Halaman

Jumat, 24 April 2015

gagap baca vs gagap teknologi

Gagap baca vs gagap teknologi

Wartakesehatan.com, Senin, 13 April 2015 – 00:30 WIB - Asisten Deputi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, Haliq Siddiq, mengatakan,  Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak yang mengakses situs porno.

"Data ini merupakan hasil survei yang dilakukan oleh Google sebagai situs penyedia data dan pencari ini, ternyata Indonesia berada diperingkat ketiga yang paling banyak mengakses situs porno dan diperingkat pertama adalah India," katanya di Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu.

Menurut dia, hasil survei Google itu sangat mengkhawatirkan pihaknya karena salah satu penyebaran infeksi virus perapuh kekebalan tubuh/sindroma merapuhnya kekebalan tubuh (HIV/AIDS) melalui hubungan seksual yang tidak menutup kemungkinan maraknya seks bebas dipicu dari akses ke situs porno.

Ia mengemukakan, daerah yang paling besar pengakses situs porno adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), padahal kotanya berjuluk kota pelajar.

Oleh karena itu, pihaknya meminta bantuan kepada pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi RI untuk memblokir situs-situs porno yang tersebar di dunia maya.
. . . . . . . . .

Generasi Internet
Cuplikan berita di atas jangan ditafsirkan bahwa generasi masa depan bangsa Indonesia dengan nyata dan gemilang menyandang gelar Generasi Internet, minimal sudah jauh dari stigma gagap teknologi. Anak bangsa tanpa halangan yang berarti bisa lepas landas dari buta teknologi (sekaligus buta huruf/aksara, tetapi bukan buta baca buku). Anak ingusan, kemarin sore, bau kencur dengan enteng mengopreasikan telepon genggam tanpa bimbingan dan asuhan orang tuanya. Di sisi lain, gaya hidup, gaul dan gengsi generasi muda agar tidak dicap gagap teknologi, melakukan tindak dan cara asal-asalan. Asal tidak ketinggalan zaman.

Generasi muda identik dengan pemuda, dibatasi rentang usia dan periode waktu tertentu. Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Bahwa untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, diperlukan pemuda yang berakhlak mulia, sehat, tangguh, cerdas, mandiri, dan profesional (Pasal 1, UU RI 40/2009 tentang “KEPEMUDAAN”).

Penjajah masa kini tidak perlu secara fisik, apalagi dengan kekuatan militer. Melalui jalur budaya dan peradaban, dengan dukungan kemajuan TIK (teknologi informasi dan komunikasi) melalui jasa media massa, media sosial dan sebagainya bisa merambah ke sudut desa paling terpencil dan terkucil. Ironisnya, banyak bangsa dewe yang rela jadi penjajah, sekaligus budak manca negara. Mulai dari pemurtadan secara sistematis, teror produk dan buangan barang bekas negeri tetangga, makelar kasus, mafia hukum, bandar dan kurir politik, Israel kehidupan, perdagangan bebas dunia, masyarakat ekonomi ASEAN.

Dukungan Formal
Tidak dapat dipungkiri, diingkari atau dipandang sebelah mata lagi bahwa teknologi internet sebagai media tercepat dan termurah untuk menyebarkan informasi sekaligus sebagai media komunikasi. Tidak perlu duduk manis sambil buka komputer/laptop, dapat diakses dimana saja dengan komputer genggam. Kemudahan dan daya jangkau manfaat komputer genggam melebihi perkembangan nalar generasi muda.

Bayangkan, jelang tidur malam kita memperbaharui status, sehingga seluruh pengguna internet se Indonesia dapat mengakses informasi yang kita berikan. Kondisi sepele  ini tentu berdampak dua kemungkinan kontradiktif. Pertama, sebagai potensi yang layak baca atau sebaliknya, yaitu Kedua, menjadi ancaman potensial dan serius dalam pembentukan watak bangsa. Beberapa rambu, kode etik yang perlu diperhatikan dalam memanfaatkan internet sebagai sarana penyebaran informasi. Patut diingat dengan cermat, daya rusak internet atau dampak negatifnya melebihi penggunaan narkoba.

Anak didik tidak hanya mengandalkan buku cetak, mereka dianjurkan mencari materi pelajaran di internet. Walhasil, setiap lembaga pendidikan untuk menyiagakan peserta didiknya agar menguasai program TIK sejak dini agar tidak menjadi generasi muda yang gagap teknologi. Pemanfaatan program berbasis TIK pada saat ini sudah seolah menjadi lagu wajib dalam berbagai aspek dan segi kehidupan.

Semangat otonomi daerah diimbangi dengan pengoperasian laman pemda. Ironis, terkadang laman pemda hanya sebagai syarat formal, sebagai pelengkap tampilan, walau tidak bisa dikatakan sebagai hiasan. Bukan berarti, awak pemda masih “setengah hati” dalam keterlibatan pengelolaan laman. Maklum, karena dalam konteks tertentu pihak pejabat publik bukan lahir dari generasi internet, sehingga ada semacam gagap teknologi. Atau karena posisi sebagai bos, cukup main perintah. Atau karena kepala daerah bukan pejabat karir, dengan masa kerja lima tahun, tidak peduli manfaat dan nasib laman pemda.

Solusi Dasar
Wajar, manusiawi dan masuk logika jika manusia mudah tergerak dan tersentuh hatinya atas apa yang didengar dan dilihatnya. Banyak hal-hal yang memanjakan mata, namun tidak diimbangi dengan daya baca. Jargon ‘gambar mewakili ribuan kata’ menjadikan manusia enggan baca.

Semua tergantung niat pengguna internet. Konon, di negara yang porno (atau bahkan biang porno) menjadi menu harian, menjadi rahasia umum, generasi muda mengakses internet hanya untuk mencari acuan. Buku adalah jendela dunia, diartikan dengan arif bahwa budaya baca diberlakukan secara sadar dan sebagai kebutuhan dasar.


Alam Indonesia memang memanjakan mata, namun banyak yang ‘buta huruf’ dalam membaca ayat-ayat yang terbentang di depan mata. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar