GUGUR SATU TUMBUH SERIBU
Revolusi belum selesai, ujar Bung
Karno, masih relevan digemakan. Sejalan perjuangan anak bangsa membangun di
segala bidang kehidupan, muncullah tikus-tikus berdasi yang menggerogoti uang
negara, uang rakyat. Entah diilhami apa, tikus-tikus bergincu pun sudah menjadi
lazim beroperasi. Bahkan modus operandi tikus bergincu di luar ilmu para
penegak hukum.
Bayangkan, betapa seorang hawa yang
bernama Nunun Nurbaetie, yang menyandang satu pasal tuduhan suap, bisa membuat
kalang kabut hamba hukum. Rakyat awam sudah faham, kalau kasus hukum Nunun
nantinya akan dibuat berkepanjangan. Kisah pelarian Nunun bisa menarik minat
sutradara untuk difilmkan. Siapa saja aktor utama, aktor pendamping dan
jalannya cerita susah diskenariokan.
Di zaman revolusi, ada motto para
pejuang : gugur satu tumbuh seribu. Artinya, perjuangan mempertahankan negara selalu
ada yang akan meneruskan, bahkan sampai
generasi berikutnya. Sejak KKN diformalkan, tak urung di era Reformasi memasuki
dekade ke-2, seberapa banyak oknum pejabat publik (menteri, gubernur, bupati,
walikota, wakil rakyat, jaksa, dll) menyandang status terpidana maupun mantan
terpidana. Seolah KKN, terutama korupsi dilakukan secara berjama’ah,
sistematis, terstruktur, masif dan menerus atau berlanjut. Kendati korupsi
sudah makan korban, ternyata masih banyak antrian sampai pelosok daerah, untuk berjibaku
berkorupsi ria. Proses politik untuk urusan bernegara semakin memakmurkan KKN
(misal pemilukada).
Jika ada yang tertangkap tangan atau
tertangkap basah, terutama dalam kasus suap, mereka punya jurus penangkal yaitu
menyayikan lagu “sebutlah namamu sebelum dibui” [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar