Titik retak bangsa, tipikor vs GERADor
Rakyat mungkin sudah atau semakin
muak, jenuh dan bosan mendengar atau
menyaksikan oknum pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) menjadi tamu istimewa
di layar kaca. Sebagai penyandang warga binaan mendapat perlakuan istimewa di
lembaga pemasyarakatan. Tidak hanya pelaku tipikor, para terpidana kasus
narkoba, menjadi sumber penghasilan petugas lapas.
Populasi pelaku tipikor yang tumbuh
merata di Nusantara atau mengantisipasi calon tipikor dengan maraknya dan
kiprah kurir parpol di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maka KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) digadang secara yuridis mampu menghadang laju dan tumbuh
kembangnya tipikor.
Indonesia boleh bangga, mungkin
menjadi satu-satunya negara terjadi konflik Cicak vs Buaya. Bayangkan, aparat
keamanan merasa risih dengan adanya KPK. Bukannya menempatkan diri secara
sinerjis dalam ranah penegakan hukum.
Bincang ranah dan dimensi
penegakan hukum, akan bermakna jika kita mengenal apa itu ‘gerador’? Ternyata
hanya sekedar singkatan dari Gerakan Radikal
Teroris. Kita
buka dan simak “CEGAH PERKEMBANGAN RADIKALISME DENGAN
DERADIKALISASI”, paparan Direktur Deradikalisasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Prof. Dr. Irfan Idris, MA,
Jogjakarta, 11 Juni 2014. Kita mulai dari subjudul “Jalan
Memupus Radikalisme”, Faktor-faktor pendorong berkembangnya radikal bernuansa
agama di Indonesia :
§
Pertama :
Lemahnya penegakan hukum mencapai 28,0%;
§
Kedua :
Rendahnya tingkat pendidikan dan lapangan
kerja mencapai 25,2 %;
§
Ketiga :
Lemahnya pemahaman ideologi Pancasila mencapai 4,6%;
§
Keempat :
Kurangnya dialog antarumat beragama mencapai 13,9%;
§
Kelima :
Kurangnya pemahaman agama mencapai 4,9%;
§
Keenam :
Ketidakpuasan terhadap pemerintah mencapai 2,3%;
§
Ketujuh :
Kesenjangan ekonomi mencapai 1,6%;
§
Kedelapan :
Lainnya mencapai 3,1%;
§
Kesembilan :
Tidak tahu/tidak jawab mencapai 6,4%.
Jangan disimpulkan bahwa lemahnya penegakan hukum menjadi faktor pendorong nomer satu (28,0%) berkembangnya radikal
bernuansa agama di Indonesia !!!
Lanjut simak isi paparan
disebutkan :
§
Program deradikalisasi pada
dasarnya berangkat dari asumsi bahwa terorisme berawal dari radikalisme. Oleh
karena itu, upaya memerangi terorisme lebih efektif melalui deradikalisasi.
§
Esensi deradikalisasi adalah
mengubah pemahaman atau pola pikir yang sempit, dangkal, terbatas dan kaku.
Agar
tidak terpaku hanya karena mengacu pada satu sumber, maka penulis mengajak
pembaca membuka sekaligus menyimak tulisan Stanislaus Riyanta dengan judul “Potensi Terorisme di Indonesia” di laman
KajianIntelijen.Wordpress.com, November 16, 2014, disebutkan
:
Indonesia adalah salah satu negara yang pernah dan masih menjadi ancaman
aksi teroris. Dengan fakta kemajemukan religi dan budaya, kondisi
geografis kepulauan, dan sistem pemerintahan yang ada sekarang, sebenarnya
bangsa Indonesia berada dalam ancaman-ancaman terorisme yang luar biasa.
Sebelum memahami potensi-potensi teror di Indonesia, maka perlu ada
pembagian latar belakang terorisme yang terjadi di Indonesia.
Pertama adalah terorisme yang dilatarbelakangi oleh motifasi politik. Gerakan
seperatisme di berbagai daerah yang terjadi selama ini adalah salah satu
terorisme politis. Mereka melakukan aksi teror dan perlawanan kepada pemerintah
dengan tujuan memperoleh kemerdekaan dan lepas dari NKRI. Teror-teror politis
dalam skala lebih kecil terjadi ketika Pemilu, kampanya secara tidak sehat
sebenarnya adalah bagian dari terorisme politis.
Kedua adalah terorisme ideologis. Teror ini dilakukan secara terbatas oleh kaum
dengan padangan ideologis tertentu. Cara-cara radikal mereka dengan bom bunuh
diri yang menimbulkan korban baik jiwa maupun materi yang sangat besar adalah
bentuk terorisme dengan tujuan untuk memaksakan ideologi yang mereka anut.
Indonesia memiliki potensi terorisme yang sangat besar dan perlu langkah
antisipasi yang ekstra cermat. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang kadang tidak
dipahami oleh orang tertentu cukup dijadikan alasan untuk melakukan teror.
Lanjut dengan membaca “menimbang” di Perpres 46/2010 tentang BNPT yaitu:
a.
bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan yang bersifat lintas negara, terorganisasi dan mempunyai jaringan
luas, sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional,
oleh karena itu memerlukan penanganan secara terpusat, terpadu dan
terkoordinasi;
b.
bahwa terorisme merupakan ancaman nyata dan
serius dan setiap saat dapat membahayakan keamanan bangsa dan negara;
Kembali ke paparan di atas, khususnya pada ‘penegakan hukum’,
ternyata ada kelanjutannya yaitu ada beberapa hal yang disampaikan DPR kepada
BNPT pada saat RDP Komisi III DPR RI dengan BNPT, Kamis, 29 Januari 2015,
antara lain : “Bagaimana
penegakan hukum terkait dengan pemberantasan terorisme, serta mengoptimalkan
sumber daya yang ada dalam pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi.”
Hubungan
dengan judul tulisan ini, khususnya pada Gerador, Komisi III DPR juga menyoal
melalui : “Ketika BNPT terus melakukan program deradikalisasi, semakin
bermunculan pelaku terorisme yang berani menunjukan eksistensinya. Apakah
sistem keamanan Indonesia kurang dapat menanggulangi hal tersebut.”
Jadi,
siapa yang punya andil, saham maupun peran dominan di titik retak bangsa.
Apakah karena tipikor hanya sebagai produk nasional, lokal serta dalam balutan
kasus merugikan negara? Apakah karena gerador sebagai produk internasional
(baca : Indonesia tidak memiliki nilai tawar)? [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar