Halaman

Jumat, 13 Desember 2019

dilema praktik demokrasi nusantara, wacana presiden vs aspirasi rakyat


dilema praktik demokrasi nusantara, wacana presiden vs aspirasi rakyat

Dari mana datangnya wacana. Dari siapa datangnya wacana. Lebih runyam, pihak yang paling berhak berwacana. Apa ada syarat administrasi dan khususnya butuh ilmu.  Seperti makhluk apa wacana itu. Abaikan. Tak perlu repot buka kamus atau main lacak di internet.

Apalagi cari lawan katanya. Atau aksi yang berseberangan. Telaah berdasarkan asas kebahasaan, tambah salah kaprah. Cangkem siapa pun berhak menggunakan dalam omong-omong ringan tak berisi. Biar kelihatan akademis atau sebagai millik politisi sipil. Bentuk lain dari penggunaan dalil “katanya”.

Apalagi pakai kata pembuka: “maaf, maaf . . . “ sambil pakai bahasa tubuh merendah, tangan mengingatkan. Modus penarik perhatian. Bak ayam jantan tersipu-sipu menghadapi lawan jenis. Sayap mengembang ke kanan, biar dikira mau belok ke kanan. Nyatanya, manuver ke kiri. Sambil berdendang.

Efek domino, efek karambol negara berkembang. Setiap jelang pesta demokrasi, ramai-ramai kursus dem0krasi. Ramai-ramai urus sertifikat lulus dan lolos tidak gagal paham. Politik jalanan digotong ramai-ramai masuk politik negara. Simbol negara – apa saja kawan – tampak wibawa atas bawah dengan logo wacana nusantara.

Aneka pilar pendukung tegaknya negara, sigap dengan suku cadang. Banyak pihak dari kawanan penguasa yang ahli maupun berilmu politik. Bak koruptor dari unsur pegiat, pelaku, petugas partai. Praktik politik langsung pada pasal ‘korupsi secara sistematis’. Belajarnya nanti di penjara atau hotel plus setelah berstatus pesakitan.

Daya cuap, ucap rakyat hanya seklas emak-emak ngrumpi di pinggir jalan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar