Halaman

Selasa, 24 Desember 2019

#sigapMINUS24jam pribumi nusantara sebagai Homo Ludens


#sigapMINUS24jam pribumi nusantara sebagai Homo Ludens

Bermula dari plesetan pariwara: “untuk anak kok main-main”. Agar anak mendadak gedhé perlu asupan gizi di atas rata-rata takaran nasional. Anak bersegera mampu menapak tilas jejak leluhur.

Kilas balik ke satu ungkapan menarik dari Johan Huizinga mengenai manusia sebagai “homo ludens”. Homo ludens berarti, “manusia sebagai makhluk yang suka bermain-main”. Ujar Huizinga, bahwa segala tindakan manusia terstruktur pada pola aktivitas “permainan”.

Jelasnya manusia politik nusantara gemar “permainan”. Adalah presiden 2014-2019 sekedar sebagai petugas partai. Artinya sedang menjalankan “permainan politik”.  Aturan main, asal sendiko dawuh, dijamin aman. Dapat menjalankan dirinya sebagai pemain sampai babak akhir. Tidak pakai pasal PAW.

Muncul ungkapan sealiran, senada “seni mengantisipasi permainan yang akan datang dengan mengekstrapolasikannya dari kondisi saat ini (Bourdieu, 1991).

Cerita lama, banyak pihak memang memilih bermain aman, bahkan bersebutan sebagai “safety player” yang perilakunya “nakal-nakal dikit, nurut-nurut dikit”. Di pihak lain, tak kurang yang pemikiran atau gaya bermain “kelompok tradisional”.

Modal aneka topeng. Modal hafalan yang acap “terlalu basi” sehingga perlu daya dorong pantat vs tarik ekor. Agar melek politik di alam terbuka penuh saling silang. Di zaman babak bundas reformasi, sigap main kuasa, main kuat, main kaya.

Poltik tanpa ideologi – menang modal dan biaya politik –  seolah tampak seperti bermain sendiri, single fighter. Padahal, pihak lawan pakai semboyan “sing waras ngalah”. Tak perlu ikut tabuhan lawan. Cuma kuras emosi dan hamburkan energi.

Bagaimana berpolitik atau main politik dengan B4 (benar, betul, baik, bagus) berbasis materi politik lokal. Apesnya masih “bermain dengan cara orang lain”, katimbang “dipermainkan” pihak asing. Moderatnya, “mau tidak mau mengadopsi banyak pengalaman dari komunitas lain”.

Heran nian. “gaya bermain” kawanan loyalis penguasa, sudah berolok-olok politik, merasa ulung, unggul, utama. Layak dapat imbalan kursi. Merasa aman, nyaman, tentram di “ruang bermain” milik negara. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar