Modus operandi megawati vs
banyolan “untung ada saya”
Jika kita membaca judul berita “Mega Peringatkan Jokowi” yang
terpajang di halaman depan Republika, Jumat, 10 April 2015, jangan ditafsirkan
sebagai bentuk cinta Mega kepada nasib Nusantara. Jangan diartikan bentuk
kepedulian, kepekaan dan daya tanggap Mega - sebagai mantan wapres/mantan
presiden 1999-2004 maupun bekas capres 2004 dan 2009 – terhadap Jokowi sebagai
penggantinya.
Judul di atas, sangat pas jika
dibaca dengan kaca mata rakyat. Tersurat sekaligus tersurat bahwa Mega sebagai
bandar politik sedang mengingatkan petugas partai atau sang kurir politik, Joko
Widodo, agar ybs tak lepas dari pakem PDIP. Agar Jokowi dalam berkaraoke
politik tetap fokus mengkuti lirik di layar. Jangan berimprovisasi atau
terlebih jangan jalan sendiri.
BADUT POLITIK
“Presiden dan wakil presiden
memang sudah sewajarnya menjalankan garis kebijakan politik partai,” kata
Megawati dalam pidato berapi-api di depan ribuan kader dalam pembukaan Kongres
IV PDI Perjuangan, di Sanur, Bali, Kamis (9/4). Ia mengingatkan bahwa dalam
sistem demokrasi, partai politiklah yang mengusung calon presiden.
Megawati mengingatkan, ketika dia
secara langsung memberikan mandat kepada Jokowi sebagai calon presiden, Jokowi
terikat dengan komitmen ideologis PDIP, di antaranya kepemimpinan trisakti,
kepemimpinan yang membawa negara berdaulat dan berkepribadian budaya.
Ia mengakui bahwa selain parpol,
ada kekuatan-kekuatan relawan dari luar partai yang juga turut berjuang
memenangkan Presiden Jokowi. Dalam kampanye, kata Megawati, pihak-pihak
tersebut menyatakan berjuang untuk rakyat demi terpilihnya pemimpin terbaik.
Alenia kedua, ketiga dan keempat
berita ini menunjukkan kadar politik Megawati. Artinya, presiden dan wakil
presiden tidak berhak membuat kebijakan negara, kebijakan pemerintahan. Jokowi dan
JK tinggal melaksanakan secara total kebijakan partai politik (baca : kebijakan
PDIP).
‘Megawati mengingatkan, ketika
dia secara langsung memberikan mandat kepada Jokowi sebagai calon presiden’,
berkesan Megawati sangat berjasa dalam menjadikan Jokowi sebagai presdien RI
2014-2019. Memakai lawakan zaman Srimulat, muncul jargon “untung ada saya”.
PENUMPANG GELAP
Namun, dalam perjalanannya, kata
Megawati, terlihat kepentingan-kepentingan di balik dukungan tersebut.
“Kepentingan yang menjadi penumpang gelap untuk
menguasai sumber daya alam bangsa. Kepentingan yang semula hadir dalam wajah
kerakyatan, mendadak berubah menjadi hasrat kekuasaan,” kata Megawati.
Ia juga mengatakan ada upaya
pemunculan gerakan deparpolisasi atau mengikis peran partai politik dalam
pemerintahan Presiden Jokowi. Menurutnya, ada pihak yang mengatasnamakan
independensi, selalu mengatakan partai adalah beban
demokrasi. Megawati meyakini, ada kekuatan antipartai dengan kekuatan modal yang
berhadapan ideologi berdikari yang diusung PDIP. “Pemerintah harus memastikan
agar rekrutmen seperti itu tidak boleh terulang kembali,” ujarnya.
Alenia kelima dan keenam berita
ini, semakin membuktikan bahwa dalam semester pertama, pemerintahan Jokowi-JK,
selain di luar skenario politik PDIP, ternyata ada agenda terselubung dari
orang dekat, dari kalangan istana, dari lingkaran Ring 1. Politik transaksional
bisa lebih kejam dari fitnah. Penumpang gelap secara politis adalah oknum atau
kawanan pendatang baru yang numpang nama, nebeng kursi. Mereka pandai
membaca arah angin politik. Sebelum mampu jalan sendiri, mereka pandai bernain
watak sebagai pengekor, pengikut. Magang politik tidak diharamkan dalam syahwat
dan industri politik Nusantara.
Penumpang gelap merupakan benalu
politik. Muncul jelang pemilu dan pilpres 2014. Kalkulasi politik menjadikan
apa saja sah dilakukan. Tak terkecuali kawanan penyembah berhala Reformasi 3K (Kaya,
Kuasa, Kuat).
SIMPUL AWAL
Di REPUBLIKA.CO.ID, Jumat, 10 April 2015, 13:00 WIB, PIDATO DALAM ANGKA :
- Empat kali
menyatakan tugas Jokowi sebagai presiden.
- 15 kali
menerangkan kepemimpinan nasional yang selayaknya.
- Enam kali
mengingatkan partai dalam kaitannya sebagai pengusung presiden.
- Tiga kali
mengingatkan tugas Jokowi sebagai kader.
- Tujuh kali
menyoroti deparpolisasi dan sentimen antipartai.
- Tiga kali
menyoal kekuatan antipartai, kekuatan modal, dan kaum oportunis.
- 17 kali
menyinggung revolusi mental.
Di REPUBLIKA.CO.ID, Jumat, 10 April 2015, 09:08 WIB, JAKARTA
-- Presiden Jokowi menghadiri Kongres PDIP ke-4 di Bali pada Kamis (10/4).
Hanya saja, Jokowi datang dengan status sebagai kader PDIP. Dia datang
mengenakan jas merah dan duduk di barisan terdepan bersama Ketua Umum Megawati
Soekarnoputri, Wapres Jusuf Kalla, dan Ketua DPP Puan Maharani.
Jokowi datang ke Bali menggunakan fasilitas negara
didampingi beberapa menteri. Uniknya, meski menyandang status presiden RI,
Jokowi tidak diberi kesempatan pidato di Kongres PDIP.
Aktivis antikorupsi Dahnil Anzar Simanjuntak menyoroti
kejadian aneh yang menimpa Jokowi tersebut. "Ketika Presiden Hadir dalam
satu acara hanya diam terbisu dan duduk manis...!!! Di NEGERI ini,"
katanya melalui akun Twitter, @Dahnilanzar.
Dia melanjutkan, "Mohon maaf saya harus
sampaikan; Joko Widodo adalah Presiden yang tidak menghormati lembaga
Kepresidenan." "Berangkat penuh dengan fasilitas Kepresidenan (pswt,
ajudan, Dana dll). Duduk Bengong mengaku sebagai Jokowi. Terang menghina
lembaga Kepresidenan."
SIMPUL AKHIR
Singkat kata di sisa periode
2014-2019, walau semester pertama Jokowi-JK, tetap nyaring
bunyinya, galak salaknya. Memakai cara zaman batu yaitu hantam kromo, sikat
dulu tanya kemudian. Cuma denting dan dentangnya membuktikan keropos dari
dalam. Nada suara sudah tidak harmonis.
Banyak
yang membuka kedoknya, topengnya. Banyak yang mempertontonkan watak aslinya,
tidak perlu pura-pura. Bagaimana di tingkat provinsi, kabupaten/kota? Akan
terjadi replikasi atau peniruan. Karena mencontoh yang di atas. Namun saya
teringat peribahasa ‘bagai telur di ujung tanduk’. Menurut KBBI, di ujung tanduk adalah ‘dalam
keadaan yang sangat sulit (berbahaya)’.
Memakai kaca mata politik,
perjalanan Jokowi-JK dikendalikan oleh tanduk banteng. Salah sedikit atau tidak
patuh komando, tanduk banteng langsung menyengat pantat. Tanduk banteng bak
cambuk atau cemeti yang dipegang gembala. Tapi semua ini hanya peribahasa [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar