Halaman

Senin, 27 April 2015

ketika cinta tanpa kata

Ketika Cinta Tanpa Kata
( dwi budi utami, 13-02-2014)


Kesimpulan pakar dan ahli pendidikan anak bahwa anak yang kedua orang tuanya bekerja, akan menjadi anak yang mandiri, antar saudara terjalin keakraban. Ada benarnya, namun harus diikuti dengan bagaimana orang tua berinteraksi dengan anaknya saat di rumah, bagaimana mengelola waktu bersama, bagaimana pembagian tugas di keluarga. Tak jarang pasangan suami isteri bekerja karena alasan ekonomi, jika suami saja yang mencari nafkah, ekonomi keluarga pincang atau dapur susah mengebul.

Kami mempunyai 3 (tiga) anak, semuanya perempuan. Pengalaman menyiratkan bahwa anak perempuan menjadi anak bapak, dekat dengan bapaknya, bisa berkembang menjadi gadis tomboy. Orang lupa, hubungan emosi anak dengan ibunya terjalin sejak dalam kandungan, diperkuat karena mendapat ASI ekslusif selama 2 tahun, terkadang susah direbut oleh bapaknya. Orang juga lupa, anak menyandang watak turunan atau watak gabungan plus watak pribadi yang terbetuk sesuai perjalanan waktu.

Sejak dalam kandungan anak terbiasa saya ajak ke kantor. Sampai sekarang, mereka terbiasa keluar masuk kantor saya. Karena tempat kerja saya satu menteri dengan tempat kerja suami, jika saya tidak ada di ruangan, anak saya baru mencari bapaknya. Jika ada pelajaran sulit, anak bertanya ke ibunya, kalau saya belum pulang, bapaknya laku ditanya. Sampai memasuki perguruan tinggi, ketiga anak seolah mengikuti jejak saya, khususnya anak nomer dua dan tiga yang kembar.

Mengenalkan anak dengan lingkungan tempat tinggal, dengan keluarga, dengan teman orang tua, membawa anak ke berbagai acara sebagai bagian dari pembinaan watak anak. Anak mudah berinteraksi, mudah bergaul, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan teman baru.

Segala hal yang telah kami lakukan, tak beda jauh dengan telah dilakukan oleh keluarga lain, karena hal yang umum, standar dan seolah berlaku turun-temurun. Hanya kami tidak mau mengulang kesalahan atau kekurangan orang lain dalam mengelola keluarga, dalam mendidik anak. Tiap keluarga mempunyai tantangan kehidupan masing-masing. Kita tidak bisa meng-copy paste kesukesesan keluarga lain, minimal mengambil hikmahnya.

Hidup di ibukota negara, tentunya mempunyai tantangan hidup yang beraneka ragam. Bahkan seolah Jakarta menyedikan tempat, fasilitas untuk mencari tantangan. Tak urung tantangan terkait norma agama pun bisa kita pilih. Tempat fasilitas umum sampai khusus anggota menawarkan berbagai acara, adegan dan atraksi yang mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil, meramu antara yang haram dengan yang halal.

Di era teknologi informasi dan komunikasi yang sudah barang mewah, intervensi budaya asing bisa masuk liwat media elektronika di rumah. Pergaulan antar anak didik, antar tetangga bukannya tak berdampak secara sistemik, masif dan menerus. Sering kita lihat, anak belum usia untuk dapat SIM, dengan gagahnya naik motor di jalanan.

Membetengi anak dari intervensi budaya asing memang bukan hal yang mudah. Tidak bisa ditangani secara individual atau oleh satu keluarga. Minimal kita bisa meminimalisir dampak serbuan, gerusan dan rangsangan budaya manca negara.

Peran sebagai orang tua bisa diperkaya dengan menjadi panutan melalui faktor ajar dan percontohan, memposisikan diri sebagai guru/sekolah pertama dan utama bagi anak, menempatkan diri sebagai mitra anak dalam hal berdiskusi, berdalog bahkan berdebat. [DBU]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar