Semester pertama Jokowi-JK,
niat politik vs pro rakyat
Rakyat atau yang mempunyai
hak pilih pada pesta demokrasi lima tahun sekali, seolah hanya menggunakan hak
pilih sebagai kewajiban dengan asas : 5
(lima) menit untuk 5 (lima) tahun. Di pihak lain, ternyata oknum atau para
petualang politik memanfaatkan momentum pesta demokrasi dengan asas : 5 (lima)
tahun untuk 5 (lima) menit. Bandar politik sudah menghitung untung rugi politik
transaksional. Aroma irama politik lebih diutamakan daripada peningkatan harkat
dan martabat rakyat.
Kondisi kontradiktif ini
menjadikan kinerja semester pertama periode 2014-2019 didominasi nafsu, syahwat
dan dendam politik. Pemain lama, pemain klas cuci gudang, pemain apkiran yang
sejak pesta demokrasi 2004 hanya duduk manis di bangku cadangan, serta muka
baru dengan modus operandi lama, tampil dan menyemarakkan tanpa ukur baju atau
mawas diri. Pembagian kursi sesuai asas politik balas jasa sekaligus politik
balas dendam menjadi agenda utama Jokowi-JK. Pembisik presiden sudah pensiun
masuk kotak, yang laku adalah dalang politik. Tepatnya, yang didengar adalah “bisikan”
dari bandar politik, yang diartikan sebagai instruksi atau sabda sang ratu. Agar
Jokowi dalam berkaraoke politik tetap fokus mengkuti lirik di layar politik
sebagai pakem baku dan wajib. Jangan berimprovisasi atau terlebih jangan jalan
sendiri.
Rakyat hanya jadi obyek
kebijakan pemerintah, menjadi ajang uji coba atau tabung reaksi perseteruan
internal pejabat negara. Emosi dan harapan rakyat mudah dipatahkan, dibelokkan
atau dialihkan dengan rekayasa isu atau aksi heroik dan patriotik pemerintah. Bongkar
pasang penggunaan dana pembangunan bertujuan me-ninabobo-kan penduduk, seolah
nasib berbagai elemen rakyat diperhatikan. Kesibukan skala internasional
sebagai bukti eksistensi NKRI di masa lampau. Politik pencitraan dengan modus
operandi blusukan untuk membuktikan dengar pendapat suara rakyat.
Rakyat di depan hidung saja
tega dijadikan obyek, apalagi rakyat yang sedang menghamba, menjadi budak di
negera orang. Hujan emas di negeri tetangga lebih baik daripada hujan batu akik di negeri
sendiri. atau, rumput tetangga nampak lebih hijau, ranum dan merangsang selera.
Semboyan TKI. Walhasil, pahlawan devisa dengan sebutan kacung, jongos, babu,
batur atau kata bijaknya adalah abdi. Apesnya, kalau kepala negara hanya
sebagai kurir partai, jangan salahkan kalau peminat jadi TKI membludak.
Wakil rakyat di daerah
terlebih di pusat, nyaris tak berfungsi. Pemilihan kepala daerah (pilkada)
serentak pada 9 Desember 2015 di 9 provinsi dan 260 kabupaten/kota, semakin
memecah fokus dan konsentrasi kawanan parpolis yang sedang mengatur negara
maupun mengurusi daerah. Artinya, pola tanam dan pola panen secara serentak
telah diberlakukan dan diterapkan di lahan basah, sebagai rangkaian ritual
perkuatan ketahanan politik nasional. Pilkada serentak tahun 2015 tidak bisa
memberi gambaran bagaimana wajah politik nasional nantinya. Sebagai bagian dari
agenda besar pesta demokrasi, pilkada serentak menjadi banci.
Wilayah lahan pertanian
utama tidak diberlakukan, karena bukan kompetisi dari bawah untuk mencari bibit
unggul. Peta politik maupun khususnya pemetaan yang diusung partai politik
tidak menggambarkan adanya potensi bibit lokal. Sistem politik Nusantara hanya
satu pakem, yaitu bibit ungul lokal harus mendapat restu atau diusung dari
pimpinan pusat. Mengacu pola dan gaya politik pembangunan zaman Orde Baru
dengan asas top-down, pembagian dari atas. Jargon ‘atas petunjuk bapak
presiden’ menjadi lagu wajib.
Partai Golkar dan PPP yang
sedang dibelit kemelut internal, jelas akan menguntungkan atau membawa angin
surga bagi petualang politik. Atau sebaliknya, mengkaplingan Nusantara sebagai
ekses dan dampak nyata politik transaksional pada pesta demokrasi 2014. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar