Halaman

Jumat, 27 Maret 2015

hindarkan diri dari tindakan menimbun dosa harian

Hindarkan Diri Dari Tindakan Menimbun Dosa Harian


RITUAL HARIAN
Suasana kebatinan dan kondisi hati kita saat bisa bangun pagi, terasa damai, tenang, dan bahagia.  Perjalanan waktu malam terasa beredar cepat, singkat, padat dan pesan moral liwat mimpi sebagai pemacu dan pemicu semangat. Kita siap tancap gas bergegas mengelola kehidupan hari ini. Siap melakukan dan mengulang tindakan harian yang sama.

Secara manusiawi, tidak menyadari apakah segala tindak dan perilaku harian kita malah menambah argo dosa atau pada sisi keyakinan apakah gerak dan langkah ritual kita malah menggerogoti saldo amal. Kita lebih suka mengerjakan hal yang besar, nyata, dan berdampak sistemik dalam skala dunia.

KONFLIK WAKTU
Masih terdapat sebagian dari kita yang menterjemahkan melaksanakan segenap perintah Allah dan sekaligus menjauhi segalan larangan-Nya, pada ikhwal yang terkait urusan dengan Allah semata, terkait prosesi peribadatan. Tidak terkait dengan urusan antar manusia, manusia dengan lingkungan, manusia dengan sistem kehidupan. Tepatnya terjebak pada aliran dan faham dikotomi ‘Hablum Minallah’ dan ‘Hablum Minannas’.

Singkat waktu dan kata, ‘Hablum Minallah’ dan ‘Hablum Minannassatu kesatuan, sebagimana yang tersurat dalam terjemahan pada awal [QS Ali .’Imran (3) : 112] : “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia,”.

Pada saat ayat ini diwahyukan, yang disebut mereka adalah Ahli Kitab sebelum Islam, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. Ikhwal ‘berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia’ walau saat itu dimaksudkan: perlindungan yang ditetapkan Allah dalam Al Quran dan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Islam atas mereka. Ikhwal ini berlaku sepanjang waktu, dan kita nyaris melupakan dengan sempurna.

Bahwa konsep waktu dalam tatanan dan tataran masyarakat merupakan sebab terjadinya peristiwa sosial. Di pihak lain, waktu dalam satu hari, atau waktu harian adalah pertanda kontak umat Islam dengan Yang Maha Mencipta. Umat Islam mempunyai waktu sosial yang berjalan paralel dengan waktu reliji.

Rutinitas harian menjadikan pemahaman bahwa apa yang kita lakukan adalah hal yang lazim, layak, dan lumrah. Tidak berdampak pada kerja malaikat pencatat amal perbuatan manusia. Interaksi sosial, sejak dengan tetangga, di perjalanan, di tempat kerja, memberi peluang untuk mencetak dosa harian.  Karena tahu saling tahu, jika terjadi friksi, senggolan, sebagai konsekuensi logis dari bermasyarakat.

Jika kita mampu menyiasati penggunaan waktu sosial berbarengan dengan waktu reliji secara sinerjis, in sya Allah, kita bisa meminimalisasi dosa harian. Ironis, kita lebih mengutamakan dan mengedepankan ‘berpegang kepada tali (perjanjian) dengan manusia’  daripada berpegang kepada tali (agama) Allah. Kita lebih taat,  patuh, dan loyal dalam menjalankan kontrak kerja dibanding melaksanakan kontrak hidup dengan Allah.

AMAL UNGGULAN
Wajar, kita tidak menyadari kalau dengan  kegiatan rutin harian, selain bisa menumpuk dosa harian, bisa membuahkan amal harian yang masuk kategori amal unggulan. Amalan unggulan setelah melakukan amalan fardhu atau amalan wajib, berupa amalan sunnah (nafilah), yang dilakukan secara kontinyu, rutin, menerus, berkelanjutan berdasarkan iman, serta dilaksanakan berdasarkan pengetahuan.

Amal unggulan karena bukan tindakan formal, seremonial, tak terukur atau disaksikan oleh manusia lainnya, kita enggan mempraktekkannya. Atau karena kita merasa tidak masuk kategori perintah Allah, perbuatan yang nampak sepele, remeh temeh, kita abaikan. Atau gengsi untuk melakukannya.
Kita wajib bersyukur dengan apa yang bisa kita nikmati, namun jangan ridha dengan sesuatu dalam genggaman dan dekapan yang masuk kategori biasa-biasa saja, ala kadarnya, atau dalam prinsip daripada tidak ada. Kita wajib bercita-cita tinggi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah menyukai permasalahan yang tinggi-tinggi dan mulia dan Allah membenci yang biasa-biasa.” [HR Thabrani]

Permasalahan yang tinggi-tinggi dan mulia’, bukan berarti terjun langsung mengurus negara, menjadi wakil rakyat atau sesuatu profesi yang formal dalam skala nasional. Umat Islam mempunyai visi dan belajar dari masa depan (akhirat).

Permasalahan yang biasa-biasa’, perlu kita cermati bahwa umat Islam jangan sampai menjadi korban peninabobokan oleh sistem. Merasa telah berbuat banyak, besar, jika ditelusuri ternyata hanya sekedar urusan perut. Sebagai pelaksana yang patuh, tanpa harus berfikir.


Umat Islam sebagai makhluk sosial dalam semangat ukhuwah, selain bertanggung jawab atas dirinya sendiri (beriman dan mengerjakan amal soleh) juga bertanggung jawab atas diri orang lain (saling menasihati dalam mentaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran) [HaeN]. 27maret2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar