Hindarkan Diri Dari Tindakan Menimbun
Dosa Harian
RITUAL HARIAN
Suasana kebatinan dan
kondisi hati kita saat bisa bangun pagi, terasa damai, tenang, dan bahagia. Perjalanan waktu malam terasa beredar cepat, singkat,
padat dan pesan moral liwat mimpi sebagai pemacu dan pemicu semangat. Kita siap
tancap gas bergegas mengelola kehidupan hari ini. Siap melakukan dan mengulang
tindakan harian yang sama.
Secara manusiawi, tidak menyadari
apakah segala tindak dan perilaku harian kita malah menambah argo dosa atau pada
sisi keyakinan apakah gerak dan langkah ritual kita malah menggerogoti saldo
amal. Kita lebih suka mengerjakan hal yang besar, nyata, dan berdampak sistemik
dalam skala dunia.
KONFLIK WAKTU
Masih terdapat sebagian dari kita yang menterjemahkan melaksanakan segenap
perintah Allah dan sekaligus menjauhi segalan larangan-Nya, pada ikhwal yang
terkait urusan dengan Allah semata, terkait prosesi peribadatan. Tidak terkait
dengan urusan antar manusia, manusia dengan lingkungan, manusia dengan sistem
kehidupan. Tepatnya terjebak pada aliran dan faham dikotomi ‘Hablum Minallah’
dan ‘Hablum
Minannas’.
Singkat waktu dan kata, ‘Hablum Minallah’ dan ‘Hablum Minannas’ satu kesatuan, sebagimana yang tersurat dalam terjemahan
pada awal [QS Ali .’Imran (3) : 112] : “Mereka diliputi
kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali
(agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia,”.
Pada
saat ayat ini diwahyukan, yang disebut mereka adalah Ahli
Kitab sebelum Islam, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik. Ikhwal ‘berpegang kepada tali (agama) Allah
dan tali (perjanjian) dengan manusia’ walau saat itu dimaksudkan:
perlindungan yang ditetapkan Allah dalam Al Quran dan perlindungan yang
diberikan oleh pemerintah Islam atas mereka. Ikhwal ini berlaku sepanjang
waktu, dan kita nyaris melupakan dengan sempurna.
Bahwa konsep waktu dalam tatanan
dan tataran masyarakat merupakan sebab terjadinya peristiwa sosial. Di pihak
lain, waktu dalam satu hari, atau waktu harian adalah pertanda kontak umat
Islam dengan Yang Maha Mencipta. Umat Islam mempunyai waktu sosial yang
berjalan paralel dengan waktu reliji.
Rutinitas harian menjadikan
pemahaman bahwa apa yang kita lakukan adalah hal yang lazim, layak, dan lumrah.
Tidak berdampak pada kerja malaikat pencatat amal perbuatan manusia. Interaksi
sosial, sejak dengan tetangga, di perjalanan, di tempat kerja, memberi peluang
untuk mencetak dosa harian. Karena tahu
saling tahu, jika terjadi friksi, senggolan, sebagai konsekuensi logis dari
bermasyarakat.
Jika kita mampu menyiasati
penggunaan waktu sosial berbarengan dengan waktu reliji secara sinerjis, in sya
Allah, kita bisa meminimalisasi dosa harian. Ironis, kita lebih mengutamakan
dan mengedepankan ‘berpegang kepada tali (perjanjian) dengan
manusia’ daripada berpegang
kepada tali (agama) Allah. Kita lebih taat, patuh, dan loyal dalam menjalankan kontrak
kerja dibanding melaksanakan kontrak hidup dengan Allah.
AMAL UNGGULAN
Wajar, kita tidak menyadari kalau
dengan kegiatan rutin harian, selain
bisa menumpuk dosa harian, bisa membuahkan amal harian yang masuk kategori amal
unggulan. Amalan unggulan setelah melakukan amalan fardhu atau amalan wajib,
berupa amalan sunnah (nafilah), yang dilakukan secara kontinyu, rutin,
menerus, berkelanjutan berdasarkan iman, serta dilaksanakan berdasarkan
pengetahuan.
Amal unggulan karena bukan
tindakan formal, seremonial, tak terukur atau disaksikan oleh manusia lainnya,
kita enggan mempraktekkannya. Atau karena kita merasa tidak masuk kategori
perintah Allah, perbuatan yang nampak sepele, remeh temeh, kita abaikan. Atau
gengsi untuk melakukannya.
Kita wajib bersyukur dengan apa yang bisa
kita nikmati, namun jangan ridha dengan sesuatu dalam genggaman dan dekapan yang masuk kategori biasa-biasa
saja, ala kadarnya, atau dalam prinsip daripada tidak ada. Kita wajib
bercita-cita tinggi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah
menyukai permasalahan yang tinggi-tinggi dan mulia dan Allah membenci yang
biasa-biasa.” [HR Thabrani]
‘Permasalahan yang tinggi-tinggi dan
mulia’, bukan berarti terjun langsung mengurus negara, menjadi wakil rakyat
atau sesuatu profesi yang formal dalam skala nasional. Umat Islam mempunyai
visi dan belajar dari masa depan (akhirat).
‘Permasalahan yang biasa-biasa’,
perlu kita cermati bahwa umat Islam jangan sampai menjadi korban peninabobokan
oleh sistem. Merasa telah berbuat banyak, besar, jika ditelusuri ternyata hanya
sekedar urusan perut. Sebagai pelaksana yang patuh, tanpa harus berfikir.
Umat Islam sebagai makhluk sosial dalam semangat
ukhuwah, selain bertanggung jawab atas dirinya sendiri (beriman dan mengerjakan
amal soleh) juga bertanggung jawab atas diri orang lain (saling menasihati
dalam mentaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran) [HaeN]. 27maret2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar