Jakarta, dari kampung
besar menjadi sarang bandar
Ketika Jakarta memasuki tahap keterbukaan dengan lokalisasi prostitusi,
perjudian, minuman keras serta komponen maksiat lainnya. Asas M-lima atau ‘mo-limo’
peninggalan penjajah Belanda. Menjadi simbol gaya hidup, gengsi, gen unggul
pribumi tulen.
Sejarah berikutnya. “Siapa suruh datang ke Jakarta . . . “ menjadi bukti
tersendiri akan nilai jual. Sampai akhirnya batas kapasitas daya tampung, daya
dukung lingkungan masuk zona merah kuadrat.
Awalnya masih anak manis, anak mama. Patuh, taat, loyal aturan main “dapat
ikannya, jangan keruhkan airnya”. Kurang lebihnya. Jakarta memang berdaya tarik
global. Daerah tujuan bandar atau perpanjangan tangan, kaki tangan yang melihat
potensi pasar nusantara. Manfaat terselubung, menjadi ajang promosi aparat
keamanan.
Sigap praktik 24 jam. Status DKI menjadi daya tarik pemain lokal. secara
berjenjang adu nasib tanpa kendaraan politik. Salah besar. Meniru strategi
penguasa tunggal Orde Baru. Tak perlu repot-repot menghamba jadi kader partai,
mulai dari nol, start dari bawah. Abaikan pola SBY dengan partai demokrat.
Daya penyesuaian diri, peleburan dan pembauran, melahirkan asas “keruhkan
suasana, tampilkan diri dengan gemilang”. Warna merah membara mampu melahirkan
sosok penista agama. Lanjut dengan olok-olok politik. Antar generasi sudah
saling libas. Antar satu pilihan pakai jurus rebut kursi, lunas belakangan.
Proyek ambisius manusia
politik kian membara, mengangkara. Angka sial 13 sungai tak berdaya antisipasi
Jakarta kota air. Akhirnya punya dalil cari IKN sambungan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar