Halaman

Rabu, 22 Januari 2020

Jakarta, dari kampung besar menjadi sarang bandar


Jakarta, dari kampung besar menjadi sarang bandar

Ketika Jakarta memasuki tahap keterbukaan dengan lokalisasi prostitusi, perjudian, minuman keras serta komponen maksiat lainnya. Asas M-lima atau ‘mo-limo’ peninggalan penjajah Belanda. Menjadi simbol gaya hidup, gengsi, gen unggul pribumi tulen.

Sejarah berikutnya. “Siapa suruh datang ke Jakarta . . . “ menjadi bukti tersendiri akan nilai jual. Sampai akhirnya batas kapasitas daya tampung, daya dukung lingkungan masuk zona merah kuadrat.

Awalnya masih anak manis, anak mama. Patuh, taat, loyal aturan main “dapat ikannya, jangan keruhkan airnya”. Kurang lebihnya. Jakarta memang berdaya tarik global. Daerah tujuan bandar atau perpanjangan tangan, kaki tangan yang melihat potensi pasar nusantara. Manfaat terselubung, menjadi ajang promosi aparat keamanan.

Sigap praktik 24 jam. Status DKI menjadi daya tarik pemain lokal. secara berjenjang adu nasib tanpa kendaraan politik. Salah besar. Meniru strategi penguasa tunggal Orde Baru. Tak perlu repot-repot menghamba jadi kader partai, mulai dari nol, start dari bawah. Abaikan pola SBY dengan partai demokrat.

Daya penyesuaian diri, peleburan dan pembauran, melahirkan asas “keruhkan suasana, tampilkan diri dengan gemilang”. Warna merah membara mampu melahirkan sosok penista agama. Lanjut dengan olok-olok politik. Antar generasi sudah saling libas. Antar satu pilihan pakai jurus rebut kursi, lunas belakangan.

Proyek ambisius manusia politik kian membara, mengangkara. Angka sial 13 sungai tak berdaya antisipasi Jakarta kota air. Akhirnya punya dalil cari IKN sambungan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar