DIKOTOMI
PENDIDIKAN NASIONAL, DI AWAL DAN AKHIR TAHUN AJARAN
Industri pendidikan nasional, dari hulu ke hilir, seolah tak
ada benang merahnya. Riwayatnya masih di koridor aman-aman saja. Sertifikasi
guru, guru sebagai jabatan fungsional, guru harus S1 sebagai problematika di
hulu. Gedung sekolah ambruk dimakan usia, atau kualitasnya dimakan pemborong, berakibat
makan korban anak didik. Antar murid saling tawur, murid kesurupan, murid direkam
adegan mesum, murid keliaran di tempat umum di jam pelajaran menjadi berita
rutin. Anggaran pendidikan berkisar 20%an dari APBN selalu diperdebatkan oleh
para ahlinya. Memasuki tahun ajaran baru acap menimbulkan masalah lama dalam
kemasan baru dan klasik (merupakan fungsi Rp). Menghadapi ujian akhir nasional,
muncul kejadian perkara yang berulang. Masalah di awal dan akhir tahun ajaran,
nyaris titipikal.
Prestasi murid atau anak didik di ajang internasional liwat
adu otak cukup membanggakan dan menggembirakan. Lulusan SMK sudah bisa masuk
bursa tenaga kerja. Ada sekolah unggulan, ada sekolah papan bawah atau
cadangan. Ada sekolah negeri, ada sekolah swasta (dua-duanya tidak masuk
kategori murah Rp). Ada sekolah pencetak ijazah, ada sekolah pencetak generasi
penerus.
Punya anak balita sudah dihantui prasekolah, PAUD, harus bisa
baca tulis. Lulus SMA dihadapkan pada dua pilihan : meneruskan kuliah atau
menjadi kuli betulan. Sekedar bisa “makan bangku” : modal Rp seimbang modal IQ [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar