Siapa Penikmat
Manfaat Sistem Multipartai
Benang Merah Sejarah
Di zaman Orde Lama, platform
atau haluan partai politik dikapling oleh Bung Karno dalam format Nasakom
(nasionalis, agama dan komunis). Tahun 1948 dan 1965 Partai Komunis Indonesia
(PKI) melakukan makar dan teror bersenjata terhadap keutuhan NKRI, menikam dari
belakang.
Tanda awal zaman
Orde Baru, dengan TAP MPRS
No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966, PKI sebagai Partai Politik dinyatakan
dibubarkan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi yang diklaim sebagai
ideologi PKI dinyatakan sebagai ideologi terlarang. 6 kali Pemilu menghantarkan
Jenderal Suharto jadi presiden sampai 6 kali. Jumlah parpol disederhanakan
dalam pola : nasional, agama dan pemerintah. Golongan Karya walau bukan sebagai
parpol, tetapi dianggap sebagai pabrik menteri, gubernur, bupati/walikota,
serta jabatan di legislatif dan yudikatif. Underbouw Golkar merajelela
menguasai generasi muda, media massa ala “atas petunjuk presiden”, mendikte
kegiatan kampus, menggalang massa buruh/pekerja, dsb.
Syahwat politik para parpol di era Reformasi adalah mengambil alih
kekuasaan secara konstitusional, sekaligus menguasai dan mempertahankan dengan
dinasti politik, melalui pesta demokrasi lima tahunan. Berakhirnya karir
kawanan parpol di rumah tahanan, tidak menyurutkan semangat kader parpol untuk
adu nasib dan adu untung di pesta demokrasi. Tipikor membuktikan adanya
kalkulasi ekonomi dalam berpolitik. Multipartai terjadi di dalam keluarga,
sebagai penampungan aliran dana pemulusan pasal UU, proyek pemerintah, untuk
urusan antar parpol.
Di atas kertas. Sistem multipartai dianggap yang paling cocok
dengan kondisi obyektif bangsa dan rakyat Indonesia yang serba multi.
Minimarket Politik
UU 2/2008 tentang
“PARTAI POLITIK” menyuratkan di Pasal 2, a.l :
(1) Partai Politik didirikan dan dibentuk
oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah
berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris.
UU tersebut menempatkan partai politik sebagai “organisasi yang bersifat
nasional”. Daya tarik kemudahan ini diperkuat dengan hak dan kewajiban, tapi
belum tentu membawa berkah bagi rakyat. Terhadap paket pendidikan politik,
rakyat bukannya konsumtif, malah antipati nyaris alergi. Pendidikan politik
justru untuk yang melek politik, agar tidak melakukan penyimpangan secara
sadar.
Infrastruktur politik terpenting dalam negara demokrasi adalah partai
politik, kelompok kepentingan, kelompok penyeimbang, kelompok penekan, kelompok
spekulan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Multipartai bukan jaminan rakyat mudah menyalurkan aspirasinya, atau
sebaliknya, masalah masyarakat terdeteksi oleh banyaknya parpol. Pemilu 1999
diikuti 48 parpol, dengan hasil hanya 21 parpol dapat jatah kursi DPR. Pemilu 2009 menggunakan sistem
proporsional dengan daftar terbuka dan diikuti 38 parpol nasional dan 6 parpol lokal
NAD, 9 parpol menikmati kursi legislatif.
Dampak sistem multipartai adanya keharusan pembentukan pemerintahan koalisi
(governing coalition), dalam prakteknya banyak menimbulkan kesulitan
bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan stratejik karena mempertimbangkan
banyak faktor.
Perilaku Politik
Menyimpang
2009-2014 membuktikan secara nasional nasib bangsa dan seolah di tangan 560
orang! Media massa dengan getol menayangkan episod demi episod perilaku politik
menyimpang. Ironisnya, sesedikit 507 atau 90,5% anggota DPR yang berjasa pada
parpolnya maju pemilu 2014. Kita akan menjadi bangsa keledai, dengan sadar
mengulang tindakan dan kesalahan yang sama.
Parlemen jalanan, konflik horizontal (a.l. sipil vs militer) akibat perkara
turun-temurun, gerakan rekayasa radikal
agama sampai presiden minoritas, membuktikan multipartai mandul di bawah,
tumpul di atas.
Rakyat terkotak-kotak dalam mahzab : miskin, berpenghasilan rendah,
pra-sejahtera; serta menjadi obyek politik. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar