7 turunan vs 7 tanjakan
Mengapa pakai angka ‘7’. Mengapa tidak
ditulis ‘tujuh’. Masalah kaidah berbahasa sekaligus ikhwal tersirat pada angka.
Makna angka sesuai kamus plus fakta kemisterian dan kemisteriusannya. Apalagi masuk
ragam mistis. Sebagai urutan, menunjukkan
jumlah, banyak yang terbilang, dsb.
‘7’ secara empiris atau pakai lacak
balik mengapa pembagian waktu atau sistem kalender, terdapat sebutan waktu satu
minggu untuk himpunan 7 hari. Hari kerja
mulai ‘senin’ atau sebutan lainnya. Secara
matematis, bilangan 7 tergantung.
Pusing 7 keliling. Pertanyaan,
keliling atau berputar ke arah kanan atau ke arah kiri. Atau merasa dunia di
sekitarnya berputar. Atau merasa dirinya berputar, padahal secara fisik tampak
diam-diam saja.
Bangsa sejahtera menghadirkan rakyat
sejahtera atau sebaliknya, akumulasi rakyat sejahtera. Orang kaya, bisa disebut
superkaya, miliarder, miliuner. Saking kayanya, sampai ybs tak tahu seberapa kekayaannya.
Hitungan jam, kekayaannya bisa bertambah.
Daripada memanjangkan kebingungan. Simak
urutan nama silsilah keturunan dan atau leluhur keluarga di suku bangsa Jawa
sampai ke-18. Ambil sesuai judul yaitu keturunan ke bawah:
Keturunan ke-1. Anak
Keturunan ke-2. Putu, dalam bahasa Indonesia disebut
“cucu”
Keturunan ke-3. Buyut, dalam bahasa Indonesia disebut
“cicit”
Keturunan ke-4. Canggah
Keturunan ke-5. Wareng
Keturunan ke-6. Udhek-Udhek
Keturunan ke-7. Gantung Siwur
Tanjakan bukan berarti leluhur atau
urutan ke atas. Bukan rambu-rambu lalu lintas. Masih ada ‘tikungan’, ‘belokan’.
Silisilah leluhur ke atas:
Moyang ke-7. Mbah Gantung Siwur
Moyang ke-6. Mbah Udheg-udheg
Moyang ke-5. Mbah Wareng
Moyang ke-4. Mbah Canggah
Moyang ke-3. Mbah Buyut
Moyang ke-2. Simbah, dalam bahasa Indonesia disebut Eyang
Moyang ke-1. Bapak / Simbok
Jadi. Memang sebutan bahasa Jawa ‘pitu’
untuk membaca angka ‘7’. Bisa-bisa pemirsa bisa ‘pusing bin pening 7 keliling’.
[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar