Halaman

Sabtu, 07 Desember 2019

7 turunan vs 7 tanjakan


7 turunan vs 7 tanjakan

Mengapa pakai angka ‘7’. Mengapa tidak ditulis ‘tujuh’. Masalah kaidah berbahasa sekaligus ikhwal tersirat pada angka. Makna angka sesuai kamus plus fakta kemisterian dan kemisteriusannya. Apalagi masuk ragam mistis. Sebagai urutan,  menunjukkan jumlah, banyak yang terbilang, dsb.

‘7’ secara empiris atau pakai lacak balik mengapa pembagian waktu atau sistem kalender, terdapat sebutan waktu satu minggu untuk himpunan 7 hari.  Hari kerja mulai ‘senin’ atau sebutan lainnya.  Secara matematis, bilangan 7 tergantung.

Pusing 7 keliling. Pertanyaan, keliling atau berputar ke arah kanan atau ke arah kiri. Atau merasa dunia di sekitarnya berputar. Atau merasa dirinya berputar, padahal secara fisik tampak diam-diam saja.

Bangsa sejahtera menghadirkan rakyat sejahtera atau sebaliknya, akumulasi rakyat sejahtera. Orang kaya, bisa disebut superkaya, miliarder, miliuner. Saking kayanya, sampai ybs tak tahu seberapa kekayaannya. Hitungan jam, kekayaannya bisa bertambah.

Daripada memanjangkan kebingungan. Simak urutan nama silsilah keturunan dan atau leluhur keluarga di suku bangsa Jawa sampai ke-18. Ambil sesuai judul yaitu keturunan ke bawah:
Keturunan ke-1. Anak
Keturunan ke-2. Putu, dalam bahasa Indonesia disebut “cucu”
Keturunan ke-3. Buyut, dalam bahasa Indonesia disebut “cicit”
Keturunan ke-4. Canggah
Keturunan ke-5. Wareng
Keturunan ke-6. Udhek-Udhek
Keturunan ke-7. Gantung Siwur

Tanjakan bukan berarti leluhur atau urutan ke atas. Bukan rambu-rambu lalu lintas. Masih ada ‘tikungan’, ‘belokan’.

Silisilah leluhur ke atas:
Moyang ke-7. Mbah Gantung Siwur
Moyang ke-6. Mbah Udheg-udheg
Moyang ke-5. Mbah Wareng
Moyang ke-4. Mbah Canggah
Moyang ke-3. Mbah Buyut
Moyang ke-2. Simbah, dalam bahasa Indonesia disebut Eyang
Moyang ke-1. Bapak / Simbok

Jadi. Memang sebutan bahasa Jawa ‘pitu’ untuk membaca angka ‘7’. Bisa-bisa pemirsa bisa ‘pusing bin pening 7 keliling’. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar