Angka Bicara
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan, partisipasi
pemilih pada Pemilu Legislatif 9 April 2014 mencapai 75,11%. Dengan angka
partisipasi itu, 24,89% pemilih tak menggunakan hak pilihnya. Dari rekapitulasi
di KPU, suara sah dalam Pemilu Legislatif 2014 adalah 124.972.491 suara. KPU
tidak menyebutkan jumlah suara rusak. Adapun daftar pemilih tetap (DPT) untuk
Pemilu Legislatif 2014 mencatatkan 185.826.024 orang memiliki hak pilih (sumber : JAKARTA,
KOMPAS.com).
Berbagai faktor penyebab yang tidak diketahui atau
diakui sehingga sebanyak 60.853.533 orang (24,89%) tidak menggunakan hak
pilihnya. Bandingkan dengan perolehan suara tertinggi yang dicapai oleh Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P). PDI-P mendapatkan 18,9% total suara sah, atau 23.681.471
suara.
Mengacu Sensus Penduduk 2010, terdapat jumlah total
penduduk Indonesia 237.641.326 jiwa, dengan 207.176.162 jiwa (87,18%) beragama
Islam. Andai dari penduduk yang tidak menggunakan hak pilihnya, 87,18%nya atau
53.052.110 jiwa adalah umat Islam, betapa memalukan dan memilukan, masih
menyandang buta politik.
Jika dalam pemilihan presiden 9 Juli 2014, angka
golput bisa dan bila disadarkan betapa arti pentingnya satu suara akan
mempengaruhi keseimbangan, akan menentukan sejarah dan masa depan Indonesia
lima tahun ke depan.
Ulama Bicara
Tidak bisa dipungkiri, bahwa
syahwat politik para petinggi partai politik (parpol) Islam dan organisasi
kemasyarakatan (ormas) Islam dalam
memposisikan dirinya dengan pemerintah, menimbulkan rasa antipati. Rekam jejak
parpol berlabel Islam di periode 2009-2014 ternyata berdampak sistemik. Sikap
kritis oknum ketua umum atau pejabat teras ormas Islam terhadap kebijakan pemerintah,
lebih mengedepankan persaingan daripada pro-rakyat.
Media masa, khususnya media
pandang dengar atau stasiun TVswasta, di era Reformasi ini memakai asas “yang
baik dan benar tidak akan jadi berita dan kabar”. Jangan heran, kejadian
peristiwa yang seharusnya masuk kategori rahasia atau haram diberitakan, malah
diumbar secara sistematis. Bahkan si
pengabar dalam berbagai acara, atraksi dan adegan tidak tahu apakah ini kabar
baik atau kabar buruk. Ingat motto pers :
“berita baik adalah berita buruk”.
Pemirsa atau pendengar jika tidak
mempunyai daya saring dan daya tangkal, akan menjadi korban berita fasik.
Rencana pengusaha dan penguasa media masa untuk menjajah akhlak, jiwa, moral
dan mental rakyat Indonesia sudah sampai zona merah, tinggal menunggu hari-H,
akan dikemanakan bangsa ini.
Kendati siaran agama islam tetap
berkumandang, tak berdaya guna dan behasil guna mencegah tangkal serbuan berita
fasik yang dikemas secara atraktif, dinamis dan menggunakan atribut Islam.
Dalih seni suara dan musik, acara erotis menjadi suguhan yang layak
dipertontonkan. Antara etika dan erotika beda tipis, atau masuk kategori
syubhat.
Umat Islam yang masuk kategori uneducated,
ikut menyemarakkan pemilu legislatif 9 April 2014. Mereka muncul sebagai
loyalis, bukan berdasarkan pehamanan politik secara utuh. Nuansa ini secara
langsung menunjukkan bahwa pesohor umat Islam hanya diposisikan sebagai bintang
iklan sudah bangga, bukan karena keilmuannya, malah dengan riang memamerkan
ketidaktahuannya tentang aturan berpolitik.
Rakyat Bicara
Koalisi untuk rakyat, kalkulasi
di atas kertas maupun prediksi hasil survei, jangan diartikan sebagai maraknya
golput. Rakyat bicara tanpa mulut, tanpa kata, dengan tindakan nyata. Atau
sesuai sinyalir Rasulullah saw, bahwa golput sebagai sinyal bahwa umat Islam
walau jumlahnya banyak akan memasuki waktu merasa asing di tempat terasing.
Umat Islam hanya sebagai penggembira atau bonek [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar