Halaman

Rabu, 18 Maret 2015

ketika aku bukan lagi menjadi diriku

Ketika Aku Bukan Lagi Menjadi Diriku


Sebagai makhluk reliji, umat Islam berhasil menemukan jati dirinya setelah berproses mendengar, mengetahui, mengenal, memahami dan melaksanakan bahwa hasil jerih payahnya, hasil peras otaknya, hasil keringatnya, hasil banting tulangnya, tidak 100% menjadi hak miliknya. Praktek kuliner, olah resep di dapur baunya jangan sampai menyegat hidung tetangga. Tidak sekedar perbanyak kuah,

Mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, sudah jadi bahan ajar untuk anak didik sedini mungkin. Namun saat melaksanakan UUD 1945, khususnya Pasal 28J ayat (1) :Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang  lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”, seolah umat Islam kebagian kursi sebagai penggembira, mengambil posisi sebagai penonton, atau memilih porsi sebagai budak di negeri sendiri.

Rekaman peristiwa pesta demokrasi pilpres 9 Juli 2014, mau tak mau, umat Islam wajib mawas diri. Di bulan Ramadhan 1435 H, umat Islam dengan sadar atau merasa gagah memakai busana partai, memasang atribut partai, memantaskan diri sebagai insan partai mendukung pasangan capres dan cawapres. Partai Islam tidak punya nyali mengajukan jagonya saat pilpres. Paling hebat hanya dipasang atau dipajang sebagai cawapres. Antar partai Islam bukannya bersinergi, merapatkan barisan, menyatukan pilihan. Mereka lebih mengedepankan mental penggembira, penonton maupun budak.

Ulama, atau jabatan, sebutan, gelar setara, mengajak dan menghimbau umatnya, khususnya dirinya sendiri, untuk memihak, memilah dan memilih satu pasang kandidat tertentu. Lebih dewasa jika ulama atau umast Islam pada umumnya ikut mencari bakat sosok pemimpin nasional. Bukan melakukan posisi tawar-menawar dengan kandidat tertentu, agar kebagian politik balas jasa.

Ulama dan umat Islam, dalam menyeimbangkan urusan dunia dengan urusan akhirat, melupakan ketetapan Allah dalam [QS Al Qashash (28) : 77] : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.  

Kata kunci berbuat baiklah (kepada orang lain) serta,dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi, menjadi paket biasa, umum dan mudah dilupakan. Terlebih di industri politik, tidak ada pakem melayani rakyat. Partai  bukan pelayan(an) publik.

Adalah wujud nyata dari kesempurnaan Islam dan keindahan syariatnya, ketika ada perintah untuk bersabar andai kita merasa sedang menghadapi intimidasi, ketidakadilan atau berbagi bentuk kezaliman pemerintah. Sudah tentu tujuan utamanya adalah menggapai kemaslahatan dan menghindari kerusakan, sehingga kebaikan rakyat dan negara bukan suatu keniscayaan.

Di dimensi rakyat, logika awam menjelaskan bahwa Islam mengajarkan agar mendukung pemerintah yang sedang berjalan. Islam tidak mengenal makar atau pemberontakan. Atau tindak politik oposisi banci, oposisi setengah hati atau oposan selayaknya dihindari.

Berbagai bentuk kezaliman yang dilakukan pemerintah, bahasa jelasnya adalah kebijakan politik, baik dengan alasan yang konstitusional maupun tidak, tidak bisa dijadikan alasan untuk menggulingkan pemerintah, seperti keinginan banyak pihak (atau lawan politik pemerintah). Logika ini berarti upaya menghilangkan atau mengantikan kejelekan dengan cara yang lebih jelek dan upaya meredam tindakan zalim dengan tindakan yang lebih zalim.

Mencuplik artikel al Ustadz Abu Hamzah Yusuf, Majalah AsySyariah edisi 084, tentang beberapa keyakinan dan tindakan yang keliru terkait hubungan seorang muslim dengan pemerintahnya. Dari 6 sub-topik, saya ambil satu sub-topik dengan penjelasannya :

Ada  sekelompok orang yang membuat sebuah komunitas (jamaah) kemudian setiap anggota jamaah tersebut dituntut untuk mendengar dan taat kepadanya (sebagai pimpinannya) atau setiap anggota jamaah memberikan baiat kepadanya untuk senantiasa taat dan mendengar. Sementara itu, pemerintah yang sah ada di tengah-tengah mereka. Dengan tindakannya tersebut, mereka memosisikan diri sebagai waliyyul amri yang memiliki kekuasaan dan pemerintahan.”

Ini adalah sebuah kesalahan besar dan dosa yang besar pula. Siapa yang melakukan ini berarti telah menentang Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya serta menyelisihi nash-nash yang syar’i. Karena itu, tidak wajib menaatinya, bahkan haram, sebab pada dasarnya yang bersangkutan tidak memiliki kekuasaan. Tidak pula pemerintahan sama sekali. Jadi atas dasar apa harus didengar dan ditaati layaknya pemerintahan yang telah tegak dan jelas?!

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang datang kepada kalian, sedangkan pengaturan urusan kalian ada di bawah seseorang yang menjadi pemimpin kalian, dan dia datang hendak memecah belah kesatuan kalian, penggallah lehernya.” (HR Muslim)


Semoga, di periode 2014-2019, partai Islam, ormas Islam maupun gerakan masa yang mengatasnamakan Islam, tidak mengulang tindakan dan kesalahan yang sama. Apalagi jangan menjadi penggembira, penonton maupun budak di negeri sendiri, dengan dalih dan kilah apa pun[HaeN]. 08-08-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar