dilema praktik demokrasi
nusantara, wacana presiden vs aspirasi rakyat
Dari mana datangnya wacana. Dari siapa datangnya wacana. Lebih
runyam, pihak yang paling berhak berwacana. Apa ada syarat administrasi dan
khususnya butuh ilmu. Seperti makhluk
apa wacana itu. Abaikan. Tak perlu repot buka kamus atau main lacak di internet.
Apalagi cari lawan katanya. Atau aksi yang berseberangan.
Telaah berdasarkan asas kebahasaan, tambah salah kaprah. Cangkem siapa pun
berhak menggunakan dalam omong-omong ringan tak berisi. Biar kelihatan akademis
atau sebagai millik politisi sipil. Bentuk lain dari penggunaan dalil “katanya”.
Apalagi pakai kata pembuka: “maaf, maaf . . . “ sambil
pakai bahasa tubuh merendah, tangan mengingatkan. Modus penarik perhatian. Bak ayam
jantan tersipu-sipu menghadapi lawan jenis. Sayap mengembang ke kanan, biar
dikira mau belok ke kanan. Nyatanya, manuver ke kiri. Sambil berdendang.
Efek domino, efek karambol negara berkembang. Setiap jelang
pesta demokrasi, ramai-ramai kursus dem0krasi. Ramai-ramai urus sertifikat
lulus dan lolos tidak gagal paham. Politik jalanan digotong ramai-ramai masuk
politik negara. Simbol negara – apa saja kawan – tampak wibawa atas bawah
dengan logo wacana nusantara.
Aneka pilar pendukung tegaknya negara, sigap dengan suku
cadang. Banyak pihak dari kawanan penguasa yang ahli maupun berilmu politik. Bak
koruptor dari unsur pegiat, pelaku, petugas partai. Praktik politik langsung
pada pasal ‘korupsi secara sistematis’. Belajarnya nanti di penjara atau hotel
plus setelah berstatus pesakitan.
Daya cuap, ucap rakyat hanya seklas emak-emak ngrumpi di
pinggir jalan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar