Halaman

Selasa, 26 Agustus 2014

Skenario Allah Selalu Tak Terduga

Skenario Allah Selalu Tak Terduga
Oleh : Herwin Nur

Bangsa Tempe
Bung Karno secara historis dikenal sebagai Proklamator, tenar pula sebagai orator ulung. Sampai sekarang, di era Reformasi, salah satu jargonnya dalam kalimat :  “kita bukan bangsa tempe”, dianggap masih layak dan laku dan malah jadi topik dalam berbangsa dan bernegara.

Masyarakat peduli martabat bangsa merasa tersengat diposisikan sebagai bangsa tempe. Ada yang mengkounter jargon tersebut secara ilimiah, dengan ilmu gizi yang menjurus ke ketahanan pangan berbasis produk lokal, bahwa tempe bermartabat.

Kita harus sadar ada nilai filosofi dan maknawi dari “bangsa tempe”. Minimal harus memahami konsekuensi sebagai bangsa besar, lepas dari kandungan tempe yang berbahan baku kedelai. Terdapat 2 (dua) makna, yaitu proses dan berpulang pada diri sendiri.

Pertama, Hidup Adalah Proses
Untuk menjadi tempe pun, bahan bakunya, mengalami kelakuan diinjak-injak dan dicuci dengan air bersih. Budaya instan menyebabkan kita hanya mau mendapatkan hasil sesuai prinsip ekonomi  : dengan usaha minimal meraih hasil maksimal. Kita menjadi tidak tahan banting. Tidak salah, mengikuti arus kehidupan seperti air mengalir, apa yang akan terjadi terjadilah.

Hakekat hidup adalah berproses, kontinyu melaksanakan perintah Allah sekaligus menjauhi segala larangan-Nya, bukan menunggu hasil. Kita berada di zona wajib usaha. Buah dari berbagai usaha, upaya dan ikhtiar, Allah yang menetapkan. Langkah kehidupan dimulai dari niat dan selalu berusaha mengoptimalkan ikhtiar yang telah  kita lakukan, selebihnya terserah Allah SWT. Tepatnya, hasil dari perjuangan di tangan Allah, merupakan hak prerogatif Allah.

Wajib usaha jangan menjadikan diri kita hanya sebagai tukang ibadah yang mengharapkan pahala sebagai upah. Kita menjadi ahli ibadah, yang diharapkan adalah ridho dan rakhmat Allah. Sebagai pelaku utama dalam kehidupan bermasyarakat kita dituntut menjadi sebaik-baik manusia. Sesuai sabda  Rasulullah SAW : “Khairunnas anfa’uhum linnas (Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain).” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam prakteknya, banyak ritual untuk menjadi manusia yang bermanfaat, dalam interaksi antar umat maupun hubungan manusia dengan Allah. Mendadak baik bisa terjadi, karena mendapat hidayah (petunjuk) dan inayah (pertolongan) dari Allah.  

Hidup adalah proses, tidak sekedar mengalir, kita mengacu sebagian terjemahan [QS Ar Ra’d  (13) : 11] :
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Kita sebagai individu wajib melakukan perubahan, perubahan dari kesolehan individu menuju kesolehan sosial. Perubahan menuju dan menjadi manusia yang bermanfaat.

Kedua, Berpulang Pada Diri Sendiri
Hidup ibarat menanam pohon produktif, anak keturunan yang panen. Dalam melaksanakan skenario Allah, kita selalu mohon petunjuk-Nya, karena setiap orang akan memetik buah amalnya sendiri, sesuai sebagian terjemahan [QS Az Zumar (39) : 41] :
“Siapa yang mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri.”

Ketika kedelai menjadi barang langka, pasokan, kualitas dan harga tempe terganggu. Kehidupan sebagai bangsa tempe terkena dampaknya. Masih ada yang kita salahkan, namun jika  mengacu terjemahan [QS Alam Nasyrah (94) : 5-6] :
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”


Hidup jangan tergantung pada sesuatu. Ikhtiar dengan berbagai pilihan kemungkinan. Karena ada skenario Allah yang tidak bisa kita terima dengan akal [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar