Halaman

Selasa, 17 Maret 2015

dua wajah media, media politik dan politik media

Dua Wajah Media, Media Politik Dan Politik Media


Merasa Bisa
Bermula dari 55 pemimpin redaksi media cetak, online, dan elektronik mendeklarasikan Forum Pemimpin Redaksi (pemred) untuk mengakomodir semua kebutuhan yang diperlukan anggotanya yang berstatus sebagai pemred serta mempersatukan pemred dan menciptakan kewibawaan pers., di Hotel Atlet Century, Jakarta, Rabu 18 Juli 2012 sore.

Fungsi Forum Pemred sebagai ajang saling berbagi informasi. Misal, bila ada satu persoalan yang besar dan memang harus diberitakan, maka secara bersama-sama seluruh media akan menyampaikan pemberitaan penting itu. Dengan catatan bila berita  terkait dengan persoalan yang memang masyarakat perlu tahu itu dan sangat penting.

Tujuan Forum Pemred untuk menyelesaikan tiga ancaman yang dihadapi pers Indonesia belakangan ini. Ketiganya, adalah ancaman eksternal (fisik) seperti perusakan kantor, ancaman profesi seperti intimidasi pemecatan dari pemilik media dan ancaman dari teman-teman sendiri yang tidak menaati kode etik (diolah dari sumber : Republika, Rabu, 18 Juli 2012).

Kebanggaan Forum Pemred ketika presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara Kongres Kebangsaan yang diselenggarakan Forum Pemred, di Jakarta, Rabu, 11 Desember 2013, mengatakan Pemred dapat mengubah jalannya sejarah.

Agen Sponsor
Media sebagai institusi politik Orde Baru, dengan salah satu fungsi yang dirancang Soeharto dan elite negara dalam mempromosikan ideologi nasional dan melegitimasi proses pembangunan. Pelaksanaan fungsi ini, pers sebagai sebuah agen stabilitas, yang bertugas membantu melestarikan tatanan sosial politik. Fungsi ini umumnya berkaitan dengan istilah development journalism. Fungsi kedua adalah memonitor tatanan politik pada masa damai, melakukan checks and balances.

Kehidupan pers Reformasi memasuki era kebebasan yang nyaris tanpa restriksi (pembatasan), bebas tanpa lagi ada batasan atau sanksi dari kebijakan pemerintah. Kebebasan pers atau pers bebas untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi (inti dari kebebasan pers) sesuai pasal 28F UUD 1945 serta pasal 19 Deklarasi Universal HAM.

Hasilnya, pemberitaan kisah sukses pembangunan oleh Pemerintah, khususnya oleh media penyiaran TV, dikemas dalam bentuk iklan. Media lebih getol dan rajin menayangkan sisi lain dari kisah sukses Pemerintah. Bahkan diulang dengan berbagai versi.

Jika penyandang dana atau sponsor melihat suatu acara menguntungkan secara finansial serta meningkatkan peringkat TV, tak ayal acara tersebut awet. Acara dialog, diskusi bahkan debat, dipandu oleh pembawa acara, dengan berbagai bintang tamu yang berklas, tidak serta menghasilkan pencerdasan penonton.

Tema apa pun yang diusung, ujung-ujungnya mendaulat Pemerintah sebagai kambing hitam atas terjadinya berbagai kasus. Mulai kebijakan Pemerintah menetapkan harga jual BBM sampai urusan penetapan DPT. Host acap mengajukan pertanyaan yang bersifat otomatis, ceplas-ceplos, tidak liwat proses akal apalagi moral. Jika terbantahkan, dengan mudah memotong pembicaraan dengan dalih masuk waktu pesan sponsor.

Pesan Moral
Sopir angkot, bis sebagai pembaca setia media cetak. Koran santapan paginya yang ringan dan yang berbau gaul anak muda. Bosan baca berita politik, koran dijadikan kipas atau menggosok kaca depan saat hujan.

Tayangan media penyiaran, mau tak mau, sambil kerja bisa didengar. Telinga penonton/pendengar tidak punya filter, tidak ada masker telinga. Pemilik media yang orang partai politik, menjadikan medianya sebagai corong atau untuk memobilisasi suara pemilih yang mereka perlukan untuk memenangkan pemilihan umum dan memainkan deretan ambisinya.


Bagi jurnalis, tujuan politik media adalah untuk membuat tulisan berbasis profesionalisme yang beretika dan bermoral. Jurnalis menjaga diri untuk tidak menjadi perpanjangan tangan atau bahkan tangan kanan pengusaha maupun penguasa. Media tidak bergerak di antara kutub penjilat dan kutub penghujat [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar