Gagap baca vs gagap teknologi
Wartakesehatan.com, Senin, 13 April 2015 – 00:30 WIB - Asisten
Deputi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, Haliq Siddiq,
mengatakan, Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak yang mengakses situs porno.
"Data ini merupakan
hasil survei yang dilakukan oleh Google sebagai situs penyedia data dan pencari
ini, ternyata Indonesia berada diperingkat ketiga yang paling banyak mengakses
situs porno dan diperingkat pertama adalah India," katanya di Sukabumi,
Jawa Barat, Sabtu.
Menurut dia, hasil
survei Google itu sangat mengkhawatirkan pihaknya karena salah satu penyebaran
infeksi virus perapuh kekebalan tubuh/sindroma merapuhnya kekebalan tubuh
(HIV/AIDS) melalui hubungan seksual yang tidak menutup kemungkinan maraknya seks
bebas dipicu dari akses ke situs porno.
Ia
mengemukakan, daerah yang paling besar pengakses situs porno adalah Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY), padahal kotanya berjuluk kota
pelajar.
Oleh karena
itu, pihaknya meminta bantuan kepada pemerintah melalui Kementerian Komunikasi
dan Informasi RI untuk memblokir situs-situs porno yang tersebar di dunia maya.
. . . . . . . . .
Generasi Internet
Cuplikan berita di
atas jangan ditafsirkan bahwa generasi masa depan bangsa Indonesia dengan nyata
dan gemilang menyandang gelar Generasi Internet, minimal sudah jauh dari stigma gagap teknologi. Anak
bangsa tanpa halangan yang berarti bisa lepas landas dari buta teknologi
(sekaligus buta huruf/aksara, tetapi bukan buta baca buku). Anak ingusan,
kemarin sore, bau kencur dengan enteng mengopreasikan telepon genggam tanpa
bimbingan dan asuhan orang tuanya. Di sisi lain, gaya hidup, gaul dan gengsi
generasi muda agar tidak dicap gagap teknologi, melakukan tindak dan cara
asal-asalan. Asal tidak ketinggalan zaman.
Generasi muda identik
dengan pemuda, dibatasi rentang usia dan periode waktu tertentu. Pemuda adalah
warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan
perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Bahwa
untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, diperlukan pemuda yang berakhlak
mulia, sehat, tangguh, cerdas, mandiri, dan profesional (Pasal 1, UU RI 40/2009
tentang “KEPEMUDAAN”).
Penjajah masa kini
tidak perlu secara fisik, apalagi dengan kekuatan militer. Melalui jalur budaya
dan peradaban, dengan dukungan kemajuan TIK (teknologi informasi dan komunikasi)
melalui jasa media massa, media sosial dan sebagainya bisa merambah ke sudut
desa paling terpencil dan terkucil. Ironisnya, banyak bangsa dewe yang
rela jadi penjajah, sekaligus budak manca negara. Mulai dari pemurtadan secara
sistematis, teror produk dan buangan barang bekas negeri tetangga, makelar
kasus, mafia hukum, bandar dan kurir politik, Israel kehidupan, perdagangan
bebas dunia, masyarakat ekonomi ASEAN.
Dukungan Formal
Tidak dapat
dipungkiri, diingkari atau dipandang sebelah mata lagi bahwa teknologi internet
sebagai media tercepat dan termurah untuk menyebarkan informasi sekaligus
sebagai media komunikasi. Tidak perlu duduk manis sambil buka komputer/laptop,
dapat diakses dimana saja dengan komputer genggam. Kemudahan dan
daya jangkau manfaat komputer genggam melebihi perkembangan nalar generasi muda.
Bayangkan, jelang tidur
malam kita memperbaharui status, sehingga seluruh pengguna internet se Indonesia
dapat mengakses informasi yang kita berikan. Kondisi sepele ini tentu berdampak dua kemungkinan
kontradiktif. Pertama, sebagai potensi yang layak baca atau sebaliknya, yaitu
Kedua, menjadi ancaman potensial dan serius dalam pembentukan watak bangsa. Beberapa
rambu, kode etik yang perlu diperhatikan dalam memanfaatkan internet sebagai
sarana penyebaran informasi. Patut diingat dengan cermat, daya rusak internet
atau dampak negatifnya melebihi penggunaan narkoba.
Anak didik
tidak hanya mengandalkan buku cetak, mereka dianjurkan mencari materi pelajaran
di internet. Walhasil, setiap lembaga pendidikan untuk menyiagakan peserta
didiknya agar menguasai program TIK sejak dini agar tidak menjadi generasi muda
yang gagap
teknologi. Pemanfaatan program berbasis TIK pada saat ini sudah seolah
menjadi lagu wajib dalam berbagai aspek dan segi kehidupan.
Semangat
otonomi daerah diimbangi dengan pengoperasian laman pemda. Ironis, terkadang
laman pemda hanya sebagai syarat formal, sebagai pelengkap tampilan, walau
tidak bisa dikatakan sebagai hiasan. Bukan berarti, awak pemda masih “setengah hati”
dalam keterlibatan pengelolaan laman. Maklum, karena dalam konteks tertentu
pihak pejabat publik bukan lahir dari generasi internet, sehingga ada semacam
gagap teknologi. Atau karena posisi sebagai bos, cukup main perintah. Atau karena
kepala daerah bukan pejabat karir, dengan masa kerja lima tahun, tidak peduli
manfaat dan nasib laman pemda.
Solusi Dasar
Wajar, manusiawi
dan masuk logika jika manusia mudah tergerak dan tersentuh hatinya atas apa
yang didengar dan dilihatnya. Banyak hal-hal yang memanjakan mata, namun tidak
diimbangi dengan daya baca. Jargon ‘gambar mewakili ribuan kata’ menjadikan
manusia enggan baca.
Semua tergantung
niat pengguna internet. Konon, di negara yang porno (atau bahkan biang porno)
menjadi menu harian, menjadi rahasia umum, generasi muda mengakses internet
hanya untuk mencari acuan. Buku adalah jendela dunia, diartikan dengan arif
bahwa budaya baca diberlakukan secara sadar dan sebagai kebutuhan dasar.
Alam Indonesia
memang memanjakan mata, namun banyak yang ‘buta huruf’ dalam membaca ayat-ayat
yang terbentang di depan mata. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar