Halaman

Rabu, 29 April 2015

gugur satu tumbuh seribu

GUGUR SATU TUMBUH SERIBU


Revolusi belum selesai, ujar Bung Karno, masih relevan digemakan. Sejalan perjuangan anak bangsa membangun di segala bidang kehidupan, muncullah tikus-tikus berdasi yang menggerogoti uang negara, uang rakyat. Entah diilhami apa, tikus-tikus bergincu pun sudah menjadi lazim beroperasi. Bahkan modus operandi tikus bergincu di luar ilmu para penegak hukum.

Bayangkan, betapa seorang hawa yang bernama Nunun Nurbaetie, yang menyandang satu pasal tuduhan suap, bisa membuat kalang kabut hamba hukum. Rakyat awam sudah faham, kalau kasus hukum Nunun nantinya akan dibuat berkepanjangan. Kisah pelarian Nunun bisa menarik minat sutradara untuk difilmkan. Siapa saja aktor utama, aktor pendamping dan jalannya cerita susah diskenariokan.

Di zaman revolusi, ada motto para pejuang : gugur satu tumbuh seribu. Artinya, perjuangan mempertahankan negara selalu ada yang  akan meneruskan, bahkan sampai generasi berikutnya. Sejak KKN diformalkan, tak urung di era Reformasi memasuki dekade ke-2, seberapa banyak oknum pejabat publik (menteri, gubernur, bupati, walikota, wakil rakyat, jaksa, dll) menyandang status terpidana maupun mantan terpidana. Seolah KKN, terutama korupsi dilakukan secara berjama’ah, sistematis, terstruktur, masif dan menerus atau berlanjut. Kendati korupsi sudah makan korban, ternyata masih banyak antrian sampai pelosok daerah, untuk berjibaku berkorupsi ria. Proses politik untuk urusan bernegara semakin memakmurkan KKN (misal pemilukada).

Jika ada yang tertangkap tangan atau tertangkap basah, terutama dalam kasus suap, mereka punya jurus penangkal yaitu menyayikan lagu “sebutlah namamu sebelum dibui” [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar