Ketika Cinta Tanpa Kata
( dwi
budi utami, 13-02-2014)
Kesimpulan
pakar dan ahli pendidikan anak bahwa anak yang kedua orang tuanya bekerja, akan
menjadi anak yang mandiri, antar saudara terjalin keakraban. Ada benarnya,
namun harus diikuti dengan bagaimana orang tua berinteraksi dengan anaknya saat
di rumah, bagaimana mengelola waktu bersama, bagaimana pembagian tugas di
keluarga. Tak jarang pasangan suami isteri bekerja karena alasan ekonomi, jika
suami saja yang mencari nafkah, ekonomi keluarga pincang atau dapur susah
mengebul.
Kami
mempunyai 3 (tiga) anak, semuanya perempuan. Pengalaman menyiratkan bahwa anak
perempuan menjadi anak bapak, dekat dengan bapaknya, bisa berkembang menjadi
gadis tomboy. Orang lupa, hubungan emosi anak dengan ibunya terjalin
sejak dalam kandungan, diperkuat karena mendapat ASI ekslusif selama 2 tahun, terkadang
susah direbut oleh bapaknya. Orang juga lupa, anak menyandang watak turunan
atau watak gabungan plus watak pribadi yang terbetuk sesuai perjalanan waktu.
Sejak
dalam kandungan anak terbiasa saya ajak ke kantor. Sampai sekarang, mereka
terbiasa keluar masuk kantor saya. Karena tempat kerja saya satu menteri dengan
tempat kerja suami, jika saya tidak ada di ruangan, anak saya baru mencari
bapaknya. Jika ada pelajaran sulit, anak bertanya ke ibunya, kalau saya belum
pulang, bapaknya laku ditanya. Sampai memasuki perguruan tinggi, ketiga anak
seolah mengikuti jejak saya, khususnya anak nomer dua dan tiga yang kembar.
Mengenalkan
anak dengan lingkungan tempat tinggal, dengan keluarga, dengan teman orang tua,
membawa anak ke berbagai acara sebagai bagian dari pembinaan watak anak. Anak
mudah berinteraksi, mudah bergaul, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan
baru dan teman baru.
Segala
hal yang telah kami lakukan, tak beda jauh dengan telah dilakukan oleh keluarga
lain, karena hal yang umum, standar dan seolah berlaku turun-temurun. Hanya
kami tidak mau mengulang kesalahan atau kekurangan orang lain dalam mengelola
keluarga, dalam mendidik anak. Tiap keluarga mempunyai tantangan kehidupan
masing-masing. Kita tidak bisa meng-copy paste kesukesesan keluarga
lain, minimal mengambil hikmahnya.
Hidup
di ibukota negara, tentunya mempunyai tantangan hidup yang beraneka ragam.
Bahkan seolah Jakarta menyedikan tempat, fasilitas untuk mencari tantangan. Tak
urung tantangan terkait norma agama pun bisa kita pilih. Tempat fasilitas umum
sampai khusus anggota menawarkan berbagai acara, adegan dan atraksi yang
mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil, meramu antara yang haram
dengan yang halal.
Di
era teknologi informasi dan komunikasi yang sudah barang mewah, intervensi
budaya asing bisa masuk liwat media elektronika di rumah. Pergaulan antar anak
didik, antar tetangga bukannya tak berdampak secara sistemik, masif dan
menerus. Sering kita lihat, anak belum usia untuk dapat SIM, dengan gagahnya
naik motor di jalanan.
Membetengi
anak dari intervensi budaya asing memang bukan hal yang mudah. Tidak bisa
ditangani secara individual atau oleh satu keluarga. Minimal kita bisa
meminimalisir dampak serbuan, gerusan dan rangsangan budaya manca negara.
Peran
sebagai orang tua bisa diperkaya dengan menjadi panutan melalui faktor ajar dan
percontohan, memposisikan diri sebagai guru/sekolah pertama dan utama bagi
anak, menempatkan diri sebagai mitra anak dalam hal berdiskusi, berdalog bahkan
berdebat. [DBU]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar