Kamis, 25/09/2008
10:26
MUDA, PINTAR, SEHAT
vs SEHAT, PINTAR, MUDA NKRI
pasca Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 mengalami tiga orde, Orde Lama (Orla), Orde Baru
(Orba) dan Orde Reformasi. Sejarahwan belum ada yang mengatakan karena Soekarno
dan Soeharto saat awal jadi RI-1 dalam usia muda, 40an tahun. Karena muda jadi
betah duduk lama. Bung Karno didaulat jadi presiden seumur hidup. Bapak
Pembangunan HM Soeharto atas kehendak rakyat tetap dipertahankan jadi presiden,
melalui Pemilu.
Dekade Orde Reformasi
(1998-2008) terdapat 4 (papat) RI-1. Muncul polemik dari panggung politik,
bahwa yang muda, pintar dan sekaligus sehat yang pantas menjadi RI-1. Di era
Orba, orang mengutuk keburukkan, kebobrokkan, kekurangan di zaman Orla. Orang
membandingkan kelebihan hidup di zaman Orba. Di zaman Orba orang tak merasa
dininabobokan oleh sistem. Begitu memasuki alam Reformasi, orang merdeka
semerdeka-merdekanya. Parpl muncul bak jerawat di musim akil baliq. Bebas
sebebas-bebasnya.
Orang merumuskan Good
Governance, KKN untuk mengantisipasi, untuk menyebarkan sampai ke
daerah-daerah, sesuai jiwa dan semangat otonomi (di) daerah. Orang mengenal
Pemilu dan Pelita di bawah HM Soeharto. Sekarang, orang mencampuradukkan Pemilu
dengan Pelita menjadi satu paket lima tahunan, kendati sudah ada RPJPN 2005-2025.
Masa jabaran RI-1 dan RI-2 identik dengan pembangunan nasional. Target fisik
dan sasaran fungsional ditentukan oleh penentu APBN, yang notabene didominasi
oleh orang partai. Bukan pada kebutuhan nyata masyarakat di lapangan. Akhirnya
bencana alam mengkoreksi kesalahan pembangunan, diperkuat oleh bencana sosial,
kerusuhan massal, unjuk raga tanpa pandang bulu, semua tindakan preventif dan
repesif mengatasnamakan pembangunan dan kepentingan umum.
Di bidang
pemerintahan bisa terjadi kesalahan administrasi, salah prosedur, salah
tangkap, salah perhitungan, gagal panen, cacat hukum. Di bidang politik, para
pejuang politik mengusung motto atau jargon, bahkan lagu wajibnya yaitu balas
jasa utawa balas dendam. Karena pada hakekatnya para politisi kambuhan, politisi
instan, politisi karbitan, politisi dadakan, politisi tiban, politisi kagetan,
politisi bayaran, politisi tembak hanya rebutan kursi, tak kenal istilah bagi
hasil. Kalau bisa semua mengapa harus sebagian. Kalau bisa dipermudah kenapa
harus dipersulit. Sebagai negara penghutang, tak ayal Nusantara ini melahirkan
generasi korupsi. Dengan korupsi akan merusak satu generasi.
Dampak dan akibat
korupsi lebih dahsyat daripada rokok, narkoba, miras, zina, bahkan pembalakan
liar sekalipun. Banyak yang seharusnya ada menjadi tak ada. Sebaliknya, banyak
ada yang seharusnya tidak perlu ada. Ibarat pepatah, karena nila seitik, rusak
susu sebelangga. Karena korupsi, rusak satu generasi.
Menghadapai pesta
demokrasi Pemilu dan Pilpres 2009, mulai dari yang kutu buku sampai kutu
loncat, mulai dari yang baku mulut sampai baku hantam, mulai dari yang berani
mati sampai yang mati konyol, mulai dari yang modal dengkul sampai yang main
pukul, mulai dari yang gemar tarik urat sampai yang urat malunya hilang, mulai
dari yang sok dekat sampai yang model bondo nekat, dari yang ...... semua
rata-rata pasang kuda-kuda, pasang aksi. Tanpa malu, segan dan risi menjajakan
diri, menawarkan diri.
Merasa pantas dan
bisa, minimal jadi wakil rakyat. Apes-apesnya jadi RI-1. Terlebih yang merasa
muda, pintar`dan sehat. Muda tapi tak diimbangi dengan pengalaman, jam terbang
atau nilai jual. Ada yang punya prestasi lokal, sudah bungah bukan main. Merasa
sudah layak masuk tataran nasional. Ibarat pejuang, ketika saat itu memang
sedang era perjuangan, ada yang berjuang sehari atau setengah hati sudah merasa
layak dapat penghargaan utawa bintang abadi. Seperti pendemo, atau pengujuk
rasa dengan hasil lengser keprabon HM Soeharto, banyak yang merasa punya andil.
Lucunya, seseorang bisa menggerakkan massa, dengan modal nasi bungkus, kaos,
atau atribut lainnya. Idealisme mudah lentur, gampang diperjualbelikan.
Begini jadinya, satu
dekade Orde Reformasi banyak orang pintar, paling tidak merasa pintar. Pintar
karena gelar atau ijazah, bukan karena prestasi. Jangan heran kalau tayangan di
media kaca menampilkan sosok banci dan kebanci-bancian, adegan mistis dan dunia
khayal, skenario berbasis bangku sekolah, pembanyol asal konyol, tragedi
menjadi sajian hiburan, siaran langsung malapetaka, sampah selebritis dikemas
untuk menaikkan rating, jaksa makan hukum, sogok dan suap vs pemerasan dan
penodongan, antri minyak tanah diperpanjang dengan antri BBM, antri gas, antri
air bersih, lan sak panunggale.
Ada yang merasa sehat
tanpa berbuat. Ada yang sakit bikin bangsa ini morat-marit. Bayangkan, dengan
sedulur, sekasur, sedapur, sesumur, seumur (istilah Golkar di zaman Orba) saja
tega apalagi dengan nak sanes. Bisa dilibas habis-habisan. Konco dw, ngeyel
diudel-udel. Sanak ngranyak, keplak! Bolo dw, korupsi ben wae. Tonggo mati
kaliren, liyane mati keblengeran. Ketika lumpur-lumpur itu tersibak, kita baru
mendapatkan mutiaranya (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar