SIAPA YANG DISEBUT RAKYAT?
Senin, 25/11/2002 08:39
SIAPA YANG DISEBUT RAKYAT ?
SIAPA YANG DISEBUT
RAKYAT? (dicuplik dari tulisan Prof. Dr. Mubyarto, UGM Yogyakarta)
Dari landasan sistem
ekonomi Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas (Pancasila, UUD 1945, TAP
MPRS No. XXIII/66 dan GBHN-GBHN 1973, 1978, 1983, 1988, 1998, 1999), jelas
bahwa ekonomi Indonesia berpedoman pada ideologi kerakyatan.
Apa itu kerakyatan
dan siapa itu rakyat? Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang
melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang
melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah
merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dari itu
adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding
dalam mengatasnamaan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami
arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya.
Sekali lagi, siapa
yang disebut "rakyat"? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan
secara sinis oleh sekelompok pencemoh yang biasanya melanjutkan bertanya,
"bukankah seorang konglomerat juga rakyat, bukankah Liem Sioe Liong juga
rakyat?" Tentu! Namun yang jelas perekonomian konglomerat bukanlah
perekonomian rakyat. "Rakyat" adalah konsepsi politik, bukan konsepsi
aritmatik atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk.
Rakyat adalah
"the common people", rakyat adalah "orang banyak".
Pengertian rakyat berkaitan dengan "kepentingan publik", yang berbeda
dengan "kepentingan orang-seorang". Pengertian rakyat mempunyai
kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama. Ada yang disebut
"public interest" atau "public wants", yang berbeda dengan
"private interest" dan "private wants".
Sudah lama pula orang
mempertentangkan antara "individual privacy" dan "public
needs" (yang berdimensi domain publik). Ini analog dengan pengertian bahwa
"social preference" berbeda dengan hasil penjumlahan atau gabungan
dari "individual preferences". Istilah "rakyat" memiliki
relevansi dengan hal-hal yang bersifat "publik" itu.
Mereka yang tidak
mampu mengerti "paham kebersamaan" (mutuality) dan "asas
kekeluargaan" (brotherhood atau broederschap) pada dasarnya karena mereka
tidak mampu memahami arti dan makna luhur dari istilah "rakyat" itu,
tidak mampu memahami kemuliaan adagium "vox populi vox Dei", di mana
rakyat lebih dekat dengan arti "masyarakat" atau "ummat",
bukan dalam arti "penduduk" yang 210 juta.
Rakyat atau "the
people" adalah jamak (plural), tidak tunggal (singular). Seperti
dikemukakan di atas, kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya
pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber
pada kedaulatan rakyat atau demokrasi.
Oleh karena itu,
dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki "otokrasi
ekonomi", sebagaimana pula demokrasi politik menolak "otokrasi
politik".
Dari sini perlu kita
mengingatkan agar tidak mudah menggunakan istilah "privatisasi" dalam
menjuali BUMN. Yang kita tuju bukanlah "privatisasi" tetapi adalah
"go-public", di mana pemilikan BUMN meliputi masyarakat luas yang
lebih menjamin arti "usaha bersama" berdasar atas "asas
kekeluargaan". Ok!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar