sila-sila Pancasila
tergantikan oleh kebijakan partai
Padahal, oplosan yang tepat antara kecerdasan spiritual,
emosional, inteligensi maupun sosial sudah menjadi menu harian oleh yang tak
disadari rakyat. Sebuat saja, #NKRIhargamati. Bukan mufakat berdasarkan
pandangan hidup “dari, oleh, untuk, karena”. Gaya rétorika parlemen jalanan,
satire bebas atas “kemapanan politik”.
Tak dinyana, nusantara sarat faktor peubah spiritualitas, moralitas, dan keadaban
masyarakat. Spirit “right or wrong is my country” (baik atau buruk negaraku) ditelah
mentah-mentah, utuh-utuh langsung dari sumbernya. Pemerintah macam begini, bergaya
serba peka, sensitif terhadap kebebasan warga negaranya.
Ikhwal di atas, dimanfaatkan kawanan loyalis penguasa. Malah
lebih beringas. Mengembangkan asas fasis. Haislnya, merasa berhak mengendus
lawan politik. Sigap libas, tebas, lindas di tempat pihak yang mengotak-atik
atau merongrong wibawa pemilik negara.
Akhirnya walau belum berkahir. Tanpa tahu kapan
kejadiannya. Tahu-tahu masyarakat terjangkit penyakit politik. Anak bangsa
pribumi nusantara, gamang dengan sebutan baik, benar, betul, bagus. Masuk stadium
linglung bin.binti bingung tujuh turunan, tujuh tanjakan, tujuh belokan.
Bahasa globalnya, senang mengalami masa “disorientasi”,
yakni kehilangan arah hidup.
Spirit solidaritas, kesetiakawanan sesama kawanan anggota
partai, terasa hambar, semu, buatan tapi banyak penggemar. Agar tetap eksis,
publikasi diri, pencitraan, pamer bégo menjadi pasal khusus bagi orang-orang
berkebutuhan khusus. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar