Rabu, 01/09/2004
10:35
PANCAROBA
Akumulasi rukun,
spesifikasi dan strata perpolitikan di NKRI terkumpul ulang di era 2004 – 2009.
Semua platform maupun praktek lapangan partai politik, baik di era Orla maupun
era Orba, secara sistematis dan elegan berulang. Era Reformasi hanya
menyederhanakan, membakukan dan mensosialisasikannya dalam bentuk koalisi, dsb.
Perbedaan mendasar
secara historis terletak pada bagaimana mempertahankan dan menikmati buah
kemerdekaan. Mulai dari tinggal memetik hasil sampai mengeruk dan menumpuk
kandungan Ibu Pertiwi. Secara ekonomis, muncul dinosaurus-dinosaurus berbagai
versi. Reka ulang peta politik NKRI menghasilkan perpetakaan yang sulit
diterima dengan nalar, naluri, nurani; akal, okol; insting wong timur. Bahkan
pihak asing atau mancanegara yang terbiasa mendikte NKRI pun bingung mencari
pasal pendukungnya. Mulai dari main pecat, asal pecut sampai sanksi dipocot
diberlakukan secara sah. 2004-2009 sebagai musim pancaroba dalam kehidupan
berbangsa, bernegara dan beradab.
Walau pancaroba,
banyak laron – atau ciri musim pancaroba? -bermunculan dari bawah tanah. Laron
penghisap darah, laron doyan nasi, laron doyan kursi sampai laron menggerogoti
pundi-pundi nasional. Banyak juga laron mati di lumbung. Tak kepalang tanggung
berbagai virus menyelusup sampai ke jaringan pihak keamanan. Sampai pihak
bentukan keamanan tidak bisa membedakan mana yang aman, agak aman dan yang
betul-betul aman apalagi untuk keamanan bersama, keamanan nasional.
Rasa aman yang
terbentuk adalah bagaimana bukannya memagari diri tetapi bagaimana menerapkan
hukum sesuai tempat kejadian perkara. Spontan. Main polisi sendiri sampai
main-main sebagai hakim ketika hukum hanya sekedar dokumen. 2004-2009 bisa
ditandai dengan kemungkinan adanya gempa kepemimpinan nasional. Demi
mempertahankan populasinya, khususnya keamanan dapur dan urusan perut
golongannya banyak gejolak merebak. Setelah meliwati titik kritis krisis
kepemimpinan nasional kita memasuki kuantum tarik ulur berbagai kepentingan.
Kita tinggal menuai atau panen berbagai konflik terpendam. Konflik terselubung
yang diredakan sementara dengan formulasi koalisi. Koalisis untuk jangka sangat
pendek, untuk menggalang massa agar tergiring nuraninya. Kemampuan para ulama
nyaris terpuruk di kandangnya sendiri. Terlihat adanya kiat asal jilat asal
selamat. Itulah ketika agama dipolitikkan, dan politik dijadikan agama.
2004-2009 merupakan juga masa inkubasi nasional. (bersambung)
PANCAROBA I
Selasa, 07/09/2004
08:38
PANCAROBA I
Gempa politik lokal
sudah terasa di tingkat elit politik. Sumbernya koalisi kebangsaan. Sudah
memakan korban. Sekejam-kejam harimau tak akan menyantap anak kandungnya
sendiri. Sekejam-kejam politik tak akan menggebiri aspirasi anggotanya. Sekejam-kejam
orang berwatak kejam tak akan mengejami nuraninya. Sadar pilitik adalah
mengamini kehendak juragan, tanpa banyak cing-cong.
Sang juragan telah
melakukan kong-kalingkong utawa menjadi cukong politik bukan urusan anggota.
Juragan telah kongkow-kongkow dengan juragan dunia lain bukan urusan anggota.
Bukan bagaimana berpolitik secara transparan, terbuka, manusiawi dan ber-Panca
Sila. Politik utawa partai politik sudah menjadi berhala modern. Jangan
setengah-setengah menggauli parpol. Parpol sudah terbukti - selain menjanjikan
- juga sudah mampu mewujudkan mimpi indah. Parpol menjelma sebagai pabrik
politisi berbagai strata.
Semula pemulung
setelah dipoles di parpol bisa jadi pemaling. Semula modal dengkul setelah
masuk salon parpol bisa tampil main cangkul. Cangkul kanan-kiri kalau belum
kenyang jangan berhenti. Cangkul, cangkul yang luas kebunku bablas. Akhirnya,
buta politik merupakan sikap pesimistis dan apriori terhadap modus operandi
parpol yang menggadaikan masa depan bangsa dan rakyat NKRI. Terlebih melihat
parpol yang membabi buta, yang menghalalkan segala upaya, cara dan skenario.
(hn)
Selasa, 14/09/2004
07:56
PANCAROBA II
Industri politik NKRI
melalui kemasan partai politik telah memasuki harkat primitif. Siapa kuat akan
unggul. Siapa berani malu akan maju. Siapa kuasa akan menguasai berbagai sumber
kehidupan, berkedok berbangsa, bernegara dan bermartabat. Tidak ada aturan main
di rimba politik.
Parpol yang mempunyai
prospek sama nasibnya dengan parpol sempalan yang tinggal nunggu waktunya untuk
lebur. Sekali lagi, jangan pakai kacamata moral untuk menilai fakta yang
menular dan menjalar. Semua ironis akan tersaji manis jika dihitung akurat.
Pengorbanan tak akan sia-sia dipersembahkan di rimba politik ini. Kalau perlu
kepala pun akan disodorkan, untuk diinjak !!!! asal tujuan tercapai – minimal
dalam hidup tidak akan kapiran, tidak akan merasakan rasa takut. Takut miskin
dan takut lapar.
Ragam dan karakter
tanpa karakter, sebagai pemain elite politik, ibarat raja tanpa mahkota. Pada
kondisi tertentu mereka bak dalang yang mengatur kehidupan di luar habitatnya.
Rambu-rambu politik mereka yang mengatur. Mereka kita kehidupan di rimba
politik akan permanen. Justru secara tak sadar mereka telah terisolasi agar tak
mencemari hidup berbangsa dan bernegara – yang masih didambakan oleh bangsa dan
rakyat NKRI. Usaha penyelamatan generasi penerus lebijh diutamakan. Regenerasi
di berbagai relung kehidupan sudah harus dipersiapkan. (hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar