Halaman

Minggu, 12 April 2015

titik retak bangsa, tipikor vs gerador

Titik retak bangsa, tipikor vs GERADor


Rakyat mungkin sudah atau semakin muak,  jenuh dan bosan mendengar atau menyaksikan oknum pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) menjadi tamu istimewa di layar kaca. Sebagai penyandang warga binaan mendapat perlakuan istimewa di lembaga pemasyarakatan. Tidak hanya pelaku tipikor, para terpidana kasus narkoba, menjadi sumber penghasilan petugas lapas.

Populasi pelaku tipikor yang tumbuh merata di Nusantara atau mengantisipasi calon tipikor dengan maraknya dan kiprah kurir parpol di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maka KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) digadang secara yuridis mampu menghadang laju dan tumbuh kembangnya tipikor.

Indonesia boleh bangga, mungkin menjadi satu-satunya negara terjadi konflik Cicak vs Buaya. Bayangkan, aparat keamanan merasa risih dengan adanya KPK. Bukannya menempatkan diri secara sinerjis dalam ranah penegakan hukum.

Bincang ranah dan dimensi penegakan hukum, akan bermakna jika kita mengenal apa itu ‘gerador’? Ternyata hanya sekedar singkatan dari Gerakan Radikal Teroris. Kita buka dan simak “CEGAH PERKEMBANGAN RADIKALISME DENGAN DERADIKALISASI”, paparan Direktur Deradikalisasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Prof. Dr. Irfan Idris, MA, Jogjakarta, 11 Juni 2014. Kita mulai dari subjudul “Jalan Memupus Radikalisme”, Faktor-faktor pendorong berkembangnya radikal bernuansa agama di Indonesia :
 §   Pertama : Lemahnya penegakan hukum mencapai 28,0%;
 §   Kedua : Rendahnya tingkat pendidikan dan  lapangan kerja mencapai 25,2 %;
 §   Ketiga : Lemahnya pemahaman ideologi Pancasila mencapai 4,6%;
 §   Keempat : Kurangnya dialog antarumat beragama mencapai 13,9%;
 §   Kelima : Kurangnya pemahaman agama mencapai 4,9%;
 §   Keenam : Ketidakpuasan terhadap pemerintah mencapai 2,3%;
 §   Ketujuh : Kesenjangan ekonomi mencapai 1,6%;
 §   Kedelapan : Lainnya mencapai 3,1%;
 §   Kesembilan : Tidak tahu/tidak jawab mencapai 6,4%.

Jangan disimpulkan bahwa lemahnya penegakan hukum menjadi faktor pendorong nomer satu (28,0%) berkembangnya radikal bernuansa agama di Indonesia !!!

Lanjut simak isi paparan disebutkan :
 §   Program deradikalisasi pada dasarnya berangkat dari asumsi bahwa terorisme berawal dari radikalisme. Oleh karena itu, upaya memerangi terorisme lebih efektif melalui deradikalisasi.
 §   Esensi deradikalisasi adalah mengubah pemahaman atau pola pikir yang sempit, dangkal, terbatas dan kaku.

Agar tidak terpaku hanya karena mengacu pada satu sumber, maka penulis mengajak pembaca membuka sekaligus menyimak tulisan Stanislaus Riyanta dengan judul “Potensi Terorisme di Indonesia” di laman KajianIntelijen.Wordpress.com, November 16, 2014, disebutkan :

Indonesia adalah salah satu negara yang pernah dan masih menjadi ancaman aksi teroris.  Dengan fakta kemajemukan religi dan budaya, kondisi geografis kepulauan, dan sistem pemerintahan yang ada sekarang, sebenarnya bangsa Indonesia berada dalam ancaman-ancaman terorisme yang luar biasa.

Sebelum memahami potensi-potensi teror di Indonesia, maka perlu ada pembagian latar belakang terorisme yang terjadi di Indonesia.

Pertama adalah terorisme yang dilatarbelakangi oleh motifasi politik. Gerakan seperatisme di berbagai daerah yang terjadi selama ini adalah salah satu terorisme politis. Mereka melakukan aksi teror dan perlawanan kepada pemerintah dengan tujuan memperoleh kemerdekaan dan lepas dari NKRI. Teror-teror politis dalam skala lebih kecil terjadi ketika Pemilu, kampanya secara tidak sehat sebenarnya adalah bagian dari terorisme politis.

Kedua adalah terorisme ideologis. Teror ini dilakukan secara terbatas oleh kaum dengan padangan ideologis tertentu. Cara-cara radikal mereka dengan bom bunuh diri yang menimbulkan korban baik jiwa maupun materi yang sangat besar adalah bentuk terorisme dengan tujuan untuk memaksakan ideologi yang mereka anut.

Indonesia memiliki potensi terorisme yang sangat besar dan perlu langkah antisipasi yang ekstra cermat. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang kadang tidak dipahami oleh orang tertentu cukup dijadikan alasan untuk melakukan teror.

Lanjut dengan membaca “menimbang” di Perpres 46/2010 tentang BNPT yaitu:
a.     bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang bersifat lintas negara, terorganisasi dan mempunyai jaringan luas, sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional, oleh karena itu memerlukan penanganan secara terpusat, terpadu dan terkoordinasi;
b.     bahwa terorisme merupakan ancaman nyata dan serius dan setiap saat dapat membahayakan keamanan bangsa dan negara;

Kembali ke paparan di atas, khususnya pada ‘penegakan hukum’, ternyata ada kelanjutannya yaitu ada beberapa hal yang disampaikan DPR kepada BNPT pada saat RDP Komisi III DPR RI dengan BNPT, Kamis, 29 Januari 2015, antara lain : “Bagaimana penegakan hukum terkait dengan pemberantasan terorisme, serta mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi.”

Hubungan dengan judul tulisan ini, khususnya pada Gerador, Komisi III DPR juga menyoal melalui : “Ketika BNPT terus melakukan program deradikalisasi, semakin bermunculan pelaku terorisme yang berani menunjukan eksistensinya. Apakah sistem keamanan Indonesia kurang dapat menanggulangi hal tersebut.”

Jadi, siapa yang punya andil, saham maupun peran dominan di titik retak bangsa. Apakah karena tipikor hanya sebagai produk nasional, lokal serta dalam balutan kasus merugikan negara? Apakah karena gerador sebagai produk internasional (baca : Indonesia tidak memiliki nilai tawar)? [HaeN].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar