncul jargon dan atribut politik. Parpol berbagai warna dan lambang, mencari lawan tanding atau seolah tanpa lawan, memporakperandakan kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama.

Dosa politik masa lampau menjadi terkubur. Dosa bawaan, dosa turunan, dosa kiriman dan bakat dosa para politikus menjadi tak terukur. Masa depan bangsa sudah dikapling untuk kepentingan partai politik. Kebijakan internal partai menjadi lagu wajib bagi para kader partai, khususnya yang telah berkesempatan menikmati kursi eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Rakyat tetap menjadi obyek, bukan subyek. Rakyat dibutuhkan hanya pada saat perolehan suara dalam pemilu, setelah itu suara rakyat nyaris tak terdengar. Suara wakil rakyat tak lebih bagaikan riak-riak gelombang, menandakan bahwa laut tak dalam, bagaimana dan apalagi wakil daerah yang bak jago kandang!!! Dalam riak gelombang Otonomi "Pemerintah Daerah" yang demikian bak batu karangnya dalam melaksanakan aspirasi dan kepentingan daerah. (hn)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar