Selasa, 22/10/2002 09:43
KETIKA GURU KENCING BERDIRI
Wagu tur kuru, sebuah
atribut atau predikat yang ditimpakan kepada sosok guru. Gambaran tersebut
mewakili karakteristik fisik guru tempo doeloe maupun sekarang. Sebagai
penyandang “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” ternyata peran guru bisa mewarnai
sejarah. Contoh yang mendalam dengan tinta emas yaitu karena tak ada sentuhan
tangan guru maka presiden RI ke 2, Soeharto, bisa memperpanjang beban sebagai
mandataris MPR. Karena tak ada yang berpengalaman sebagai presiden, maka selama
6 kali berturut-turut atau 6 kali pemilu tetap terpilih sebagai presiden.
Karena Soeharto dalam hal “makan bangku sekolah” hanya sebatas Sekolah Rakyat
maka kursi kepresidenan dimakan sampai anak cucu. Soeharto pun menyadari tak
ada komponen tri winasis dalam keluarganya.
Sebagai Jenderal Besar dan pengendali
pengusaha nasional maupun pembina kendaraan politik terbesar, kekurangan akan
unsur Wasis sangat menghantui nuraninya. Sehingga ketika akan berbesan dengan
Begawan Ekonomi girangnya memuncak. Kata TRI WINASIS tersirat dalam kemasan
"tiga makna", yaitu: "Wirya, Arta, tri Winasis",
sebagaimana tersurat dalam "Serat Wedhatama" KGPAA Mangkunegara IV.
Soeharto menyadari betul bahwa sebagai sosok kepemimpinan yang bisa menyatukan
tiga pilar bangsa, yang menjadi kekuatannya, yaitu: "ABRI, Usahawan dan
Cendekiawan".
Singkat kata, Soeharto ingin
mengulang sejarah suksesnya dengan menjadikan si Winasis atau Wasis tadi yang
dalam lakon babak terakhirnya (lengser keprabon) berperan sebagai Pangkostrad.
Pondasi dari didikan dan ajaran guru yang dirasa kurang, tak heran bahwa otak
kanan dan otak kiri Soeharto berkembang apa adanya. Otak belakangnya justru
berkembang sangat cepat dan dominan.
Apa yang tidak dipikirkan orang,
beliau sudah melakukannya secara sukses.
Apa yang tidak terlintas di benak
orang, beliau sudah menyelesaikannya dengan jitu.
Apa yang belum pernah ada dalam
teori manapun, beliau sudah mempraktekkannya siang malam.
Apa yang belum pernah dikatakan
orang, beliau sudah melaksanakannya dengan rapi.
Bahkan apa yang diharamkan agama,
semua sudah beliau pedomani, hayati dan amalkan secara halal. Pasca Soeharto,
para penyelenggara negara sebagian besar merupakan paduan antara ARTA dan
WINASIS. Masalah mendasar yaitu mereka yang merasa Winasis tetapi belum Arta
akan mati-matian mencari Arta. KKN versi reformasi, kalau dulu ada di pusat
atau yang dekat dengan poros kekuasaan negara, sekarang KKN telah di-otonomi
daerah-kan. Sekarang mereka memang sedang memraktekkan ajaran kawruh jiwa,
kawruh begja Ki Ageng Soerjomentaraman yaitu : sabutuhe, saperlune, sacukupe, sakepenake,
samesthine, dan sabenere - sebuah deretan kata yang sulit dicarikan padanannya
dengan pas dalam bahasa Indonesia, tetapi boleh diterjemahbebaskan. Contoh
seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, setinggi-tingginya dan seadanya (semua yang
ada kalau tidak ada harus diadakan secara mengada-ada).
Perimbangan Arta dan Winasis inilah
yang menyebabkan OTAK SEBELAH LUAR yang berkembang dan sering dipakai. Bukankah
si pembisik terpakai dan pertimbangan agung diabaikan yang menjadi ciri
reformasi. Tepatnya, OTAK TETANGGAlah yang sering dipakai bangsa ini dalam
menjalankan roda pemerintahan. Jika negera tetangga bisa lepas dari belitan
krisis multi dimensi, maka kita tak akan menjiplak mentah-mentah. Kita hanya
akan tergerak dan bangkit dari keterpurukan di bidang ekonomi jika didikte otak
tetangga yang bernama IMF, atau hanya akan peduli pada keamanan dan pertahanan
bila didikte otak tetangga yang bergelar negara adidaya.
Kinerja Badan Intai/Intip Nasional
memasuki strata “buruk muka, cermin tetangga dibelah”. Selama kita masih
mengandalkan dan didominasi oleh otak tetangga maka tak akan ada obat mujarab
yang bisa menuntaskan penyakit yang justru sedang kita nikmati bersama dan
dikembangbiakkan. Bukan salah guru, ketika jika anak didiknya bisa kencing
dimana-mana. Kita ubah kredo sesuai judul opini menjadi “Guru kencing berdiri
di atas kursi, murid kencing berlari sambil menari”. (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar