Halaman

Sabtu, 04 April 2015

menakar kadar mental (mantan) teroris politik

Menakar kadar mental (mantan) teroris politik

Pasang surut pertumbuhan politik dunia berdampak pada volume industri, syahwat dan mafia politik dalam negeri. Dampak sampingan berupa  gegar dan geger politik berkelanjutan. Penampakan aroma irama mental kawanan parpolis tidak hanya pada perorangan, pribadi, secara individual, tetapi bahkan terwujud secara komunal. Kondisi ini nampak nyata pada anak bangsa yang serba merasa bisa.

Merasa menjadi anak ideologis, merasa bisa menjadi penerus untuk mengurus bangsa. Ajaran politik tergerus arus waktu, bukannya menjadi kedalu warsa atau ketinggalan zaman, karena sang penerus tidak belajar dari sejarah, tidak berkaca. Ajaran politik yang sudah basi, malah didaur ulang untuk mencekoki generasi penerus bangsa. Ironisnya, gaya hidup politik yang menganggap ‘ilmu politik’ bisa diwariskan, menjadi karakter Reformasi. Mengorbitkan atau mengkarbit anak agar menjadi penerus, sebagai pasal yang sah, logis dan masuk akal.

Partai politik (parpol) menjadi pabrik cetak uang, minimal menjadi ATM, berubah fungsi dan wujud menjadi perusahaan keluarga atau tidak sekedar jadi kendaraan politik. Tidak sabar diantrian, tidak betah hanya menjadi cadangan, mendirikan parpol agar bisa ikut pemilu dan khususnya pilpres. Niat dan itikad mulia menlu akan menggelontorkan gratis dana tiap partai politik dari APBN senilai Rp 1 triliun per partai per tahun, menjadi angin surga. Tentunya bukan dibagi sama rata. Pembagian diutamakan kepada parpol pemenang pemilu 2014 berdasarkan persentase perolehan suara.

Revolusi mental yang menjadi andalan pemerintahan Jokowi-JK, bukannya tanpa sebab. Bukan muncul dari rasa kuwatir memikirkan nasib bangsa karena menerawang  tabiat asli, sepak terjang, perilaku turunan para kawanan parpolis. Bukan karena memikirkan nasibnya jangan sampai turun di tengah jalan, jangan sampai tidak bisa menikmati nikmat politik sampai jatuh tempo. Tidak terpengaruh bagaimana lebih nikmat jika bisa memasuki periode selanjutnya.

Kondisi mental kawanan parpolis yang sedang memegang amanah sebagai penyelenggara negara memang sangat menentukan perjalanan hidup bangsa dan negara. Kaca mata rakyat sudah merasakan adanya pemikiran, tindakan, dan ucapan yang menunjukkan gejala orang dengan mental terganggu. Karena jika kadar mental jauh dari 24 karat atau mendekati sekarat, tampaklah gejalanya dalam segala aspek kehidupan, misalnya perasaan, pikiran, kelakuan dan kesehatan.

Konflik berbasis politik, sesuai skenario bandar politik maupun adanya kekuatan aneh, asing dan ajaib, menjadikan kawanan parpolis merasa kurang bahagia, tidak mampu, tiada berguna dan merasa jauh dari sanggup menghadapi kesukaran atau rintangan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kawanan parpolis loyalis Jokowi-JK tidak mempunyai kontak dengan realitas secara efisien, tanpa ada fantasi, sensasi dan angan-angan yang melbihi kapasitas diri. Pandangan hidupnya tergantung kaca mata politik. Penuh curiga, was-was, saat menerima berbagai tantangan kehidupan. Kejutan mental serta nasib buruk lainnya diantisipasi dengan menampilkan watak aslinya.

Kawanan parpolis loyalis Jokowi-JK hanya memiliki kontak nyata dan terukur hanya dengan diri sendiri. Melakukan intimidasi jika merasakan suhu politik tidak bersahabat. Prinsipnya, apa saja akan dilakukan dengan anggapan nanti akan dikenang. Tanpa ‘ilmu politik’ atau lebih mengandalkan daya beli, menjadikan mental politik bak barang dagangan. Kalkulasi perjuangan politik menggunakan kalkulator khusus, tidak ada tanda minus(-) apalagi tanda bagi (:). Falsafah politiknya adalah kalau bisa dikuras habis kenapa harus dicuwil ala kadarnya.

Jangan mengkaitkan kadar mental dengan nilai reliji oknum kawanan parpolis loyalis Jokowi-JK. Kendati berbagai kemelut hidup itu tidak tetap atau kekal. Seperti firman Allah SWT pada Al-Qur’an [Alam Nasyrah (94) : 5 s.d 8] : “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”

Celakanya, apesnya, sialnya, kawanan parpolis loyalis Jokowi-JK hanya mengenal urusan politik. Sejak mau tidur sampai bangun tidur, nafasnyapun nafas politik. Sambil tidur memikirkan politik, mimpi politik, mengigau politik. Denyut nadinyapun denyut politik. Udara yang dihiruppun adalah udara politik. Bahkan darahnya adalah darah politik.

Kendati ayat tersebut menjelaskan bahwa berbagai kemelut hidup, dengan skala gempa berapapun, akan dapat dihadapi dengan ikhlas, sehingga tidak membawanya kepada gejala mental yang tidak sehat. Agama dapat memberikan solusi jitu, resep manjur, konsep mujarab dalam menghadapi kenyataan hidup di semua tingkatan urusan. Bukan dengan mengumpat, menghujat atau mengkutuk. [HaeN]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar