Ketika Aku Bukan Lagi Menjadi Diriku
Sebagai
makhluk reliji, umat Islam berhasil menemukan jati dirinya setelah berproses mendengar,
mengetahui, mengenal, memahami dan melaksanakan bahwa hasil jerih payahnya,
hasil peras otaknya, hasil keringatnya, hasil banting tulangnya, tidak 100%
menjadi hak miliknya. Praktek kuliner, olah resep di dapur baunya jangan sampai
menyegat hidung tetangga. Tidak sekedar perbanyak kuah,
Mayoritas
penduduk Indonesia memeluk agama Islam, sudah jadi bahan ajar untuk anak didik
sedini mungkin. Namun saat melaksanakan UUD 1945, khususnya Pasal 28J ayat (1)
:
“Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.”,
seolah umat Islam kebagian kursi sebagai penggembira, mengambil posisi sebagai
penonton, atau memilih porsi sebagai budak di negeri sendiri.
Rekaman
peristiwa pesta demokrasi pilpres 9 Juli 2014, mau tak mau, umat Islam wajib
mawas diri. Di bulan Ramadhan 1435 H, umat Islam dengan sadar atau merasa gagah
memakai busana partai, memasang atribut partai, memantaskan diri sebagai insan
partai mendukung pasangan capres dan cawapres. Partai Islam tidak punya nyali
mengajukan jagonya saat pilpres. Paling hebat hanya dipasang atau dipajang sebagai
cawapres. Antar partai Islam bukannya bersinergi, merapatkan barisan,
menyatukan pilihan. Mereka lebih mengedepankan mental penggembira, penonton
maupun budak.
Ulama,
atau jabatan, sebutan, gelar setara, mengajak dan menghimbau umatnya, khususnya
dirinya sendiri, untuk memihak, memilah dan memilih satu pasang kandidat
tertentu. Lebih dewasa jika ulama atau umast Islam pada umumnya ikut mencari
bakat sosok pemimpin nasional. Bukan melakukan posisi tawar-menawar dengan
kandidat tertentu, agar kebagian politik balas jasa.
Ulama
dan umat Islam, dalam menyeimbangkan urusan dunia dengan urusan akhirat,
melupakan ketetapan Allah dalam [QS Al Qashash (28) : 77] : “Dan carilah pada apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Kata
kunci berbuat baiklah (kepada orang lain) serta,dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi, menjadi
paket biasa, umum dan mudah dilupakan. Terlebih di industri politik, tidak ada pakem
melayani rakyat. Partai bukan
pelayan(an) publik.
Adalah
wujud nyata dari kesempurnaan Islam dan keindahan syariatnya, ketika ada
perintah untuk bersabar andai kita merasa sedang menghadapi intimidasi,
ketidakadilan atau berbagi bentuk kezaliman pemerintah. Sudah tentu tujuan
utamanya adalah menggapai kemaslahatan dan menghindari kerusakan, sehingga kebaikan
rakyat dan negara bukan suatu keniscayaan.
Di
dimensi rakyat,
logika awam menjelaskan bahwa Islam mengajarkan agar mendukung pemerintah yang
sedang berjalan. Islam tidak mengenal makar atau pemberontakan. Atau tindak
politik oposisi banci, oposisi setengah hati atau oposan selayaknya dihindari.
Berbagai
bentuk kezaliman yang dilakukan pemerintah, bahasa jelasnya adalah kebijakan
politik, baik dengan alasan yang konstitusional maupun tidak, tidak bisa
dijadikan alasan untuk menggulingkan pemerintah, seperti keinginan banyak pihak
(atau lawan politik pemerintah). Logika ini berarti upaya menghilangkan atau
mengantikan kejelekan dengan cara yang lebih jelek dan upaya meredam tindakan
zalim dengan tindakan yang lebih zalim.
Mencuplik
artikel al Ustadz Abu Hamzah Yusuf, Majalah AsySyariah edisi 084, tentang
beberapa keyakinan dan tindakan yang keliru terkait hubungan seorang muslim
dengan pemerintahnya. Dari 6 sub-topik, saya ambil satu sub-topik dengan
penjelasannya :
“Ada
sekelompok orang yang membuat sebuah komunitas (jamaah) kemudian setiap
anggota jamaah tersebut dituntut untuk mendengar dan taat kepadanya (sebagai
pimpinannya) atau setiap anggota jamaah memberikan baiat kepadanya untuk
senantiasa taat dan mendengar. Sementara itu, pemerintah yang sah ada di
tengah-tengah mereka. Dengan tindakannya tersebut, mereka memosisikan diri
sebagai waliyyul amri yang memiliki kekuasaan dan pemerintahan.”
Ini adalah sebuah kesalahan besar dan dosa yang besar pula. Siapa yang
melakukan ini berarti telah menentang Allah Subhanahu wata’ala dan
Rasul-Nya serta menyelisihi nash-nash yang syar’i. Karena itu, tidak wajib
menaatinya, bahkan haram, sebab pada dasarnya yang bersangkutan tidak memiliki
kekuasaan. Tidak pula pemerintahan sama sekali. Jadi atas dasar apa harus
didengar dan ditaati layaknya pemerintahan yang telah tegak dan jelas?!
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang datang
kepada kalian, sedangkan pengaturan urusan kalian ada di bawah seseorang yang
menjadi pemimpin kalian, dan dia datang hendak memecah belah kesatuan kalian,
penggallah lehernya.” (HR Muslim)
Semoga,
di periode 2014-2019, partai Islam, ormas Islam maupun gerakan masa yang
mengatasnamakan Islam, tidak mengulang tindakan dan kesalahan yang sama.
Apalagi jangan menjadi penggembira, penonton maupun budak di negeri sendiri,
dengan dalih dan kilah apa pun[HaeN]. 08-08-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar