Halaman

Senin, 20 April 2015

semester pertama Jokowi-JK, niat politik vs pro rakyat

Semester pertama Jokowi-JK, niat politik vs pro rakyat

Rakyat atau yang mempunyai hak pilih pada pesta demokrasi lima tahun sekali, seolah hanya menggunakan hak pilih sebagai kewajiban dengan asas :  5 (lima) menit untuk 5 (lima) tahun. Di pihak lain, ternyata oknum atau para petualang politik memanfaatkan momentum pesta demokrasi dengan asas : 5 (lima) tahun untuk 5 (lima) menit. Bandar politik sudah menghitung untung rugi politik transaksional. Aroma irama politik lebih diutamakan daripada peningkatan harkat dan martabat rakyat.

Kondisi kontradiktif ini menjadikan kinerja semester pertama periode 2014-2019 didominasi nafsu, syahwat dan dendam politik. Pemain lama, pemain klas cuci gudang, pemain apkiran yang sejak pesta demokrasi 2004 hanya duduk manis di bangku cadangan, serta muka baru dengan modus operandi lama, tampil dan menyemarakkan tanpa ukur baju atau mawas diri. Pembagian kursi sesuai asas politik balas jasa sekaligus politik balas dendam menjadi agenda utama Jokowi-JK. Pembisik presiden sudah pensiun masuk kotak, yang laku adalah dalang politik. Tepatnya, yang didengar adalah “bisikan” dari bandar politik, yang diartikan sebagai instruksi atau sabda sang ratu. Agar Jokowi dalam berkaraoke politik tetap fokus mengkuti lirik di layar politik sebagai pakem baku dan wajib. Jangan berimprovisasi atau terlebih jangan jalan sendiri.

Rakyat hanya jadi obyek kebijakan pemerintah, menjadi ajang uji coba atau tabung reaksi perseteruan internal pejabat negara. Emosi dan harapan rakyat mudah dipatahkan, dibelokkan atau dialihkan dengan rekayasa isu atau aksi heroik dan patriotik pemerintah. Bongkar pasang penggunaan dana pembangunan bertujuan me-ninabobo-kan penduduk, seolah nasib berbagai elemen rakyat diperhatikan. Kesibukan skala internasional sebagai bukti eksistensi NKRI di masa lampau. Politik pencitraan dengan modus operandi blusukan untuk membuktikan dengar pendapat suara rakyat.

Rakyat di depan hidung saja tega dijadikan obyek, apalagi rakyat yang sedang menghamba, menjadi budak di negera orang. Hujan emas di negeri tetangga lebih baik daripada hujan batu akik di negeri sendiri. atau, rumput tetangga nampak lebih hijau, ranum dan merangsang selera. Semboyan TKI. Walhasil, pahlawan devisa dengan sebutan kacung, jongos, babu, batur atau kata bijaknya adalah abdi. Apesnya, kalau kepala negara hanya sebagai kurir partai, jangan salahkan kalau peminat jadi TKI membludak.

Wakil rakyat di daerah terlebih di pusat, nyaris tak berfungsi. Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember 2015 di 9 provinsi dan 260 kabupaten/kota, semakin memecah fokus dan konsentrasi kawanan parpolis yang sedang mengatur negara maupun mengurusi daerah. Artinya, pola tanam dan pola panen secara serentak telah diberlakukan dan diterapkan di lahan basah, sebagai rangkaian ritual perkuatan ketahanan politik nasional. Pilkada serentak tahun 2015 tidak bisa memberi gambaran bagaimana wajah politik nasional nantinya. Sebagai bagian dari agenda besar pesta demokrasi, pilkada serentak menjadi banci.

Wilayah lahan pertanian utama tidak diberlakukan, karena bukan kompetisi dari bawah untuk mencari bibit unggul. Peta politik maupun khususnya pemetaan yang diusung partai politik tidak menggambarkan adanya potensi bibit lokal. Sistem politik Nusantara hanya satu pakem, yaitu bibit ungul lokal harus mendapat restu atau diusung dari pimpinan pusat. Mengacu pola dan gaya politik pembangunan zaman Orde Baru dengan asas top-down, pembagian dari atas. Jargon ‘atas petunjuk bapak presiden’ menjadi lagu wajib.


Partai Golkar dan PPP yang sedang dibelit kemelut internal, jelas akan menguntungkan atau membawa angin surga bagi petualang politik. Atau sebaliknya, mengkaplingan Nusantara sebagai ekses dan dampak nyata politik transaksional pada pesta demokrasi 2014. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar