Kita
Membutuhkan Anak Yatim, Bukan Mereka
Saat Peringatan Puncak HAN 23
Juli 2014, yang dilaksanakan di Jakarta, 6 Agustus 2014, sambutan Presiden RI
a.l berbunyi :
“Sementara itu
undang-undang juga mengamanatkan empat hak pokok bagi anak-anak kita. Pertama,
hak perawatan dan pengasuhan; kedua, hak kesehatan; ketiga, hak pendidikan dan
rekreasi; dan yang keempat, hak perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan
diskriminasi. Apa yang menjadi hak anak-anak kita itu. Tentu menjadi tugas dan
kewajiban kita semua untuk memberikannya, tentu disertai dengan penuh rasa
tanggung jawab. Semua itu menjadi tugas dan kewajiban para orang tua, para
guru, dan juga jajaran pemerintah di seluruh Indonesia.”
Pemerintah telah menetapkan tanggal
23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN) berdasarkan keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984.
Sejarah mencatat, perubahan
keempat UUD 1945 telah menetapkan :
Pasal 34
(1)
Fakir
miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Di era Reformasi, pemerintah peduli
pada nasib anak dengan menetapkan UU 23/2002 tentang “PERLINDUNGAN ANAK” melalui
pertimbangan bahwa anak adalah amanah
dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya. Pasal 1 UU 23/2002 menjelaskan:
1.
Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
2.
Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Produk hukum yang disebut di atas, termasuk lainnya yang ada, berlaku juga
untuk anak yatim, atau disebutkan dalam pasalnya. Contoh, bisa kita simak di
UU 11/2009 tentang “KESEJAHTERAAN
SOSIAL”. Terkait dengan agama Islam, yatim piatu telah diakomodir dalam UU
41/2004 tentang “WAKAF” :
Pasal 22
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf,
harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi :
c. bantuan kepada fakir miskin,
anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
Persepsi kita selama
ini yaitu urusan anak yatim menjadi tugas pengurus masjid, menjadi kewajiban
ormas Islam, menjadi tanggung jawab yayasan atau organisasi sosial. Menyantuni,
memuliakan anak yatim atau berbagai sikap kita, sebagai proses perkuatan
keislaman kita.
Posisi dan porsi hak anak
yatim mendapatkan kedudukan dalam beberapa ayat maupun surat di Al-Qur’an. Bahkan
bagaimana memberlakukan anak yatim bisa berkaitan erat dengan kadar agama
kita, bisa berdampak dengan masa depan kita. Firman Allah terkait anak yatim
yang berlaku menerus bagi kita, antara lain tersurat
dalam [QS Al Maa’uun (107) : 1 s.d 3] :
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan
agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi
makan orang miskin.”
Anak yatim mempunyai status urutan khusus
ketika kita berbuat baik, sesuai
[QS Al Nisaa’ (4) : 36] : "Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri,”
Berbuat baik, sebagai awal kendali agar
kita tidak menjadi orang yang sombong dan membanggakan diri. Mungkin sebagian
dari kita sebagai anak yatim yang mampu berkembang dan eksis sampai sekarang.
Secara ringkas, di balik yang tersurat
dan tersirat dalam Al-Qur’an maupun
sunnah Rasul, terbukti justru kita umat Islam yang membutuhkan keberadaan anak
yatim. Bukan sekedar kemanfaatannya untuk mencapai ridho-Nya dan rakhmat-Nya.
Anak yatim termasuk subyek dalam Al-Qur’an tentunya sebagai kehendak Allah yang
wajib kita taati dan kita ikuti.
Namun kita harus juga
mengetahui bagaimana ikhwal atau kewajiban ibu dari anak yatim. Kita dapat
mengacu sabda Rasulullah Saw : “Aku dan seorang wanita yang pipinya kempot dan
wajahnya pucat bersama-sama pada hari kiamat seperti ini (Nabi Saw menunjuk
jari telunjuk dan jari tengah). Wanita itu ditinggal wafat suaminya dan tidak
mau kawin lagi. Dia seorang yang berkedudukan terhormat dan cantik namun dia
mengurung dirinya untuk menekuni asuhan anak-anaknya yang yatim sampai mereka
kawin (berkeluarga dan berumah tangga) atau mereka wafat.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar