Halaman

Rabu, 08 April 2015

siapa penikmat manfaat sistem multipartai

Siapa Penikmat Manfaat Sistem Multipartai


Benang Merah Sejarah
Di zaman Orde Lama, platform atau haluan partai politik dikapling oleh Bung Karno dalam format Nasakom (nasionalis, agama dan komunis). Tahun 1948 dan 1965 Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan makar dan teror bersenjata terhadap keutuhan NKRI, menikam dari belakang.

Tanda awal zaman Orde Baru, dengan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966, PKI sebagai Partai Politik dinyatakan dibubarkan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi yang diklaim sebagai ideologi PKI dinyatakan sebagai ideologi terlarang. 6 kali Pemilu menghantarkan Jenderal Suharto jadi presiden sampai 6 kali. Jumlah parpol disederhanakan dalam pola : nasional, agama dan pemerintah. Golongan Karya walau bukan sebagai parpol, tetapi dianggap sebagai pabrik menteri, gubernur, bupati/walikota, serta jabatan di legislatif dan yudikatif. Underbouw Golkar merajelela menguasai generasi muda, media massa ala “atas petunjuk presiden”, mendikte kegiatan kampus, menggalang massa buruh/pekerja, dsb.

Syahwat politik para parpol di era Reformasi adalah mengambil alih kekuasaan secara konstitusional, sekaligus menguasai dan mempertahankan dengan dinasti politik, melalui pesta demokrasi lima tahunan. Berakhirnya karir kawanan parpol di rumah tahanan, tidak menyurutkan semangat kader parpol untuk adu nasib dan adu untung di pesta demokrasi. Tipikor membuktikan adanya kalkulasi ekonomi dalam berpolitik. Multipartai terjadi di dalam keluarga, sebagai penampungan aliran dana pemulusan pasal UU, proyek pemerintah, untuk urusan antar parpol.

Di atas kertas. Sistem multipartai dianggap yang paling cocok dengan kondisi obyektif bangsa dan rakyat Indonesia yang serba multi.

Minimarket Politik
UU 2/2008 tentang “PARTAI POLITIK” menyuratkan di Pasal 2, a.l :
(1)    Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris.

UU tersebut menempatkan partai politik sebagai “organisasi yang bersifat nasional”. Daya tarik kemudahan ini diperkuat dengan hak dan kewajiban, tapi belum tentu membawa berkah bagi rakyat. Terhadap paket pendidikan politik, rakyat bukannya konsumtif, malah antipati nyaris alergi. Pendidikan politik justru untuk yang melek politik, agar tidak melakukan penyimpangan secara sadar.

Infrastruktur politik terpenting dalam negara demokrasi adalah partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penyeimbang, kelompok penekan, kelompok spekulan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

Multipartai bukan jaminan rakyat mudah menyalurkan aspirasinya, atau sebaliknya, masalah masyarakat terdeteksi oleh banyaknya parpol. Pemilu 1999 diikuti 48 parpol, dengan hasil hanya 21 parpol dapat jatah kursi DPR. Pemilu 2009 menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka dan diikuti 38 parpol nasional dan 6 parpol lokal NAD, 9 parpol menikmati kursi legislatif.

Dampak sistem multipartai adanya keharusan pembentukan pemerintahan koalisi (governing coalition), dalam prakteknya banyak menimbulkan kesulitan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan stratejik karena mempertimbangkan banyak faktor.

Perilaku Politik Menyimpang
2009-2014 membuktikan secara nasional nasib bangsa dan seolah di tangan 560 orang! Media massa dengan getol menayangkan episod demi episod perilaku politik menyimpang. Ironisnya, sesedikit 507 atau 90,5% anggota DPR yang berjasa pada parpolnya maju pemilu 2014. Kita akan menjadi bangsa keledai, dengan sadar mengulang tindakan dan kesalahan yang sama.

Parlemen jalanan, konflik horizontal (a.l. sipil vs militer) akibat perkara turun-temurun,  gerakan rekayasa radikal agama sampai presiden minoritas, membuktikan multipartai mandul di bawah, tumpul di atas.

Rakyat terkotak-kotak dalam mahzab : miskin, berpenghasilan rendah, pra-sejahtera; serta menjadi obyek politik. [HaeN]





Tidak ada komentar:

Posting Komentar