Halaman

Rabu, 06 Agustus 2014

MUDA, PINTAR, SEHAT vs SEHAT, PINTAR, MUDA

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 25/09/2008 10:26
MUDA, PINTAR, SEHAT vs SEHAT, PINTAR, MUDA NKRI

pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 mengalami tiga orde, Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba) dan Orde Reformasi. Sejarahwan belum ada yang mengatakan karena Soekarno dan Soeharto saat awal jadi RI-1 dalam usia muda, 40an tahun. Karena muda jadi betah duduk lama. Bung Karno didaulat jadi presiden seumur hidup. Bapak Pembangunan HM Soeharto atas kehendak rakyat tetap dipertahankan jadi presiden, melalui Pemilu.

Dekade Orde Reformasi (1998-2008) terdapat 4 (papat) RI-1. Muncul polemik dari panggung politik, bahwa yang muda, pintar dan sekaligus sehat yang pantas menjadi RI-1. Di era Orba, orang mengutuk keburukkan, kebobrokkan, kekurangan di zaman Orla. Orang membandingkan kelebihan hidup di zaman Orba. Di zaman Orba orang tak merasa dininabobokan oleh sistem. Begitu memasuki alam Reformasi, orang merdeka semerdeka-merdekanya. Parpl muncul bak jerawat di musim akil baliq. Bebas sebebas-bebasnya.

Orang merumuskan Good Governance, KKN untuk mengantisipasi, untuk menyebarkan sampai ke daerah-daerah, sesuai jiwa dan semangat otonomi (di) daerah. Orang mengenal Pemilu dan Pelita di bawah HM Soeharto. Sekarang, orang mencampuradukkan Pemilu dengan Pelita menjadi satu paket lima tahunan, kendati sudah ada RPJPN 2005-2025. Masa jabaran RI-1 dan RI-2 identik dengan pembangunan nasional. Target fisik dan sasaran fungsional ditentukan oleh penentu APBN, yang notabene didominasi oleh orang partai. Bukan pada kebutuhan nyata masyarakat di lapangan. Akhirnya bencana alam mengkoreksi kesalahan pembangunan, diperkuat oleh bencana sosial, kerusuhan massal, unjuk raga tanpa pandang bulu, semua tindakan preventif dan repesif mengatasnamakan pembangunan dan kepentingan umum.

Di bidang pemerintahan bisa terjadi kesalahan administrasi, salah prosedur, salah tangkap, salah perhitungan, gagal panen, cacat hukum. Di bidang politik, para pejuang politik mengusung motto atau jargon, bahkan lagu wajibnya yaitu balas jasa utawa balas dendam. Karena pada hakekatnya para politisi kambuhan, politisi instan, politisi karbitan, politisi dadakan, politisi tiban, politisi kagetan, politisi bayaran, politisi tembak hanya rebutan kursi, tak kenal istilah bagi hasil. Kalau bisa semua mengapa harus sebagian. Kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit. Sebagai negara penghutang, tak ayal Nusantara ini melahirkan generasi korupsi. Dengan korupsi akan merusak satu generasi.

Dampak dan akibat korupsi lebih dahsyat daripada rokok, narkoba, miras, zina, bahkan pembalakan liar sekalipun. Banyak yang seharusnya ada menjadi tak ada. Sebaliknya, banyak ada yang seharusnya tidak perlu ada. Ibarat pepatah, karena nila seitik, rusak susu sebelangga. Karena korupsi, rusak satu generasi.

Menghadapai pesta demokrasi Pemilu dan Pilpres 2009, mulai dari yang kutu buku sampai kutu loncat, mulai dari yang baku mulut sampai baku hantam, mulai dari yang berani mati sampai yang mati konyol, mulai dari yang modal dengkul sampai yang main pukul, mulai dari yang gemar tarik urat sampai yang urat malunya hilang, mulai dari yang sok dekat sampai yang model bondo nekat, dari yang ...... semua rata-rata pasang kuda-kuda, pasang aksi. Tanpa malu, segan dan risi menjajakan diri, menawarkan diri.

Merasa pantas dan bisa, minimal jadi wakil rakyat. Apes-apesnya jadi RI-1. Terlebih yang merasa muda, pintar`dan sehat. Muda tapi tak diimbangi dengan pengalaman, jam terbang atau nilai jual. Ada yang punya prestasi lokal, sudah bungah bukan main. Merasa sudah layak masuk tataran nasional. Ibarat pejuang, ketika saat itu memang sedang era perjuangan, ada yang berjuang sehari atau setengah hati sudah merasa layak dapat penghargaan utawa bintang abadi. Seperti pendemo, atau pengujuk rasa dengan hasil lengser keprabon HM Soeharto, banyak yang merasa punya andil. Lucunya, seseorang bisa menggerakkan massa, dengan modal nasi bungkus, kaos, atau atribut lainnya. Idealisme mudah lentur, gampang diperjualbelikan.

Begini jadinya, satu dekade Orde Reformasi banyak orang pintar, paling tidak merasa pintar. Pintar karena gelar atau ijazah, bukan karena prestasi. Jangan heran kalau tayangan di media kaca menampilkan sosok banci dan kebanci-bancian, adegan mistis dan dunia khayal, skenario berbasis bangku sekolah, pembanyol asal konyol, tragedi menjadi sajian hiburan, siaran langsung malapetaka, sampah selebritis dikemas untuk menaikkan rating, jaksa makan hukum, sogok dan suap vs pemerasan dan penodongan, antri minyak tanah diperpanjang dengan antri BBM, antri gas, antri air bersih, lan sak panunggale.

Ada yang merasa sehat tanpa berbuat. Ada yang sakit bikin bangsa ini morat-marit. Bayangkan, dengan sedulur, sekasur, sedapur, sesumur, seumur (istilah Golkar di zaman Orba) saja tega apalagi dengan nak sanes. Bisa dilibas habis-habisan. Konco dw, ngeyel diudel-udel. Sanak ngranyak, keplak! Bolo dw, korupsi ben wae. Tonggo mati kaliren, liyane mati keblengeran. Ketika lumpur-lumpur itu tersibak, kita baru mendapatkan mutiaranya (hn).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar