Halaman

Selasa, 27 Mei 2014

Daya Juang Kandidat Pemilu Legislatif 2014 Sebatas Panggilan Perut

Politik Uang
Kesimpulan pemantauan  Indonesia Corruption Watch (ICW) di 15 provinsi membuktikan masih maraknya pelanggaran politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014. Jumlahnya naik dua kali lipat dibandingkan Pemilu Legislatif 2009.

Lima provinsi dengan temuan pelanggaran politik uang terbesar, Banten menduduki urutan pertama dengan 36 pelanggaran politik uang, Riau dan Bengkulu menyusul dengan jumlah yang sama, yaitu 33 kasus, diikuti Sumatera Barat dengan 30 kasus, dan Sumatera Utara dengan 29 kasus.

Menyimak laporan ICW “Pemantauan Atas Politik Uang, Politisasi Birokrasi dan Penggunaan Sumber Daya Negara Dalam Pemilu 2014”, khususnya pada Kesimpulan :
§   Praktek politik uang masih masif terjadi dalam pemilu legislatif tahun 2014 dengan moduspemberian secara prabayar dan pasca bayar.
§        Praktek curang dalam pemilu tertinggi terjadi di pencalonan tingkat kabupaten/kota. Hal ini disebabkan bahwa persaingan di wilayah yang sempit dan kandidat yang banyak mendorong maraknya politik uang.
§        Penggunaan kendaraan dinas sering dilakukan secara terselubung dengan cara mengganti nomor polisi mobil dinas tersebut saat kampanye
§        Ditemukan sejumlah kasus politisasi birokrasi oleh keluarga/kerabat kandidat yang sedang menduduki jabatan publik
§         State resource sering dijadikan kandidat incumbent sebagai modal politik

Aktor Pelaku
Temuan ICW menunjukkan bahwa telah terjadi korupsi pemilu dalam bentuk pemberian uang, pemberian barang, pemberian jasa dan penggunaan sumberadaya negara. Aktor pelaku korupsi pemilu mulai kandidat, tim sukses, aparat pemerintah, partai, tim kampanye, lain-lain, keluarga dan penyelenggara,  disimpulkan kandidat sebagai pelaku utama pembagian uang dan barang. Hal tersebut menunjukkan bahwa dominasi logistik masih dikuasai oleh kandidat sendiri.

Masih ada ketidakpercayaan kandidat pada tim sukses, karena bahaya uang kandidat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Terjadi berbagai kasus uang kandidat habis namun tim sukses tetap berpangku tangan.

Kendati kasus pemberian uang menempati posisi kedua dengan 104 kasus dari 313 kasus yang berhasil ditemukan,. disusul pemberian barang sebanyak 128 kasus, pemberian jasa 27 kasus, dan penggunaan sumber daya negara sebanyak 54 kasus, bukan berarti uang sebagai andalan membeli suara. Pemberian barang juga tak luput jadi “salam tempel” bagi pemilih. Dari hasil temuan, umumnya barang berbentuk pakaian yang bukan atribut kampanye seperti baju koko dan baju muslim, kebutuhan pokok, dan alat-alat rumah tangga.

Temuan sebagai pengingat bagi pemerintah provinsi adalah aspek kondisi ekonomi masyarakat turut berpengaruh. Semakin rendah kondisi ekonomi masyarakat, semakin rendah biaya politik yang digelontorkan untuk membeli suara. Di provinsi Banten banyak ditemukan pemberian dengan nominal Rp 5.000 sampai dengan Rp 25.000.

Timbal Balik
Masyarakat yang sudah mempunyai hak pilih semakin cerdas mensiasati kondisi pemilu legislatif dengan asas NPWP (nomer piro wani piro), suara mempunyai harga jual. Jadi, asas timbal balik ini semakin mengkokohkan fenomena bahwa kandidat dan tim sukses memanfaatkan kondisi jual beli suara, secara tak langsung membuktikan daya juang kandidat  tidak siap untuk bertarung dalam pesta demokrasi.

Argo politik uang kandidat mulai saat di internal parpol ketika terjadi jual beli nomer urut kandidat. Persaingan antar kandidat dalam dapil yang bersangkutan disebabkan jatah kursi legislatif sangat terbatas dan sudah ditetapkan dalam UU.


Andai terjadi jual beli program antara kandidat dengan calon pemilih di dapilnya, hanya sebatas pemanis transaksi. Atau tergantung seberapa banyak modal dan umpan yang dikorbankan dengan hasil tangkapan nantinya [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar