Humaniora Dibaca :251 kali , 0 komentar
Menjadi Sosok Suami Ideal
Ditulis : Herwin Nur , 23 Mei 2013 | 15:10
Betapa kaum Adam dimulaikan dengan posisi sebagai pengemban amanah untuk menerima ciptaan Allah, sebagaimana tersurat terjemahan [QS Ar Ruum (30) : 21] :“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Ayat di atas dicantumkan dalam undangan pernikahan, sebagai pengingat untuk menjadi suami yang ideal. Salah satu kesiapan dalam membina keluarga adalah menghargai dan menghormati keunikan pasangan kita. Kita tidak harus melihat pasangan secara realistis, apa adanya, tapi kita juga harus peka terhadap karakter dan perkembangannya, karena hidup bersifat dinamis.
Sabda Rasulullah SAW : “Barang siapa menikah, maka dia telah menguasai separuh agamanya, karena itu hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (HR al-Hakim)
Beberapa peraturan hidup pasangan suami isteri (pasutri) telah disuratkan dalam Al-Qur’qan, a.l lihat [QS An-Nisaa’ (4) : 34]. Disebutkan bahwa suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari isterinya, karena tanggung jawabnya terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga. Rumah tangga dalam Islam dimaksudkan sebagai wadah untuk tempat berteduh dan bernaung keluarga. Berfungsi sebagai tempat ibadah, sebagai tempat terwujudnya keluarga dalam suasana sakinah (tenteram) yang disempurnakan dalam mawaddah (cinta) dan warahmah (kasih-sayang). Sabda Rasululah saw : `baitii jannatii', rumahku adalah surgaku.
Jadi, sosok suami ideal tak lepas bagaimana ikhtiarnya untuk menghadirkan rasa selamat dan sejahtera di rumah tangganya.
Profil Suami Ideal
Diriwayatkan, Rsulullah SAW acap turun tangan dalam urusan pekerjaan rumah tangga atau untuk keperluan pribadi. Rasulullah dengan bijak menolak keinginan sahabatnya yang mau membuat beliau tidur nyaman, tidak perlu beralaskan tikar daun kurma.
Mulai bagaimana suami memposisikan isterinya, tidak sekedar sebagai konco wingking, konco sekasur, atau sesuai pepatah “swarga katut, neroko nunut”, menempatkan isteri sebagai mitra, yang bisa diajak diskusi, tukar fikiran. Interaksi pasutri mengikuti Al-Qur’an terkait selain bertanggung jawab atas dirinya sendiri (beriman dan mengerjakan amal soleh) juga bertanggung jawab atas diri orang lain (saling menasihati dalam mentaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran).
Zaman sekarang, dalam keluarga terkadang isteri merangkap sebagai wanita karir. Suami dituntut, bisa momong anak, sekaligus bisa ngemong isteri. Pasutri sama-sama sibuk, mungkin secara finansial tidak bermasalah, muncul masalah lain.
Bagaimana suami membawakan diri di keluarga, di sisa sibuk kerjanya. Mengingat jam kerja memang menyita waktu untuk peduli keluarga, apalagi bisa peduli lingkungan. Apakah sama sosok suami ideal, antara suami yang bekerja sendiri dengan yang pasutri bekerja. Tak kurang, sebelum pensiun, pasutri sudah menggeluti profesi sebagai MC (momong cucu).
Faktor ajar yang dipraktekkan suami dalam menangani urusan keluarga akan berdampak pada anak, lebih ampuh dan mujarab daripada perintah. Anak tidak hanya membutuhkan orangtua sebagai teladan, panutan bahkan idola, tetapi juga membutuhkan berbagai peran aktif orangtuanya. Di era demokratis, interaksi anak dengan orangtua bisa menimbulkan masalah tersendiri, dampak negatifnya sudah kita rasakan.
Kewajiban utama seorang kepala rumah tangga terhadap anggota keluarganya, Allah SWT berfirman pada kalimat pertama terjemahan [QS At Tahrim (66) : 6] :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;” (Herwin Nur /Wasathon.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar