oleh : Herwin Nur
Rekam Jejak
Hari
pertama bulan Mei, mulai tahun 2014, pemerintah menetapkan sebagai hari libur
nasional : Hari Buruh Internasional. Sudah jamak di dunia, buruh/pekerja mengandalkan tenaga untuk
bekerja, mengandalkan jumlah untuk menekan pemerintah, tetapi tidak punya nyali,
tidak punya posisi tawar untuk berkomunikasi apalagi mendikte pengusaha/pemberi
kerja.
Andai
tuntutan buruh/pekerja dilaksanakan, maka pepatah Jawa: “uwis
dike'i ati isih ngrogoh rempela” akan berlaku.
Irionis, mereka tidak tahu dan tidak faham untuk apa tujuan demo, apalagi
krisis ekonomi dunia.
Wajib kita simak, berita di KRjogja.com 30 April 2014 : Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) Indonesia menyatakan, dalam menghadapi ASEAN Economic Community
(AEC) 2015, Indonesia tidak perlu berandai-andai tentang sumber daya
manusia (SDM). Sebab, angkatan kerja Indonesia hampir 50 persen hanya lulusan
sekolah dasar (SD) atau kurang dari itu.
Menanggapi
hal tersebut, Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto (SBS)
mengatakan, yang saat ini harus dilakukan pemerintah dan stakeholder
lainnya adalah bagaimana mampu mengemas SDM yang jumlahnya sedikit namun
memiliki keunggulan dan produktivitas yang tinggi.
SBS
menilai perlunya peningkatan tataran industri kecil dan menengah agar mampu
memberi kehidupan yang layak bagi masyarakat pada AEC 2015. Sebab,
Indonesia masih memiliki nelayan, petani, dan tukang kayu yang belum dikemas
dalam suatu industri modern yang kompetitif. Pembangunan di masa depan Indonesia
ini harus melakukan pembangunan dengan arah ke bawah, dalam kerangka
pembangunan ekonomi inklusif. Dalam hal ketenagakerjaan, terutama tentang TKI,
Kadin menyadari penanganannya memerlukan sinergi dari beberapa instansi
pemerintah dan pihak swasta.
Membaca
10 tuntutan Buruh dalam memperingati May Day 2014, tersurat tuntutan
nomer 10 (Jalankan wajib belajar 12 tahun dan bea
siswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi) terkait dengan Hardiknas 2 Mei dan
tuntutan nomer 7 (Cabut UU Ormas ganti dengan RUU perkumpulan) terikat dengan
Harkitnas 20 Mei.
Penduduk Indonesia beragama Islam sebanyak 207.176.162 jiwa
(87,18%) dari total 237.641.326 jiwa (BPS, 2010). Masalahnya, Indonesia
merupakan kekuatan buruh terbesar ke-5 di dunia, dengan memakai kalkulasi
pada tahun 2012 saja jumlah buruh di Indonesia mencapai 118,1 juta (sumber : http://www.infogsbi.com).
Artinya,
mayoritas akar rumput penduduk Indonesia adalah buruh/pekerja. (UU 13/2013
tentang “KETENAGAKERJAAN” : pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain). Ironis, jika Indonesia
sebagai negara agraris, tercatat melalui Sensus Pertanian 2013 jumlah petani
pada tahun 2013 sebanyak 31,70 juta orang, terbesar di Subsektor Tanaman Pangan
sebanyak 20,40 juta orang dan paling sedikit di Subsektor Perikanan kegiatan
penangkapan ikan sebanyak 0,93 juta orang.
AEC mulai Januari 2015, di mana barang dan jasa yang
beredar di negara-negara ASEAN bebas dari bea masuk. Di sisi lain,
tenaga kerja terampil dan profesional bisa bekerja di negara-negara anggota ASEAN. Indonesia
sebagai negara besar dengan jumlah penduduk mencapai 40 persen dari penduduk ASEAN,
wajib optimis dapat menjadi produsen terbesar di pasar ASEAN.
Krisis Ukhuwah
Semangat Harkitnas adalah berdirinya organisasi Boedi Oetomo yang dimotori
oleh dr Wahidin Soedirohusodo, dr Sutomo, dan para mahasiswa, di Gedung
STOVIA Jakarta. Benang merah mendirikan organisasi sampai era Reformasi periode
2014-2019 adalah Indonesia dikapling-kapling dari, oleh dan untuk kepentingan
partai politik (parpol).
Di pihak lain, umat Islam terkontaminasi asas atau
doktrin parpol yaitu utamakan
kepentingan. Kepentingan parpol yang terukur adalah menang di pemilihan umum
(pileg dan pilpres), kalau bisa menang mengapa harus kalah.
Utamakan ikatan moral, antar umat Islam saling
bersilaturrahim, memperkokoh barisan, memperkuat ukhuwah. Sesuai
dengan firman Allah dalam [QS Ash Shaff (61) : 4] : “Sesungguhnya
Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan
mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.
Ironis, umat Islam masuk pusaran dan putaran industri
politik, lupa ukhuwah, bahkan menyambung silaturrahim sekedar
mencari dukungan pembenaran. Bahkan menghadapi musuh yang sama, yaitu kemiskinan,
kebodohan dan keterbelakangan, umat Islam sibuk dengan wacananya.
Diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah saw bersabda :”Ikatan-ikatan
Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh
lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan Islam yang pertama kali lepas adalah
pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR Ahmad)
Para elit parpol Islam, ulama, tokoh masyarakat, kalangan akademis atau yang
tidak mau kategori akar rumput, jika beda kursi di sistem trias politika,
seperti menjadi pesaing yang kalau perlu dilibas terang-terangan.
Umat Islam yang berbaju politik, terobsesi oleh faham memimpin untuk berkuasa atau berkuasa untuk
memimpin. Koalisi parpol Islam berangkat dari kepentingan
merebut kursi yang sama, maupun membagi kursi kekuasaan, jelas tak akan bisa
diwujudkan.
Umat Islam yang berilmu, menggunakan ilmunya sebagai
syarat formal untuk merebut jabatan politik, mulai menjadi wakil rakyat, meraih
jabatan kepala daerah, ikut berebut kursi presiden atau masuk jajaran pejabat
publik/penyelenggara negara. Umat Islam di luar klas buruh/pekerja mempunyai
sederet gengsi untuk melihat ke bawah, mencermati sejarahnya sendiri.
Api Islam
Semangat, spirit, etos, rasa dan jiwa
Islam, melalui proses turun-temurun atau estafet masih kita miliki. Yang
terkikis oleh waktu yaitu ketika menghadapi masalah berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat, umat Islam mengandalkan akal dan mengutamakan logika. Pasal
kehidupan bisa diformulasikan sesuai rumusan toleransi, sehingga akidah untuk
sementara waktu dikesampingkan.
Bahasa kasarnya, api Islam di diri kita
sudah mulai meredup, kalah dengan bara kehidupan dunia yang tiap hari menerpa
kita. Kita sulit memilih dan memilah, berita dari orang fasik atau berita fasik[HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar