Halaman

Selasa, 28 April 2015

dikotomi pendidikan nasional, di awal dan akhir tahun ajaran

DIKOTOMI PENDIDIKAN NASIONAL, DI AWAL DAN AKHIR TAHUN AJARAN


Industri pendidikan nasional, dari hulu ke hilir, seolah tak ada benang merahnya. Riwayatnya masih di koridor aman-aman saja. Sertifikasi guru, guru sebagai jabatan fungsional, guru harus S1 sebagai problematika di hulu. Gedung sekolah ambruk dimakan usia, atau kualitasnya dimakan pemborong, berakibat makan korban anak didik. Antar murid saling tawur, murid kesurupan, murid direkam adegan mesum, murid keliaran di tempat umum di jam pelajaran menjadi berita rutin. Anggaran pendidikan berkisar 20%an dari APBN selalu diperdebatkan oleh para ahlinya. Memasuki tahun ajaran baru acap menimbulkan masalah lama dalam kemasan baru dan klasik (merupakan fungsi Rp). Menghadapi ujian akhir nasional, muncul kejadian perkara yang berulang. Masalah di awal dan akhir tahun ajaran, nyaris titipikal.

Prestasi murid atau anak didik di ajang internasional liwat adu otak cukup membanggakan dan menggembirakan. Lulusan SMK sudah bisa masuk bursa tenaga kerja. Ada sekolah unggulan, ada sekolah papan bawah atau cadangan. Ada sekolah negeri, ada sekolah swasta (dua-duanya tidak masuk kategori murah Rp). Ada sekolah pencetak ijazah, ada sekolah pencetak generasi penerus.


Punya anak balita sudah dihantui prasekolah, PAUD, harus bisa baca tulis. Lulus SMA dihadapkan pada dua pilihan : meneruskan kuliah atau menjadi kuli betulan. Sekedar bisa “makan bangku” : modal Rp seimbang modal IQ [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar