Allah
Menyukai Hal Kecil
Panjang
Angan-Angan
Wajar, kalau kita terjebak nuansa panjang
angan-angan, entah karena tekanan kondisi nyata atau acap melihat ke atas. Jangan
lupa, bahwa pembalasan itu sesuai dengan perbuatan bukan menurut angan-angan,
tersurat dalam [QS An Nisaa' (4) : 123] : "(Pahala dari Allah) itu bukanlah
menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli
Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan
dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong
baginya selain dari Allah.”
Ironis, jika sejarah kita hanya dihiasi tumpukan
kosong angan-angan dan cita-cita yang semakin jauh dari kenyataan. Salahkah
jika bercita-cita tinggi, bahkan dengan cita-cita yang dinamis. Kita wajib
bersyukur dengan apa yang bisa kita nikmati, namun jangan ridha dengan sesuatu dalam dekapan yang masuk
kategori biasa-biasa saja, ala kadarnya, atau dalam prinsip daripada tidak ada.
Kita wajib bercita-cita tinggi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya
Allah menyukai permasalahan yang tinggi-tinggi dan mulia dan Allah membenci
yang biasa-biasa.” [HR Thabrani]
‘Permasalahan yang tinggi-tinggi dan
mulia’, bukan berarti terjun langsung mengurus negara, menjadi wakil rakyat
atau sesuatu profesi yang formal dalam skala nasional. ‘Yang biasa-biasa’,
perlu juga kita renungi bersama, artinya jangan sampai malah kita ragu dan
takut melakukan pekerjaan yang masuk kategori ‘biasa-biasa saja’.
Duri Di
Jalan
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda : “Iman itu mempunyai tujuh
puluh atau enam puluh lebih cabang, yang paling utama adalah ucapan Laa Ilaaha
IIIallaah (tiada Tuhan selain Allah SWT) dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri dari jalan. Sedangkan malu adalah cabang dari iman.” (HR
Bukhari dan Muslim).
‘Menyingkirkan duri dari jalan’, memang pekerjaan fisik yang sederhana dan tidak
menguras energi, kelihatannya remeh, tetapi Islam menempatkannya dalam cabang keimanan.
Amal anggota badan berdampak tidak kecil, bermakna besar, kemanfaatannya tidak
bisa diukur, serta efeknya bergulir.
Selain amal anggota badan, amalan hati dan amalan lisan, jika dilakukan
dengan ikhlas, sabar, rutin bisa menggerakkan dan menambah tabungan amal.
Interaksi
Sosial
Manusia wajib mempunyai rencana untuk masa depannya, menentukan tahapan
dalam mewujudkan dan menghidupkan angan-angannya. Niat mengawali dan
merealisasikan rencana hidup dengan ucapkan Insya Allah. Hidup ini memang harus direncanakan, bukan seperti
air mengalir. Bahkan manusia wajib berharap untuk hari esok, atau bahkan untuk
masa depannya di dunia dan akhirat, sesuai terjemahan [QS Al Baqarah (2) : 201]
: “Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah
kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa
neraka".
Manusia sebagai makhluk sosial, dalam melakukan interaksi sosial, sebaiknya
mengikuti praktek akhlak mulia Rasulullah dengan tersenyum. Jika berpapasan
dengan siapa saja, sebagai rasa peduli, kita usahakan tersenyum. Saat berbicara kita layak tersenyum kepada
lawan bicara. Rasulullah SAW bersabda: “Senyummu terhadap wajah saudaramu
adalah sedekah” (HR Tirmidzi).
Modal menggerakkan otot wajah dan bibir, membentuk mulut tersenyum, masuk
kategori bersedekah. Tersenyum sebagai hak kecil, jika berat melakukan atau
terpaksa melakukan, minimal janganlah bermuka tidak bersahabat kepada orang
lain. Sekedar pasang muka cerah, sudah dihitung kebaikan dalam Islam. Dengan senyum
dan muka cerah bisa mengundang respon positif, bisa meredakan bahkan meredam
amarah orang kepada kita [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar