Halaman

Jumat, 20 Maret 2015

kita membutuhkan anak yatim, bukan mereka

Kita Membutuhkan Anak Yatim, Bukan Mereka

Saat Peringatan Puncak HAN 23 Juli 2014, yang dilaksanakan di Jakarta, 6 Agustus 2014, sambutan Presiden RI a.l berbunyi :
Sementara itu undang-undang juga mengamanatkan empat hak pokok bagi anak-anak kita. Pertama, hak perawatan dan pengasuhan; kedua, hak kesehatan; ketiga, hak pendidikan dan rekreasi; dan yang keempat, hak perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Apa yang menjadi hak anak-anak kita itu. Tentu menjadi tugas dan kewajiban kita semua untuk memberikannya, tentu disertai dengan penuh rasa tanggung jawab. Semua itu menjadi tugas dan kewajiban para orang tua, para guru, dan juga jajaran pemerintah di seluruh Indonesia.”

Pemerintah telah menetapkan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN) berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984.

Sejarah mencatat, perubahan keempat UUD 1945 telah menetapkan :
Pasal 34
(1)   Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Di era Reformasi, pemerintah peduli pada nasib anak dengan menetapkan UU 23/2002 tentang “PERLINDUNGAN ANAK” melalui pertimbangan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Pasal 1 UU 23/2002 menjelaskan:
1.      Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
2.     Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Produk hukum yang disebut di atas, termasuk lainnya yang ada, berlaku juga untuk anak yatim, atau disebutkan dalam pasalnya. Contoh, bisa kita simak di UU  11/2009 tentang “KESEJAHTERAAN SOSIAL”. Terkait dengan agama Islam, yatim piatu telah diakomodir dalam UU 41/2004 tentang “WAKAF” :
Pasal 22
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi :
c.      bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;

Persepsi kita selama ini yaitu urusan anak yatim menjadi tugas pengurus masjid, menjadi kewajiban ormas Islam, menjadi tanggung jawab yayasan atau organisasi sosial. Menyantuni, memuliakan anak yatim atau berbagai sikap kita, sebagai proses perkuatan keislaman kita.

Posisi dan porsi hak anak yatim mendapatkan kedudukan dalam beberapa ayat maupun surat di Al-Qur’an. Bahkan bagaimana memberlakukan anak yatim bisa berkaitan erat dengan kadar agama kita, bisa berdampak dengan masa depan kita. Firman Allah terkait anak yatim yang berlaku menerus bagi kita, antara lain tersurat dalam [QS Al Maa’uun   (107) : 1 s.d 3] : "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”

Anak yatim mempunyai status urutan khusus ketika kita berbuat baik, sesuai [QS Al Nisaa’   (4) : 36] : "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,”

Berbuat baik, sebagai awal kendali agar kita tidak menjadi orang yang sombong dan membanggakan diri. Mungkin sebagian dari kita sebagai anak yatim yang mampu berkembang dan eksis sampai sekarang.

Secara ringkas, di balik yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasul, terbukti justru kita umat Islam yang membutuhkan keberadaan anak yatim. Bukan sekedar kemanfaatannya untuk mencapai ridho-Nya dan rakhmat-Nya. Anak yatim termasuk subyek dalam Al-Qur’an tentunya sebagai kehendak Allah yang wajib kita taati dan kita ikuti.

Namun kita harus juga mengetahui bagaimana ikhwal atau kewajiban ibu dari anak yatim. Kita dapat mengacu sabda Rasulullah Saw : “Aku dan seorang wanita yang pipinya kempot dan wajahnya pucat bersama-sama pada hari kiamat seperti ini (Nabi Saw menunjuk jari telunjuk dan jari tengah). Wanita itu ditinggal wafat suaminya dan tidak mau kawin lagi. Dia seorang yang berkedudukan terhormat dan cantik namun dia mengurung dirinya untuk menekuni asuhan anak-anaknya yang yatim sampai mereka kawin (berkeluarga dan berumah tangga) atau mereka wafat.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).  [HaeN].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar