Halaman

Selasa, 13 Mei 2014

Menakar Kadar Melek Politik Umat Islam Pada Pemilu 2014

Angka Bicara
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan, partisipasi pemilih pada Pemilu Legislatif 9 April 2014 mencapai 75,11%. Dengan angka partisipasi itu, 24,89% pemilih tak menggunakan hak pilihnya. Dari rekapitulasi di KPU, suara sah dalam Pemilu Legislatif 2014 adalah 124.972.491 suara. KPU tidak menyebutkan jumlah suara rusak. Adapun daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu Legislatif 2014 mencatatkan 185.826.024 orang memiliki hak pilih (sumber : JAKARTA, KOMPAS.com).

Berbagai faktor penyebab yang tidak diketahui atau diakui sehingga sebanyak 60.853.533 orang (24,89%) tidak menggunakan hak pilihnya. Bandingkan dengan perolehan suara tertinggi yang  dicapai oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). PDI-P mendapatkan 18,9% total suara sah, atau 23.681.471 suara.

Mengacu Sensus Penduduk 2010, terdapat jumlah total penduduk Indonesia 237.641.326 jiwa, dengan 207.176.162 jiwa (87,18%) beragama Islam. Andai dari penduduk yang tidak menggunakan hak pilihnya, 87,18%nya atau 53.052.110 jiwa adalah umat Islam, betapa memalukan dan memilukan, masih menyandang buta politik.

Jika dalam pemilihan presiden 9 Juli 2014, angka golput bisa dan bila disadarkan betapa arti pentingnya satu suara akan mempengaruhi keseimbangan, akan menentukan sejarah dan masa depan Indonesia lima tahun ke depan.

Ulama Bicara
Tidak bisa dipungkiri, bahwa syahwat politik para petinggi partai politik (parpol) Islam dan organisasi kemasyarakatan (ormas)  Islam dalam memposisikan dirinya dengan pemerintah, menimbulkan rasa antipati. Rekam jejak parpol berlabel Islam di periode 2009-2014 ternyata berdampak sistemik. Sikap kritis oknum ketua umum atau pejabat teras ormas Islam terhadap kebijakan pemerintah, lebih mengedepankan persaingan daripada pro-rakyat.

Media masa, khususnya media pandang dengar atau stasiun TVswasta, di era Reformasi ini memakai asas “yang baik dan benar tidak akan jadi berita dan kabar”. Jangan heran, kejadian peristiwa yang seharusnya masuk kategori rahasia atau haram diberitakan, malah diumbar secara sistematis. Bahkan  si pengabar dalam berbagai acara, atraksi dan adegan tidak tahu apakah ini kabar baik atau kabar buruk. Ingat motto pers :  “berita baik adalah berita buruk”.

Pemirsa atau pendengar jika tidak mempunyai daya saring dan daya tangkal, akan menjadi korban berita fasik. Rencana pengusaha dan penguasa media masa untuk menjajah akhlak, jiwa, moral dan mental rakyat Indonesia sudah sampai zona merah, tinggal menunggu hari-H, akan dikemanakan bangsa ini.

Kendati siaran agama islam tetap berkumandang, tak berdaya guna dan behasil guna mencegah tangkal serbuan berita fasik yang dikemas secara atraktif, dinamis dan menggunakan atribut Islam. Dalih seni suara dan musik, acara erotis menjadi suguhan yang layak dipertontonkan. Antara etika dan erotika beda tipis, atau masuk kategori syubhat.

Umat Islam yang masuk kategori uneducated, ikut menyemarakkan pemilu legislatif 9 April 2014. Mereka muncul sebagai loyalis, bukan berdasarkan pehamanan politik secara utuh. Nuansa ini secara langsung menunjukkan bahwa pesohor umat Islam hanya diposisikan sebagai bintang iklan sudah bangga, bukan karena keilmuannya, malah dengan riang memamerkan ketidaktahuannya tentang aturan berpolitik.

Rakyat Bicara

Koalisi untuk rakyat, kalkulasi di atas kertas maupun prediksi hasil survei, jangan diartikan sebagai maraknya golput. Rakyat bicara tanpa mulut, tanpa kata, dengan tindakan nyata. Atau sesuai sinyalir Rasulullah saw, bahwa golput sebagai sinyal bahwa umat Islam walau jumlahnya banyak akan memasuki waktu merasa asing di tempat terasing. Umat Islam hanya sebagai penggembira atau bonek [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar