Halaman

Minggu, 17 Agustus 2014

Semangat Proklamasi, Semangat Ramadhan 1433 H

 Politika     Dibaca :481 kali , 1 komentar

Semangat Proklamasi, Semangat Ramadhan 1433 H

 Ditulis : Herwin Nur 04 Agustus 2012 | 21:38

Hari itu, Jum’at Legi, tanggal 9 Ramadhan 1364 H pukul 10.00 pagi, di jalan Pegangsaan Timur No.56 Jakarta (sekarang disebut sebagai jalan Proklamasi No.1, Jakarta Pusat), Ir. Soekarno didampingi Drs. Muhammad Hatta membacakan Teks Proklamasi. Indonesia Merdeka !!!.

Bukan serba kebetulan, Proklamasi 17 Agustus 1945 (atau bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang) bersamaan dengan bulan Ramadhan dan tim sukses kemerdekaan sedang berpuasa, serta penjajah Jepang masih bercokol di depan hidung. De jure dan de facto Indonesia merdeka dari penjajahan negara asing di negeri sendiri. Lepas dari cengkeraman bangsa asing apakah Indonesia bak bayi yang baru dilahirkan, tanpa dosa?

Peringatan HUT RI ke 67, jelang Hari Raya Idul Fitri 1433 H, tentu akan dirayakan dengan semangat puasa. Ada beberapa hikmah yang bisa kita rasakan :

Pertama, kendati usia Proklamtor saat itu 40an tahun, namun masuk kategori Generasi Pejuang Tua. Di era Reformasi, masih ada generasi muda, khususnya atas nama bangsa atau tepatnya para wakil rakyat, yang berfokus untuk kemajuan dan kesejahteraan dirinya. Budaya korupsi sudah jadi lagu wajib di lingkungan penyelengara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif).

Kedua, semangat persatuan dan kesatuan menjadi barang langka. Bangsa dan rakyat Indonesia baru bergotong royong saat hadapi musuh bersama, yaitu bencana alam. Aparat militer dengan serta merta berjibaku di tempat kejadian bencana. Pihak berwenang sibuk dengan rapat koordinasi. Seolah kita menunggu simpati dan uluran tangan pihak luar.

Ketiga, Sungguh ironis, saat menghadapi musuh bersama bentuk yang lain, yaitu bencana politik, ketahanan pangan (misal mahalnya harga beli kedelai di pasaran), berbagai elemen bangsa malah memamerkan keahliannya untuk bertindak sebagai ahli komentar, ahli kritik. Media massa, khususnya TV swasta, melalui acara dialog, diskusi maupun debat, mengolah fakta dan membentuk opini sesuai selera.

Keempat, kendati Bung Karno sebagai pendiri dan Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI), tidak otomatis menganakemaskan PNI. Beliau berkiprah sebagai negarawan, ketimbang tampil sebagai kader militan PNI. Jatuhnya Bung Karno karena mewadahi dan merangkul semua kekuatan politik di Indonesia dalam wadah Nasakom (Nasionalis, agama dan komunis). Mulai 1998 banyak oknum Ketua Umum Parpol merasa bisa jadi RI-1. Mendirikan parpol bertujuan mendapatkan kursi, mulai kursi wakil rakyat tingkat kabupaten/kota, provinsi sampai pusat, dan kursi kepala negara/presiden dan pembantu presiden.

Kelima18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur dan 30 September 1965 di Jakarta dan Yogyakarta, tercatat dengan tinta hitam dalam sejarah Republik Indonesia, sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ahli sejarah sampai pengamat dan analisis politik, tidak ada yang mampu atau berani mengatakan apa yang akan terjadi andai kudeta, makar, pemberontakan bersenjata tersebut berhasil.

Keenam, penjajahan oleh bangsa asing tidak melalui kekuatan militer, sudah dalam berbagai bentuk. Kondisi yang perlu dikuatirkan dan diwaspadai oleh pemerintah dan rakyat Indonesia bukan hanya pada praktek organisasi asing (yang berkedok agama, sosial, lingkungan), bercokolnya pangkalan militer asing di negara tetangga, melimpahnya barang bekas/buangan hasil impor (barang impor hancurkan produk lokal), maraknya gaya hidup ala barat,  penjajahan lewat budaya, memaknai HAM secara sempit, investor mancanegara yang menguras isi perut bumi saja, tetapi justru pada campur tangan asing. Kebijakan ekonomi, politik, hukum bahkan urusan internal negara masih bisa didikte kepentingan asing.

Ketujuh, puasa politik hanya dilakukan saat menghadapi Pesta Demokrasi lima tahunan. Rakyat diperhatikan dan dibutuhkan, melalui kampanye yang sarat dengan obral janji, asal mau memilihnya saat hari coblosan dalam pemilu, pilpres atau pilkada. Dalam lima tahun, keberadaan rakyat hanya dibutuhkan dalam satu hari saja. Selebihnya, mereka harus urus nasibnya sendiri. Jangan heran, kalau rakyat acap bertindak sendiri, seolah tidak ada wakil rakyat. Ada oknum anggota DPR RI yang gemar pamer kata di running text TV swasta mapun TV pemprov tertentu.

Kedelapan, adanya pemimpin umat Islam (tepatnya organisasi masa Islam) merasa sebagai pemimpin umat bangsa. Kebijakan dan fatwanya hanya sekedar populis, tidak mengedepankan rasa persatuan, kesatuan dan keutuhan bangsa. Semangat dalam antrian panjang dan berliku menjadikan anak bangsa cepat jemu dan jenuh, serta nyaris tidak tahan banting. Jalan pintas menjadi pilihan utama.

Kesembilan, kendati pendidikan memang mahal, biaya kesehatan tidak murah, tidak harus bangsa ini hanya mengandalkan ijazah saja. Pembangunan manusia indonesia seutuhnya bisa dilakukan liwat berbagai cara. Keterbatasan dana pembangunan harus diimbangi kemandirian rakyat untuk bisa berdiri di atas kaki sendiri. Kecerdasan tidak sekedar mengandalkan akal, dan kemampuan berfikir saja.

Sebetulnya, masih banyak hikmah yang bisa kita serap dan resapi. Wassalam (Herwin Nur/Kontributor Wasathon.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar