Skenario Allah Selalu Tak Terduga
Oleh : Herwin Nur
Bangsa Tempe
Bung Karno secara historis dikenal sebagai Proklamator, tenar pula sebagai
orator ulung. Sampai sekarang, di era Reformasi, salah satu jargonnya dalam
kalimat : “kita bukan bangsa tempe”, dianggap
masih layak dan laku dan malah jadi topik dalam berbangsa dan bernegara.
Masyarakat peduli martabat bangsa merasa tersengat diposisikan sebagai
bangsa tempe. Ada yang mengkounter jargon tersebut secara ilimiah, dengan ilmu
gizi yang menjurus ke ketahanan pangan berbasis produk lokal, bahwa tempe
bermartabat.
Kita harus sadar ada nilai filosofi dan maknawi dari “bangsa tempe”.
Minimal harus memahami konsekuensi sebagai bangsa besar, lepas dari kandungan
tempe yang berbahan baku kedelai. Terdapat 2 (dua) makna, yaitu proses dan
berpulang pada diri sendiri.
Pertama, Hidup Adalah
Proses
Untuk menjadi tempe pun, bahan bakunya, mengalami kelakuan diinjak-injak
dan dicuci dengan air bersih. Budaya instan menyebabkan kita hanya mau
mendapatkan hasil sesuai prinsip ekonomi
: dengan usaha minimal meraih hasil maksimal. Kita menjadi tidak tahan
banting. Tidak salah, mengikuti arus kehidupan seperti air mengalir, apa yang
akan terjadi terjadilah.
Hakekat hidup adalah berproses, kontinyu melaksanakan perintah Allah
sekaligus menjauhi segala larangan-Nya, bukan menunggu hasil. Kita berada di
zona wajib usaha. Buah dari berbagai usaha, upaya dan ikhtiar, Allah yang
menetapkan. Langkah kehidupan dimulai dari niat dan selalu berusaha mengoptimalkan
ikhtiar yang telah kita lakukan,
selebihnya terserah Allah SWT. Tepatnya, hasil dari perjuangan di tangan Allah, merupakan hak prerogatif
Allah.
Wajib usaha jangan menjadikan diri kita hanya sebagai tukang ibadah yang
mengharapkan pahala sebagai upah. Kita menjadi ahli ibadah, yang diharapkan
adalah ridho dan rakhmat Allah. Sebagai pelaku utama dalam kehidupan
bermasyarakat kita dituntut menjadi sebaik-baik manusia. Sesuai sabda Rasulullah SAW : “Khairunnas anfa’uhum
linnas (Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak
manfaatnya bagi orang lain).” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam prakteknya, banyak ritual untuk menjadi manusia
yang bermanfaat, dalam interaksi antar umat maupun hubungan manusia dengan
Allah. Mendadak baik bisa terjadi, karena mendapat hidayah (petunjuk) dan
inayah (pertolongan) dari Allah.
Hidup adalah proses, tidak sekedar mengalir, kita
mengacu sebagian terjemahan [QS Ar Ra’d (13) : 11] :
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Kita sebagai
individu wajib melakukan perubahan, perubahan dari kesolehan individu menuju
kesolehan sosial. Perubahan menuju dan menjadi manusia yang bermanfaat.
Kedua, Berpulang Pada
Diri Sendiri
Hidup ibarat menanam pohon produktif, anak keturunan yang panen. Dalam
melaksanakan skenario Allah, kita selalu mohon petunjuk-Nya, karena setiap orang akan memetik buah amalnya
sendiri, sesuai sebagian terjemahan [QS Az Zumar (39) : 41] :
“Siapa
yang mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa
yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya
sendiri.”
Ketika kedelai
menjadi barang langka, pasokan, kualitas dan harga tempe terganggu. Kehidupan
sebagai bangsa tempe terkena dampaknya. Masih ada yang kita salahkan, namun
jika mengacu terjemahan [QS Alam Nasyrah
(94) : 5-6] :
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Hidup jangan tergantung pada sesuatu. Ikhtiar dengan berbagai pilihan
kemungkinan. Karena ada skenario Allah yang tidak bisa kita terima dengan akal
[HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar