Senin, 18/04/2005
13:30
NKRI di antara oposan, oplosan,
polosan, plontosan dan keroposan
SYAHWAT POLITIK
Di NKRI ini apapun
bisa terjadi. Bahkan yang tak pernah terjadi bisa direkayasa sesuai pesanan
bahwa memang pernah terjadi. Kebalikannya, kejadian yang historis, aktual dan
faktual pun karena salah prosedur, kekhilafan dalam penulisan, beda makna, tak
sesuai selera penguasa dikatakan tak pernah terjadi bahkan saksi dan bukti pun
bisa tiba-tiba lenyap ditelan bumi. Ikhwal ini semakin nyata dengan campur
tangan politik, bak politik sebagai panglima versi PKI saat itu (dan berganti
rupa) atau bagi oknum dan golongan yang mengedepankan syahwat politik. Libido
berkuasa menjadi acuan utama pergerakan politiknya.
Mulai Rencana A
sampai Rencana Z harus disusun secara paripurna. Di era Orde Baru para
pengerajin anyaman bambu saat kampanye pemilu pernah girang. Ada order buat
tambir/nyiru, tongkat bambu ukuran tertentu, dsb. Tambir digambari lambang
parpol di pasang di tongkat bambu, berjajar di pinggir jalan. Saat itu belum
muncul teknologi sablon. Pemilu berikutnya tukang sablon yang girang. Pernah
terjadi, pedagang kain kehabisan kain warna tertentu. Diborong pihak tertentu
agar tak dipakai lawan politiknya untuk bahan kampanye, entah berbentuk bendera
parpol, spanduk, kaos, dsb. Sebagai pesta demokrasi pemilu memberi keuntungan
finansial atau sentimen ekonomi sesaat terpengaruh. Pertanyaannya, berapa
persen atau permil keuntungan yang bisa dinikmati rakyat kecil semacam tukang
sablon, dsb. Atau sudah suratan nasib bahwa keuntungan finansial selalu tidak
berpihak ke rakyat pemilih atau konstituen. Celakanya lagi, dan ini yang paling
celaka, rakyat secara politis hanya dibutuhkan suaranya saja pada saat
coblosan. Itupun melalui berbagai cara. Mulai dari main politik uang sampai
intimidasi pun dihalalkan.
Versi Pemilu 2004,
dalam kurun waktu 5 (lima) tahun atau 1828 hari, 3 (tiga) hari nasib rakyat
diperhatikan karena akan menentukan nasib mereka 5 tahun ke depan. Ruang gerak
dan edar politisi terfokus antara bui dan kursi. Semenjak perjuangan
praproklamasi telah dikenal adanya partai politik. Sampai kini belum ada parpol
yang melahirkan negarawan. Terlebih tatkala parpol dijadikan kendaraan politik.
Sejarah membuktikan parpol sebagai sarana untuk mengkudeta, 1948 dan 1965 PKI
menusuk dari belakang Ibu Pertiwi. Gerakan atheis maupun antitheis yang dibawa
PKI menjelma menjadi persekutuan antimonotheis, pemurtadan secara sistematis.
Sejarah membuktikan pula dengan asas single mayority di era Orde Baru, Golkar yang
bukan parpol menjadi pabrik menteri, pabrik pangdam, dsb. Kader Golkar
merajalela disegala posisi, kedudukan dan menumbuhsuburkan KKN.
OPOSAN
Tabu untuk beroposisi
(di zaman Bapak Pembangunan) tidak menyiutkan nyali politisi atau pemikir atau
apalah sebutannya. Kalau tak bisa dirangkul, terpaksanya dipukul merupakan ciri
wajah politik Ore Baru. Dampak politis, banyak orang berlidah panjang atau
kebalikannya akan dikucilkan secara sistematis atau minimal masuk stigma anti
Pancasila. Pelpres 2004, oposisi telah berubah makna semisal Koalisi Kebangsaan
yang tepatnya sebagai penjegal dengan mempertaruhkan nasib bangsa dan rakyat
Nusantara.
Oposan di era Orba
hanya mempertaruhkan nasib keluarga. Keluarga bisa kapiran, susah cari kerja,
susah cari makan, susah sekolah, susah berdagang sampai susah mati! Sifat
moderat oposan adalah politik dagang sapi. Terkadang walau platform parpol bisa
mirip tapi tak serupa, dalam prakteknya ternyata sangat tergantung pada
kebijakan uang. Uang bukan tujuan tetapi sangat menentukan peradaban parpol.
OPLOSAN
Semangat Reformasi
menjadikan orang daripada harus antri lebih baik membuat barisan sendiri.
Ratusan parpol muncul bak virus flu burung di musim bencana alam. Pemilu 1999
diikuti 48 parpol artinya kita punya 48 calon presiden! Setelah kebentur oleh
perolehan Pemilu 1999 berbagai parpol merapatkan barisan, menyatu alias fusi.
Hasil oplosan ada yang homogen tetapi kebanyakan menjadi gado-gado tak tentu
wujudnya. Konflik internal menjadi menu wajib dalam tubuh parpol pemenang
Pemilu 1999. Jelang Pemilu 2004 konflik internal menjadi batu sandungan dan
saringan tawar-menawar dalam penentuan nomer jadi calon legislatif.
Oplosan yang lezat,
gurih dan menggemaskan lebih tergantung pada pesanan, bukan tergantung selera.
Daya juang apalagi semangat persaudaraan tak bisa diprediksi, yang bisa diramal
hanyalah pasti akan terjadi pelunturan.
POLOSAN
Banyaknya poltisi
kambuhan yang sudah kehabisan akal dan dana serta telah tampil habis-habisan
tidak kebagian peran secuilpun. Dikejar debt collector, dihantui berbagai rasa
sesal, kesal. Ternyata, bagi mereka yang bisa tampil di panggung politik,
terbebani beban moral, moril, materiil, idiil yang cukup sarat bahkan melebihi
kapasitasnya. Produk parpol hanya kader, dan justru karena lintas kader
menyebabkan sebuah parpol kelihatan berbobot, dinamis dan layak jual. Kader
parpol menjadi kutu loncat yang penting selamat. Motto utamakan keselamatan
diri? merasukan calon politisi. Perhitungan untung rugi secara finansial harus
secermat mungkin. Prinsip ekonomi : dengan modal sedikit untung banyak patut
diterapkan. Kalau bisa menguntungkan harus diambil, kalau merugikan baru ingat
konco dewe. Berjuang secara lurus-lurus saja tak berlaku dan bernilai di
panggung politik.
Berlagak bak anak
polos pun tak akan sampai di pinggir panggung. Bak Betara Kalla, walau
terpanggang di atas panggung, tak akan kenal lelah meraja lela di panggung
politik. Justru jangkauan Betara Kalla tak dimiliki politisi kita pada umumnya.
Habis manggung menjadi pesakitan, bukan hal tabu. Menurut kamus politik,
seorang politikus bisa saja keluara masuk penjara. Risiko politik tidak kenal
pasal pidana. Justru lembaga pemasyarakatan merupakan perguruan tingginya
maling. Semua harus tanpa tedeng aling-aling. Sampai lapis terakhir pun harus
jelas. Yang tak jelas akan tergilas, yang samar-samar akan terkapar. Yang
pandai tapi idak pandai-pandai akan terlibas. Yang jujur secara pasti malah
akan terbujur. Akhirnya, ilmu bunglon atau kemampuan diri untuk menyesuaikan
dengan lingkungan menjadi ilmu dasar yang harus diresapi oleh para calon
politisi.
PLONTOSAN
Berani tampil beda,
berani punya alternatif lain, berani berseberang, berani beda pendapat, berani
melawan arus, berani ....... (lho!, nyaris jadi oposan) perlu simbol utawa
atribut khususnya atribut fisik, selain kevokalan. Berbagai keberanian tadi ada
nilai positifnya yaitu dalam hal membuat terobosan, memangkas prosedur yang
berbelit, yang menyerap energi, biaya dan waktu. Ketika dwifungsi ABRI
dipersoalkan secara politis, menimbulkan wacana berkelanjutan. Secara historis
hubungan emosi tentara dengan rakyat tak bisa dikelabui. Bisnis tentara (dan
polisi) di era Reformasi menjadi transparan dan berkualitas. Mengandalkan APBN
jelas tak mampu mendekati kesejahteraan. Apalagi kalau bukan berupaya mandiri.
KEROPOSAN
Ketika hitungan dan
kalkulasi mathematis membuktikan bahwa balik modal tidak bisa selama 5 (lima)
tahun, maka banyak calon politisi berpikir ulang. Bagi yang sudah terlanjur
kecebur ke oanggung politik berakibat daya juang memang menggebu menguber
setoran, di lain pihak menghasilkan produk dan kinerja yang rawan konflik.
Walhasil, produk politik NKRI usia produktifnya hanya selama lima tahunan.
Setiap lima tahun rakyat terpaksa sport jantung. Arisan politik sedang dan akan
selalu terjadi sebagai aroma bagi hasil dan balas jasa. NKRI tidak hanya
keropos di dasarnya, di pelaku penyelenggara negara yang notabene adalah
politisi atau kader parpol pemenang Pemilu 2004, tetapi juga hampir di sudut
relung kehidupan. Kita rentan benturan, termasuk ketika alam ikut bicara betapa
rentannya kita. Betapa rapuhnya kordinasi anak bangsa ini. Betapa keroposnya
martabat hidup kita. (hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar