Dua Wajah Media, Media Politik Dan Politik Media
Merasa
Bisa
Bermula dari 55 pemimpin redaksi media cetak, online, dan elektronik mendeklarasikan
Forum Pemimpin Redaksi (pemred) untuk mengakomodir semua kebutuhan yang
diperlukan anggotanya yang berstatus sebagai pemred serta mempersatukan pemred
dan menciptakan kewibawaan pers., di Hotel Atlet Century, Jakarta, Rabu 18 Juli
2012 sore.
Fungsi Forum Pemred sebagai ajang saling berbagi informasi. Misal, bila ada
satu persoalan yang besar dan memang harus diberitakan, maka secara
bersama-sama seluruh media akan menyampaikan pemberitaan penting itu. Dengan
catatan bila berita terkait dengan
persoalan yang memang masyarakat perlu tahu itu dan sangat penting.
Tujuan Forum Pemred untuk menyelesaikan tiga ancaman yang dihadapi pers Indonesia
belakangan ini. Ketiganya, adalah ancaman eksternal (fisik) seperti perusakan
kantor, ancaman profesi seperti intimidasi pemecatan dari pemilik media dan
ancaman dari teman-teman sendiri yang tidak menaati kode etik (diolah dari sumber
: Republika, Rabu, 18 Juli 2012).
Kebanggaan Forum Pemred ketika presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam
acara Kongres Kebangsaan yang diselenggarakan Forum Pemred, di Jakarta, Rabu,
11 Desember 2013, mengatakan Pemred dapat mengubah jalannya sejarah.
Agen
Sponsor
Media sebagai institusi politik Orde Baru, dengan salah satu fungsi yang dirancang Soeharto dan elite negara dalam mempromosikan
ideologi nasional dan melegitimasi proses pembangunan. Pelaksanaan fungsi ini,
pers sebagai sebuah agen stabilitas, yang bertugas membantu melestarikan tatanan sosial politik. Fungsi ini umumnya berkaitan dengan istilah
development journalism. Fungsi kedua adalah memonitor tatanan politik pada
masa damai, melakukan checks and balances.
Kehidupan pers Reformasi memasuki era kebebasan yang nyaris tanpa
restriksi (pembatasan), bebas tanpa lagi ada batasan atau sanksi dari kebijakan
pemerintah. Kebebasan pers atau pers bebas untuk memperoleh dan menyebarluaskan
informasi (inti dari kebebasan pers) sesuai pasal 28F UUD 1945 serta pasal 19
Deklarasi Universal HAM.
Hasilnya, pemberitaan kisah sukses pembangunan oleh Pemerintah,
khususnya oleh media penyiaran TV, dikemas dalam bentuk iklan. Media lebih
getol dan rajin menayangkan sisi lain dari kisah sukses Pemerintah. Bahkan
diulang dengan berbagai versi.
Jika penyandang dana atau sponsor melihat suatu acara menguntungkan
secara finansial serta meningkatkan peringkat TV, tak ayal acara tersebut awet.
Acara dialog, diskusi bahkan debat, dipandu oleh pembawa acara, dengan berbagai
bintang tamu yang berklas, tidak serta menghasilkan pencerdasan penonton.
Tema apa pun yang diusung, ujung-ujungnya mendaulat Pemerintah
sebagai kambing hitam atas terjadinya berbagai kasus. Mulai kebijakan
Pemerintah menetapkan harga jual BBM sampai urusan penetapan DPT. Host acap mengajukan pertanyaan yang bersifat
otomatis, ceplas-ceplos, tidak liwat proses akal apalagi moral. Jika
terbantahkan, dengan mudah memotong pembicaraan dengan dalih masuk waktu pesan
sponsor.
Pesan
Moral
Sopir angkot, bis
sebagai pembaca setia media cetak. Koran santapan paginya yang ringan dan yang
berbau gaul anak muda. Bosan baca berita politik, koran dijadikan kipas atau
menggosok kaca depan saat hujan.
Tayangan media
penyiaran, mau tak mau, sambil kerja bisa didengar. Telinga penonton/pendengar
tidak punya filter, tidak ada masker telinga. Pemilik media yang orang partai
politik, menjadikan medianya sebagai corong atau untuk memobilisasi suara pemilih yang
mereka perlukan untuk memenangkan pemilihan umum dan memainkan deretan
ambisinya.
Bagi jurnalis,
tujuan politik media adalah untuk membuat tulisan berbasis profesionalisme yang
beretika dan bermoral. Jurnalis menjaga diri untuk tidak menjadi perpanjangan
tangan atau bahkan tangan kanan pengusaha maupun penguasa. Media tidak bergerak
di antara kutub penjilat dan kutub penghujat [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar