Halaman

Senin, 27 Januari 2020

kalkulasi politik Islam nusantara, merasa punya taji nyali vs anjagakake endoge si blorok


kalkulasi politik Islam nusantara, merasa punya taji nyali vs anjagakake endoge si blorok

Tentu ada periwayatan sederhana hingga muncul judul. Tidak pakai proses edukasi atau kajian akademis. Tidak perlu digodog liwat acara macam Indonesia Lawak Koretan. Semua berjalan sesuai air mengalir dan udara menguap. Menghindari gesekan pelebar luka lama. Cari pasal pelipur lara.

Sebutan si Blorok, ternyata mengandung dua batasan.

Pertama, lema ‘blorok’ ataupun ‘blirik’. Jauh hakikat dengan lema ‘blarak’. Berlaku pada ayam betina, babon, induk. Ayam masuk ras kampung. Hidup bebas mandiri di kebun. Tak perlu asupan pakan impor. Tak pakai program penggemukan maupun ayam petelur. Pergaulan bebas bisa menelurkan telur tetas. Atau sebaliknya. Kapan dan di mana bertelur, sudah tanpa kotekan. ‘sing ngendog petok-petok’ tak berlaku.

Kedua yang mungkin ada alternatif lain yang belum pernah terungkap. Ingat lagu ‘ayam hitam telurnya putih . . .”. BPS belum pernah merilis data ‘ayam putih telurnya hitam . . . ‘. Atau ada pihak yakin berkat rekayasa genetik akan ada telur blorok. Tidak berwarna polos, tidak monoton satu warna standar. Jangan-jangan akan ada warna kulit telur sesuai warna bulu ayam pejantan. Sebagai bukti.

Bukan kesimpulan, hanya sekedar mengingat bahwa ayam. Bukan jago kandang, bukan ayam sayur atau sebutan berayam-ayam lainnya. Juga tidak digadang menjadi ayam petarung. Nilai jual pada kokok yang mengingatkan sesuatu. Kaki bertanduk bukan monopoli jago. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar